Kehangatan dalam Ukhuwah

Kehangatan dalam Ukhuwah

Begini Para Kader Hidayatullah Digembleng
Ustaz Abdul Kadir Jaelani, salah seorang santri angkatan pertama di Hidayatullah memberikan pesan kepada para kader Hidayatullah dalam Silatnas 2018 di Balikpapan (22/11/2018) (Foto: Irfan/INA News Agency)

Suaramuslim.net – Ukhuwah adalah syarat dari kebangkitan dan kemenangan Islam. Itulah strategi pertama yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan mempersaudarakan sahabat Anshar dan Muhajirin serta membangun masjid tempat membina persaudaraan dan persatuan kaum muslimin.

Teringat perkataan alm. Ustadz Rahmad Abdullah, ”Begitu banyak warna dalam kehidupan kita, ada yang bertahan tapi tak sedikit yang pergi meninggalkan. Beginilah jalan dakwah mengajarkan kita tentang ukhuwah, tentang pengorbanan dan keikhlasan. Kadang kesal, lelah namun juga kadang diliputi canda dan tawa. Tak kuat untuk bertahan, tapi sayang untuk ditinggalkan. Kadang hati bertanya, ”Ya Allah kapan kami beristirahat?”, dan Allah menjawab, ”Nanti ketika tiba waktu di mana kaki-kaki kalian telah menginjak syurgaku.”

Saat ini kita perlu kembali mengenal dan mempelajari serta mengamalkan makna ukhuwah sebagaimana yang dikehendaki Allah subhanahu wa ta’ala, dan diajarkan oleh Rasul-Nya. Sebagaimana yang telah dijelaskan oelh Imam Syahid Hasan al-Banna:

Yang saya maksud dengan ukhuwah adalah terikatnya hati dan nurani dengan ikatan aqidah. Aqidah adalah sekokoh-kokohnya dan semulia-semulianya ikatan. Ukhuwah adalah saudara keimanan sedangkan perpecahan adalah saudara kekufuran.”

Selain itu kita juga perlu mengetahui bentuk-bentuk terkikisnya tingkat persaudaraan kita di jalan Allah. Diantaranya adalah hilangnya saling menasihati, saling mengenal, saling memahami dan saling mencukupi. Bentuk lainnya adalah berburuk sangka, persaudaraan terjalin selama masih berhubungan, dan jika berjauhan maka putus pula persaudaraannya. Saling melupakan dan bermasa bodoh, berpaling dari wajah saudaranya saat sedang bersengketa, tidak segera berishlah walaupun ia benar. Bukankah yang lebih baik adalah yang lebih dahulu mengucapkan salam (berdamai). Bentuk lainnya adalah benci ketika saudaranya mendapatkan kebaikan, bahkan berharap saudaranya mendapat keburukan, tidak sedih dengan apa yang menimpa saudaranya, bahkan bergembira, berselisih dan berpecah belah dan keduanya merasa yang paling benar hingga menuduh saudaranya menipu, berbohong, dan membuat fitnah.

Teringat sebuah kisah Yunus bin Abdi al-’Ala ketika berselisih dengan sang guru, Imam Syafi’i ketika beliau mengajar di masjid. hal itu membuat Yunus bangkit dan meninggalkan majelis dalam keadaan marah. Kala malam menjelang Imam Syafi’i pun mendatangi rumah Yunus. Betapa terkejutnya beliau melihat sang guru besar datang ke rumahnya.

Imam Syafi’i pun berkata, ”Wahai Yunus, selama ini kita disatukan dalam ratusan masalah, apakah karena satu masalah saja kita harus berpisah? Janganlah engkau berusaha untuk menjadi pemenang dalam setiap perbedaan pendapat. Karena terkadang meraih hati orang lain itu lebih utama dari pada meraih kemenangan atasnya.”

Yunus bin Abdi al-’Ala pun menangis dan merangkul sang imam sembari memohon maaf dan berterima kasih atas nasihatnya.

Setiap jiwa menyimpan ribuan benang keberanian yang siap dipintal menjadi pakaian perjuangan. Setiap hati menyimpan jutaan tetes embun ketulusan yang siap bergerak menjadi riak pengorbanan. Itulah ukhuwah. Menyatukan yang tercecer, menguatkan yang berserakan, dan mengobati yang tersakiti. Dakwah butuh tim yang kuat, kuat interaksinya dengan Allah juga sesama manusia. Wallahu ’alam bishawab.

 

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment