Keluar dari Kemelut Kebangsaan: Sebuah Perspektif Pendidikan

Keluar dari Kemelut Kebangsaan: Sebuah Perspektif Pendidikan

Pendidikan Berbasis Adab, Tunggu Apa Lagi

Suaramuslim.net – Bangsa ini sedang mengalami persoalan serius. Many things are definitely not OK. Ekonomi nasional suram di tengah ekonomi global yang suram pula.

Upaya mengatasi kesenjangan dan ketimpangan mengalami stagnasi jika tidak memburuk. Utang pemerintah makin menumpuk mendekati Rp6.000 T sementara ketergantungan kita pada investor asing makin besar yang berpotensi mengancam kedaulatan.

Dampak pemanasan global makin meluas serta kekeringan mulai mengancam sektor pertanian. Kebakaran hutan meluas. Yang terakhir adalah separatisme Papua.

Apa akar kemelut ini? Hemat saya, akar kemelut kita bersifat institusional; regulasi dan kelembagaan yang gagal menyediakan syarat budaya bagi bangsa merdeka.

Kemelut ini bahkan ada sejak Proklamasi Kemerdekaan. Penjajah tidak pernah rela membiarkan bangsa ini merdeka. Berbagai perangkap kelembagaan dan kesepakatan regulatif telah disiapkan untuk memastikan bahwa bangsa ini tetap tunduk pada para penjajah walaupun secara formal bangsa ini telah menyatakan kemerdekaannya.

Instrumen kelembagaan paling penting yang disiapkan penjajah adalah persekolahan yang dibiarkan memonopoli sistem pendidikan nasional.

Keluarga dan, untuk umat Islam, pesantren (masjid) dimarginalkan secara terstruktur, sistemik dan masif oleh persekolahan.

Persekolahan disiapkan jauh sebelum proklamasi untuk menyiapkan bangsa terjajah secara budaya. Sekelompok elite disekolahkan untuk menyiapkan sebuah kelas berkuasa yang berpikir sekuler, berbeda dengan yang disiapkan oleh pesantren.

Persekolahan adalah instrumen Westernisasi dan Sekulerisasi yang menjadi kekuatan terbesar bagi penyelewengan amanat UUD ’45 sebagai rancangan institusional dasar.

Sejak Orde Baru, sistem persekolahan ini makin diperbesar menjadi sebuah sistem persekolahan paksa massal untuk menyiapkan tenaga kerja terampil yang diperlukan industrialisasi besar-besaran melalui investasi asing.

Persekolahan paksa massal, hingga hari ini, tidak pernah dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Persekolahan dirancang untuk menyiapkan tenaga kerja yang cukup cerdas untuk menjalankan pabrik-pabrik, sekaligus cukup dungu untuk patuh untuk terus bekerja sebagai buruh bagi kepentingan asing.

Wajib belajar dikerdilkan secara langsung menjadi wajib sekolah. Akibatnya masyarakat seolah tidak bisa hidup tanpa bersekolah. Padahal belajar tidak pernah menyaratkan formalisme persekolahan, apalagi di zaman internet saat ini.

Belajar bisa dilakukan di mana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Bahkan sesungguhnya belajar bisa berlangsung tanpa proses pengajaran oleh guru profesional bersertifikat.

Belajar semula adalah kegiatan produktif yang dapat dilakukan secara mandiri, tapi sekolah membuat belajar menjadi sangat konsumtif dengan harga yang makin mahal. Murid menjadi konsumen pendidikan.

Dari sinilah warga mulai gagal membedakan antara belajar dan bersekolah, kompetensi dan ijazah, isi dan bungkusnya, dan kebutuhan dengan keinginan.

Budaya utang disuburkan melalui persekolahan. Budaya utang ini adalah pra syarat bagi kehadiran perbankan ribawi.

Mindset Liberal Kapitalistik adalah papan lontar bagi obsesi pertumbuhan ekonomi yang kemudian melihat tanah Papua atau Aceh sebagai aset, tapi penduduknya adalah liability.

Inilah persoalan pokok yang terjadi di Papua selama ini. Persekolahan yang terbatas adalah satu faktor penjelas mengapa rakyat Papua menginginkan kemerdekaan. Warga dengan pengalaman bersekolah minimal, justru memiliki jiwa yang lebih merdeka daripada yang lama bersekolah.

Sekolah dan TV adalah institutional duo yang paling bertanggungjawab atas pondasi budaya bangsa terjajah bangsa ini. Tidak hanya pasar ekonomi, pasar politik pun dibentuk oleh konstruksi budaya bangsa terjajah ini.

Pasar politik Liberal dibuka sejak sistem MPR dihancurkan oleh amandemen. Bahkan presiden Joko Widodo menentang ide mengembalikan fungsi MPR di mana presiden “hanya” mandataris MPR.

Perlu dicatat bahwa UUD 2002 hasil amandemen telah melegalkan penyelewengan terhadap rancangan kelembagaan yang diamanatkan oleh UUD 1945.

Pukulan terakhir atas bangunan budaya kita adalah amandeman UUD45 menjadi UUD 2002 yang makin Liberal Kapitalistik.

Sekulerisasi makin menjadi-jadi. Secara budaya, umat Islam tidak bisa disebut mayoritas, sebab yang sesungguhnya mayoritas adalah umat Sekuler. Bahkan boleh jadi elite penguasa saat ini adalah kelompok sekuler garis keras yang gemar sekali menyemburkan agenda islamophobic.

Untuk keluar dari kemelut ini, umat Islam perlu melakukan deschooling : mengurangi peran persekolahan, menguatkan keluarga, masjid dan pesantren untuk mengemban tugas-tugas pendidikan (tarbiyyah).

Tugas pendidikan ini tidak sekadar menyiapkan tenaga terampil, tapi untuk menyediakan syarat budaya bagi bangsa merdeka, yaitu jiwa merdeka (tawhiid atau independent mind and soul).

Akhlak mulia hanya bisa tumbuh subur di atas jiwa yang merdeka, tidak mungkin tumbuh dalam jiwa budak. Hanya masyarakat berjiwa merdeka yang memiliki cukup kreatifitas dan imajinasi untuk membangun sebuah bangsa baru yang melampaui primordialitas tribalisme suku-sukunya.

Untuk keluar dari kemelut kebangsaan ini penting untuk menyadari bahwa Islam ikut memberi kapasitas yang diperlukan untuk mempersatukan kemajemukan suku-suku menjadi sebuah bangsa yang satu.

Namun Islam juga memberi batasan agar persatuan itu tidak berkembang menjadi nasionalisme sempit sebagai sebuah glorified tribalism yang Chauvinistik.

Islam pula yang memberi kerangka kelembagaan yang kondusif bagi pasar ekonomi dan politik yang berkeadilan bagi seluruh rakyatnya yang tersusun dari berbagai suku tersebut.*

Daniel Mohammad Rosyid
Direktur Rosyid College of Arts & Maritime Studies
Gunung Anyar 22/8/2019

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment