Suaramuslim.net – Bagaimana bisa rasa malu yang sudah tercerabut dari sebuah masyarakat atau sistem pemerintahan bisa meruntuhkan bangsa?
Jumat 23 Februari 2018 adalah kali pertama saya diberikan kesempatan melaksanakan shalat Jumat di Masjid Nabawi As Syarif kota Madinah Al Munawwarah. Khatib Jumat memberikan wasiat kepada para jamaah yang datang dari berbagai belahan dunia tentang “malu”.
Dengan Bahasa Arab yang “fushha” sang Khatib memulai khutbah bahwa malu merupakan asma dan sifat Allah jalla jalaaluh. Ia melantunkan ayat-ayat Alquran dan hadits Nabawi yang menyebut sifat “malu” Allah. Diantaranya “Allah malu jika seorang hamba sudah mengangkat tangannya untuk meminta kepadaNya, tapi Dia tidak mengabulkan doa tersebut”.
Tidak hanya sampai di situ, sederet sabda baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang malu juga disampaikan Khatib. Bagaimana malunya Nabi, para Sahabat, Utsman, Aisyah, Ali, dll. Bahkan dalam riwayat hadits disebutkan, jika engkau tidak lagi memiliki rasa malu maka berbuatlah sesuka hatimu.
Khatib juga mengutip riwayat lain dari Bukhari Muslim yang artinya “Iman itu terdiri dari 70 sekian atau 60 sekian cabang. Cabang iman yang paling utama adalah ucapan la ilaha illallah. Sedangkan cabang iman yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari tempat manusia lewat. Rasa malu adalah bagian dari iman”.
Bagaimana kaitan antara hilangnya rasa malu dan kehancuran suatu bangsa?
Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa “al-haya”(rasa malu) diambil dari kata “hayat” (kehidupan). Kekuatan rasa malu itu berbanding lurus dengan sehat atau tidaknya hati seseorang. Berkurangnya rasa malu merupakan pertanda matinya hati dan ruh orang tersebut. Semakin sehat hati maka akan makin sempurna rasa malunya.
Malu bisa kepada Allah Sang Pencipta kita atau malu kepada manusia. Malu kepada Allah akan mencegah diri dari melanggar aturan-Nya. Malu kepada manusia akan menciptakan akhlak mulia, sopan santun dan ketaatan pada aturan dan norma yang berlaku di masyarakat.
Kaum Sodom telah kehilangan rasa malu sehingga dengan terang-terangan melalukan hubungan homoseksual. Kaum Madyan menanggalkan malunya dengan berlaku curang dalam berdagang. Qarun berbuat tidak tahu malu dengan menyombongkan harta kekayaannya dan mengakui itu sebagai hasil jerih payahnya semata, dia melupakan doa Nabi Musa dan kemurahan Allah dalam hartanya. Dan sederet kisah lama yang mengajarkan kepada kita betapa kehilangan malu, akan membuat manusia berbuat semaunya tanpa batas. Bahkan dalam lembaran sejarah kekhalifahan Islam, bisa runtuh karena hilangnya malu dari pemimpin umat Islam dengan mabuk-mabukan, konflik kekuasaan, dan hidup foya-foya sementara rakyat menderita.
Pernahkah kita melihat koruptor melambaikan tangan kepada khalayak ketika diliput wartawan? Parpol yang mengakui milik “wong cilik” tapi membuat kebijakan tidak pro rakyat. Jargon Pancasilais tapi dalam perilaku malah mengkhianati nilai-nilai Pancasila. Mencitrakan diri akrab dengan rakyat tapi di belakang mereka menjual aset dan sumber daya alam negeri kepada asing. Bahkan sederet janji manis dan harapan muluk yang diucapkan ketika proses pemilihan yang akhirnya diingkari satu persatu.
Kalau Anda pernah dan sedang merasakan hal tersebut, itulah tanda hilangnya rasa malu.
Hilangnya malu karena mengingkari janji dan program, menghianati amanat rakyat, merampok uang negara, yang berakhir pada rusaknya stabilitas dan hilangnya kepercayaan.
Kita sering melihat ke tetangga jauh, pejabat di negeri sakura Jepang yang konon katanya akan mengundurkan diri ketika skandal atau kesalahannya terkuak di ruang publik. Sebagian mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Karena rasa malu dan bagian dari komitmen.
Negeri kita tidak perlu mencontoh sampai seperti itu, cukup dengan modal tauhid, akan menghasilkan rasa malu.
Karena rasa malu kepada Allah adalah bentuk penghambaan dan rasa takut kepada-Nya.
Rasa malu ini merupakan buah dari ma’rifatullah, mengenali keagungan Allah. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hamba-Nya, mengawasi perilaku mereka.
Rasa malu kepada Allah adalah tanda tauhid, derajat ihsan yang paling puncak. Nabi bersabda, “Ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan memandang Allah. Jika tidak bisa seakan memandang-Nya maka dengan meyakini bahwa Allah melihatnya.” (HR Bukhari).
Ketika rakyat merasa diawasi Allah, mereka akan malu melanggar aturan agama dan negara. Ketika pemimpin merasa diawasi Allah, mereka akan malu jika menghianati amanat rakyatnya.
Semoga Allah tidak mencabut rasa malu dalam hati-hati rakyat dan pemimpin kita.
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan”.
*Ditulis di Madinah Al-Munawwarah, Jumat 7 Jumadil Akhir 1439 H/23 Februari 2018
*Refleksi Khutbah Jumat Masjid Nabawi Madinah