Suaramuslim.net – Dari sejarah emas para sahabat, pembaca bisa menemukan banyak keteladanan yang patut diteladani. Satu diantaranya dari hayat sahabat yang bernama Abdullah Dzul Bajadain. Beliau terlahir yatim dan miskin. Bapaknya telah tiada sejak dirinya belia dan tidak mewariskan harta. Pasca meninggal ayahnya, ia hidup di bawah pengasuhan pamannya. Lambat laun, kondisinya yang sebelumnya papa dan miskin, mulai membaik. Kesulitan materi sudah teratasi berkat kebaikan pamannya. Ia sudah merasa lapang materi.
Namun apakah ia sudah merasa kaya hati? Di tengah masyarakat jahiliyah yang mendewakan materi dan berhala. Ternyata kelapangan materi tidak berbanding lurus dengan kelapangan hati. Ini terbukti ketika hatinya tertarik pada agama baru yang dibawa oleh orang yang mulia dan kaya hati, Muhammad Sang Nabi.
Cahaya keimanan masuk pada relung hatinya, mengisi kegalaun yang selama ini menggelayuti hati. Ajaran yang dibawa Nabi Muhammad sungguh menawan hatinya. Hatinya serasa lapang tak terhingga.
Ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah, ia tak turut serta, dengan alasan ingin mengajak pamannya masuk agama Islam yang benar-benar membuat hatinya lapang. Ia tak mau petunjuk yang ia dapatkan hanya dinikmati sendiri. Namun hati pamannya tak bisa menerima, sebagaimana pembesar-pembesar kafir lainnya.
Keputusan Abdullah mengajak pamannya ini berujung pada ancaman yang benar-benar serius. Pamannya berkata, “Kalau kamu tetap bersikeras mengikuti Muhammad, maka aku akan mencabut semua fasilitas yang aku berikan padamu bahkan sepasang baju yang sedang kamu pakai sekalipun”.
Apa Dzul Bajadain gentar dengan ancaman pamannya tersebut? Ternyata tidak, kelapangan hati dan kekayaan hati yang ia dapatkan dari ajaran Islam malah membuatnya semakin teguh pendirian. Ia menimpali pamannya, “Baik, akan aku serahkan semua fasilitas yang kau beri, hingga baju yang aku pakai saat ini.”
Dengan kondisi demikian ia mendatangi ibunya, kemudian diberi baju yang kasar untuk menutupi tubuh Dzul Bajadain. Dibelahlah baju kasar itu menjadi dua untuk menutupi bagian bawah dan atas jasadnya. Dari sinilah sejarah emasnya dimulai. Sampai nanti ia dijuluki sebagai Dzul Bajadain, yang mempunyai baju berbelah dua.
Ia lebih memilih kepapaan materi daripada kepapaan hati; lebih memilih kelapangan hati daripada kelapangan materi. Keputusan yang sangat berani dan sangat tidak lazim menurut masyarakat pada masanya ia tempuh demi meraih kekayaan yang lebih hakiki dan sejati menuju ridha ilahi. Ia lebih memilih baju kasar berbelah dan pasrah pada ketetapan ilahi daripada baju bagus dan nyaman, tetapi malah menjauhkan diri dari Tuhan. Pada waktu yang ia lalui keimanan benar-benar teruji. Rasul pun mensifatinya dengan kata “Awwah” (yang banyak berdzikir dan mengadu pada Allah); dan yang lebih mulia dari itu ialah di akhir hayatnya pada perang Tabuk, ia mendapat kemuliaan yang sungguh tak terkira berupa dikubur langsung oleh Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar.
Setelah mengubur, beliau berdoa: “Ya Allah pada sore ini aku meridhainya, maka ridhailah dia”. Inilah buah dari pribadi yang lebih memilih kaya hati meski miskin materi. Akhir hayatnya ditutup dengan penuh keindahan berupa ridha Allah dan Rasul. Sangatlah wajar jika sahabat kawakan seperti Ibnu Mas`ud berkata, “Andai aku yang dikubur oleh Rasulullah sebagaimana Dzul Bajadain”. Semoga Allah senantiasa meridhai dan merahmatinya.
Dari kisah Abdullah Dzul Bajadain, pembaca bisa mengambil pelajaran, silakan menjadi orang kaya secara materi, namun kaya hati jauh lebih utama. Apalagi ketika kaya harta harus berhadapan dengan prinsip, maka –sebagaimana Abdullah—kaya hati menjadi pilihan melampaui segala kekayaan. Hatinya ridha dan pasrah hanya kepada Allah dan akhir hayatnya bisa ditutup dengan sangat manis dalam dekapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.
kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono