JAKARTA (Suaramuslim.net) – Sertifikasi pranikah bertolak dari pemahaman bahwa keluarga merupakan pondasi penting dalam pembangunan sumber daya manusia.
Hal ini disampaikan Deputi IV Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Ghafur Akbar Dharma Putra, dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 bertajuk “Perlukah Sertifikasi Perkawinan?” yang digelar di Ruang Serbaguna Roeslan Abdulgani, Kementerian Kominfo, Jakarta, Jumat (22/11).
Akbar mengingatkan, hal itu seiring dengan fokus pembangunan Pemerintahan Presiden Joko Widodo jilid dua, yakni pembangunan sumber daya manusia (SDM).
“Bimbingan perkawinan merupakan salah satu cara pemerintah dalam meningkatkan kualitas hidup manusia. Kami meyakini, keluarga yang kokoh, tangguh, dan berketahanan merupakan pondasi dalam menciptakan ketahanan nasional,” katanya.
Akbar mengatakan, bimbingan perkawinan adalah usaha nyata untuk mempersiapkan pasangan calon memasuki mahligai rumah tangga. Lantaran itulah, kelak dalam bimbingan perkawinan yang tengah digodok pemerintah akan diisi dengan sejumlah materi terkait.
“Antara lain, cara mewujudkan keluarga bahagia. Kemudian bagaimana membangun kesadaran bersama antara suami istri, termasuk soal berbagi peran. Selanjutnya, ada pula materi tentang mewujudkan keluarga sehat dan berkualitas,” katanya.
Selain itu, Akbar mengatakan, juga disiapkan materi tentang upaya mengatasi konflik keluarga, lalu materi terkait upaya memperkokoh komitmen.
“Disiapkan pula materi terkait keterampilan hidup untuk menghadapi tantangan global, dalam hal ini lifeskill dan softskill. Misalnya dengan memberi kemampuan berusaha, termasuk mendapatkan modal untuk usaha,” tuturnya.
Materi-materi itu dinilai penting karena kondisi rumah tangga di Indonesia secara umum, seperti diungkapkan data Susenas 2018, sedikitnya terjadi 11,2% perkawinan anak atau di bawah umur.
Bukan hanya itu, sepanjang 2018 pun, berdasarkan data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung ada 375.714 kasus perceraian yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Data lain, dari Kementerian Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan (KPPPA), juga mengungkap 1.220 pelaku kekerasan keluarga adalah orang tua dan 2.825 pelaku lainnya adalah suami/istri.
“Angka-angka itu cukup tinggi. Dan yang lebih menyedihkan lagi, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang tahun 2017 menunjukkan sedikitnya 393 anak mengalami kekerasan seksual dalam rumah tangga,” katanya.
Reporter: Ali Hasibuan
Editor: Muhammad Nashir