Suaramuslim.net – Semangat Al Quran mengenai pengasuhan justru mengedepankan ayah sebagai tokoh. Kita mengenal Lukman, Ibrahim, Ya’qub, dan Imran, mereka adalah contoh ayah yang peduli pengasuhan anak dan diabadikan nama besarnya dalam Al Quran. Ibnul Qayyim dalam kitab Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud berkata, “Jika terjadi kerusakan pada anak, penyebab utamanya adalah sang ayah”. Ingatlah! Seorang anak bernasab kepada ayahnya, bukan ibu. Nasab yang merujuk pada ayah menunjukkan kepada siapa Allah meminta pertanggungjawaban kelak.
Naifnya, negeri ini hampir kehilangan ayah. Semua pengajar anak di usia dini diisi oleh kaum ibu. Pantaslah negeri kita dicap sebagai fatherless country. Padahal keberanian, kemandirian dan ketegasan harus diajarkan di usia dini. Ayahlah yang seharusnya menjadi pengajar utama. Jika seseorang memiliki anak sudah berani mengaku-ngaku jadi ayah, maka sama anehnya dengan orang yang punya bola mengaku-ngaku jadi pemain bola. Ayah itu gelar khusus nan mulia untuk lelaki yang mau dan pandai mengasuh anak, bukan sekadar “membuat” anak dan menafkahinya dengan harta.
Ayah yang tugasnya cuma memberi uang, menyamakan dirinya dengan mesin ATM, anjungan tunai mandiri. Akan didatangi saat anak butuh uang saja. Akibat hilangnya fungsi pendidikan dari sang ayah.
Selaku ayah, layaknya kepala sekolah, saya harus menentukan visi pengasuhan bagi anak sekaligus mengevaluasinya. Selain saya juga harus “sembodho” membuat nyaman suasana “sekolah” yaitu ibunya, dengan menyediakan rumah yang cukup memadai dan kendaraan serta uang belanja yang mencukupi.
Sebagai ayah “kepala sekolah”, saya harus memastikan mental spiritual ananda tumbuh normal, sesuai dengan jenis kelamin dan masa perkembangan usianya. Menyedihkan, banyak ayah yang tidak tahu kapan anak lelakinya pertama kali mimpi basah (baligh), atau anak perempuannya menstruasi. Sementara anak dituntut shalat Subuh padahal ia dalam keadaan junub. Shalatnya tidak sah. Di mana tanggung jawab ayah?
Sebagai ayah “kepala sekolah”, saya membangun tradisi ibadah dan akhlak anak-anak dengan mengajak, bukan membentak. Selaku pengasuh harus hadir dahulu di mushalla atau masjid, lalu mengajak anaknya agar ia merasa tenteram berlama-lama di dalamnya. Sering saya berboncengan motor untuk berjemaah di masjid, terkadang rela harus terlambat berjemaah hanya gara-gara terlalu lama membangunkan Fauzan (si bungsu).
Terkadang saya minta diantar (disopiri) Nukman atau Fauzan untuk ceramah/dakwah di suatu lokasi yang jauh. Bukan karena tidak mampu menyetir sendiri, tetapi untuk menanamkan nilai, mendampinginya dengan memberi inspirasi.
Ibarat burung yang punya dua sayap. Anak membutuhkan keduanya untuk terbang tinggi ke angkasa. Dua sayap itu adalah ayah dan ibu. Ibu mengasah kepekaan rasa, ayah memberi makna terhadap logika. Dua-duanya dibutuhkan oleh anak. Jika ibu tak ada, anak jadi kering cinta. Jika anak tak ada ayah tak punya kecerdasan logika. Ayah mengajarkan anak menjadi pemimpin yang tegas. Ibu membimbingnya menjadi pemimpin yang peduli. Tegas dan peduli itu sikap utama. Adalah hak anak mendapatkan pengasuh yang lengkap. Ayah terlibat, ibu apalagi!
Ibu memang madrasah pertama seorang anak, dan ayah yang menjadi kepala sekolahnya. Jika ayah hanya mengurusi TV atau lampu rusak, keran macet dan atap bocor, maka itu bukan ayah kepala sekolah, tapi ayah “penjaga sekolah”.
*Diambil dari buku “Bukan Sekadar Ayah Biasa” karya Misbahul Huda. Buku yang bercerita bagaimana pengalaman ayah hadir dalam pengasuhan anak.