Kepemimpinan semut: Kecil tapi menggetarkan dunia

basmi semut, cuka apel, bubuk kopi

Suaramuslim.net – Hari Jumat ini saya agak terlambat beraktifitas rutin, jalan-jalan pagi. Bukan karena cuaca, tapi karena semut. Sebelum jalan pagi seperti biasa, saya ingin minum air putih hangat. Tapi saat mengambil gelas, ternyata di dalamnya ada puluhan semut berpesta. Rupanya gelas itu belum dicuci sempurna, masih ada sisa manis di dasarnya.

Saya ambil gelas lain, sama saja. Di meja pun semut berbaris rapi mengerubuti sisa remah makanan. Saat saya ingin memakai sepatu, saya kembali bertemu mereka, di dalam sepatu ada bangkai serangga kecil, dan semut dengan tertib sedang “mengurus jenazahnya.”

Sejenak saya tidak jadi jalan-jalan dulu, tapi menjalankan pikiran. Saya jadi sadar bahwa mungkin ini cara Allah memberi pelajaran berharga. Saya lalu duduk dan memandangi barisan semut itu. Lalu saya tersenyum kecil. Betapa hebat makhluk kecil ini: tak punya otot besar, tak bersuara lantang, tapi bisa membangun sistem sosial paling disiplin di muka bumi.

Seolah dalam lakon film, tiba-tiba saya teringat kajian yang pernah saya bawakan. Dalam khazanah Al-Qur’an, semut bukan sekadar serangga. Ia simbol kecerdasan, ketertiban, kerja sama, kesabaran, dan kepemimpinan. Bahkan dalam Al-Qur’an ada satu surat namanya: An-Naml (Semut). Di antara ayat-ayatnya, ada kisah yang luar biasa, antara lain di ayat 18:

“Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut: ‘Wahai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.’” (Terjemah Q.S. An-Naml [27]: 18).

Lihatlah bagaimana seekor semut memimpin. Ia punya kepedulian sosial: memperingatkan koloninya agar selamat. Ia komunikatif: menyampaikan pesan dengan bahasa yang dipahami komunitasnya. Ia rendah hati: tidak menuduh, tidak marah, bahkan berbaik sangka kepada Sulaiman dengan menyatakan: “sedangkan mereka tidak menyadari.”

Pemimpin semut itu tahu batas, tahu adab, tahu tanggung jawab. Tidak reaktif, tidak provokatif.

Betapa jauh dari gaya kepemimpinan manusia zaman ini. Banyak pemimpin lebih sibuk membangun citra daripada membangun sistem. Banyak yang pandai bicara tapi gagal bekerja. Sedangkan semut, tidak berpidato apa pun, tapi hasilnya nyata.

Dalam dunia semut, tidak ada yang menganggur. Tidak ada yang iri pada peran temannya. Tidak ada rebutan jabatan atau saling menjatuhkan. Apalagi harus merekayasa keputusan MK. Semua tahu tugasnya. Semua bekerja dengan tertib. Semua demi koloni, bukan demi diri sendiri.

Sistem mereka mungkin kecil, tapi hebat. Tidak ada rapat panjang. Tidak ada birokrasi berbelit. Tidak ada korupsi, tidak ada pungli, tidak ada proyek fiktif. Semua efisien, semua terukur, semua tulus.

Terus terang saya ingin mengatakan bahwa, tata kelola semut itu sebenarnya good governance paling sempurna di alam. Mereka menjalankan prinsip-prinsip efisiensi, tanggung jawab, dan keadilan tanpa butuh peraturan tertulis.

Dan yang paling menarik: semut bekerja tanpa pengawasan. Tidak ada yang berdiri di belakangnya sambil berkata, “Ayo kerja!” Tapi mereka bekerja karena sadar. Karena iman yang tertanam secara fitri.

Dalam diri semut, ada nilai spiritual yang sangat tinggi: ikhlas dan istiqamah. Ia bekerja bukan untuk dilihat. Ia berjalan merunduk, membawa beban yang sering kali lebih berat dari tubuhnya sendiri, tapi tidak mengeluh. Ia tahu batasnya, tahu waktunya berhenti, tahu kapan harus kembali ke sarang membawa hasil kerja.

Saya jadi berpikir, jangan-jangan semut itu lebih beriman daripada sebagian manusia. Ia menjalankan hukum Allah tanpa disuruh. Ia menegakkan amanah tanpa pujian. Ia bekerja dalam senyap, tapi hasilnya menumbuhkan kehidupan.

Dari semut, kita belajar tiga hal sederhana

Pertama, iman tanpa kerja adalah ilusi. Karena semut menunjukkan bahwa kerja adalah bagian dari ibadah. Kedua, kerja tanpa kebersamaan adalah kesia-siaan. Karena semut tidak pernah hidup sendiri; kekuatannya ada pada koordinasi. Ketiga, kebersamaan tanpa kepemimpinan adalah kekacauan. Karena tanpa pemimpin yang peduli, semut-semut itu akan terinjak.

Dan akhirnya saya belajar satu hal paling dalam: Kepemimpinan sejati tidak selalu tampak besar. Ia bisa sekecil seekor semut, yang tahu kapan harus menunduk, tapi selalu berjalan lurus di jalannya.

Pagi ini saya akhirnya tetap jalan-jalan pagi. Tapi tidak sepagi biasanya. Karena harus duduk dengan merenungi cukup lama tentang semut tadi. Tapi hati saya lebih ringan. Pikiran saya lebih fresh. Karena saya merasa baru saja selesai ikut kuliah dari semut-semut yang jadi “guru besar” kehidupan.

Sekarang, hasil kuliahnya saya bocorkan buat Anda semua. Semoga bermanfaat dan menginspirasi.

Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.