Kartini Melawan Kejumudan Zaman dengan Budaya Ilmu

Kartini Melawan Kejumudan Zaman dengan Budaya Ilmu

Kartini, Habis Terang Menuju Gelap
Ilustrasi cahaya terang lampu menghalau kegelapan.

Suaramuslim.net – Membahas Kartini tidak akan ada habisnya. Kisahnya selalu menawarkan pembaharuan. Meski setiap tahun diperingati pengikutnya, ia selalu saja hadir dengan kisah-kisah baru yang apik, cerdik, dan ciamik. Kartini boleh sudah tidak ada, namun, kisahnya selalu dipelajari generasi yang selalu muda.

Kisah Kartini selalu memberikan banyak perspektif. Perjuangannya bukan sekadar berpijak pada emansipasi wanita. Itu hanyalah bagian kecil dari kisah hidupnya. Kisahnya juga memberikan banyak contoh perspektif: 1) Membungkam peran kekuasaan, 2) Melawan kejumudan zaman dengan ilmu sebagai garis perjuangan, 3) Tokoh pendidikan.

Banyak buku yang sudah menulis kisah Kartini, salah satunya karya sastrawan terkenal, Pramodya Ananta Toer, karyanya ia beri judul “Panggil Aku Kartini Saja”. Dalam buku tersebut Pramodya menggambarkan sosok Kartini sebagai gadis pingitan yang terkekang oleh feodalisme pada zamannya.

Kondisi sosial yang berkembang di Indonesia pada abad 17-an, membentuk pola pikir dari masyarakat, termasuk golongan bangsawan. Pergolakan batin yang dialami Kartini sejak ia remaja, membuatnya melakukan penolakan terhadap peraturan-peraturan yang menurutnya tak masuk di akal. Penolakan itu ia tuliskan melalui surat-suratnya.

Benih Perjuangan Kartini

Kartini lahir dari seorang wanita yang berasal dari keluarga buruh pabrik gula Mayong pada 21 April 1879. Ngasirah, namanya. Wanita yang sebelumnya juga melahirkan seorang bayi laki-laki bernama Sosrokartono. Terdapat kemungkinan bahwa Kartini tidak mengenal secara dalam mengenai ibunya sendiri, karena di samping ibunya hanyalah selir yang berasal dari golongan rakyat jelata, dalam masyarakat feodal pribumi, terdapat keyakinan bahwa wanita menduduki tempat yang sangat tidak berarti.

Bertahun setelah kelahirannya, Kartini akhirnya masuk sekolah pertamanya. Sekolah Rendah Belanda. Di sekolahnya ini, tentu ia mengalami diskriminasi. Mulai dari pengelompokan berdasarkan kedudukan orang tua dalam susunan sosial, hingga warna kulit.

Meskipun demikian, diskriminasi yang Kartini terima lebih banyak berasal dari guru-gurunya. Berdasarkan surat yang ia tulis pada Stella Zeehandelaar, Kartini menceritakan bagaimana kebanyakan gurunya tidak memberikan angka tinggi pada siswa-siswa Jawa, meskipun mereka berhak menerimanya.

Di tahun-tahun selanjutnya, Kartini harus menjalani pingitan selama empat tahun.

Setelah sebelumnya ia memohon kepada ayahnya untuk dapat mengikuti jejak kakak laki-lakinya untuk meneruskan sekolah di Semarang, permohonnya ditolak. Kartini hanya bisa pasrah, kemudian bersama dua adiknya yang lain, ia menghabiskan masa panjang itu dengan membaca buku.

Kartini mulai mengenal lingkungannya, lingkungan pribumi di luar tembok tinggi tempat ia hidup. Sebuah sistem sosial yang berdasarkan pada tata hidup feodalisme. Terdapat kasta-kasta yang berkembang; terbagi menjadi golongan ningrat atau bangsawan, hingga golongan rakyat jelata yang Kartini lihat lebih banyak mengalami kemelaratan dalam hidup mereka.

Bahkan dalam lingkungan keluarganya sendiri. Ada kekakukan yang tercipta dalam hubungan antara dirinya dan saudara-saudaranya. Terdapat jurang menganga yang memisahkan satu kasta dengan lainnya; memerintah. Golongan bawah harus menerima atas segala kata yang diucapkan oleh golongan atas.

Perlawanan Kartini Terhadap Kejumudan

Penolakan-penolakan yang tumbuh dalam diri Kartini tidak lain adalah hasil ia membaca buku-buku dan pengetahuannya tentang Belanda.

Kartini hadir di tengah-tengah masyarakat untuk memihak pada kelompok yang ditindas oleh struktur kolonial pada zamannya. Kelompok yang dibela khususnya adalah perempuan serta kaum miskin. Kartini pada masa tersebut merupakan sosok perempuan intelektual yang sudah memiliki pemikiran modern.

Kartini mengenal pemikiran modern melalui buku-buku dari kakaknya, Sosrokartono. Kemudian Kartini menyebarkan gagasan maupun ide yang dimiliki dengan menulis, kemudian mengenalkan buku-buku kepada adiknya, serta mendirikan sekolah untuk perempuan dan kaum miskin di wilayah karisedenan Jepara yang dipimpin ayahnya.

Kartini yang melihat perempuan Jawa di negara jajahan ditindas oleh struktur kolonial serta sudah ditakdirkan hanya mengurusi urusan rumah tangga seperti masak (memasak), manak (melahirkan atau memenuhi kebutuhan seks suami), serta macak (bersolek) dibongkar dan disadarkan melalui pendidikan yang digagasnya.

Kartini resah akan tradisi tersebut lalu ia sadar bahwa perempuan harus punya martabat, tidak hanya mengurusi urusan rumah tangga, tidak hanya lahir untuk menikah.

Perkenalan Kartini dengan buku-buku membuat pemikirannya semakin berkembang, walaupun Kartini dari kalangan bangsawan tetapi tidak serta merta mendukung struktur yang menindas tersebut. Kartini memilih untuk turun dari menara gading melepas jubah kebangsawanannya dan memperjuangkan hak-hak kaum perempuan serta kaum miskin.

Perjuangan jalan ilmu Kartini memang tidak bisa lebih lama lagi, sebab ia meninggal di usia yang masih sangat muda: 25 tahun. Kartini meninggal setelah beberapa hari melahirkan anak pertamanya yang bernama Soesalit Djojoadhiningrat.

Perlawan bukan sekadar melalui jalur peperangan. Satu peluru hanya bisa menembus satu jiwa. Namun satu pemikiran, bisa menembus ribuan pikiran manusia. Kartini berhasil menembus pikiran wanita-wanita pribumi, menembus hati penjajah Belanda. Bahwa wanita bukan sekadar konco wingking, melainkan wanita adalah harapan bangsa.

 

Teguh Imami
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Airlangga
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis opini. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment