Suaramuslim.net – Terdapat banyak inspirasi dalam Al Quran untuk memilih pemimpin teladan. Setidaknya, ada 10 kepribadian pemimpin teladan yang bisa digali dari kalam illahi ini. Ketika sebagian besar -bahkan semuanya- ada dalam pribadi seseorang, maka ia layak dijadikan sebagai pemimpin.
Menariknya, sepuluh kepribadian ini hampir keseluruhan adalah dalam konteks cerita para nabi ketika bersinggungan langsung dengan kaumnya. Mereka, selain menjalankan tugas kenabian, tentu saja menjadi para pemimpin yang dipilih oleh Allah sebagai suluh atau pencerah bagi kaumnya. Berikut ini adalah rinciannya;
Satu dan dua, kuat sekaligus amanah
Dua kepribadian ini diambil dari kisah Musa ‘Alaihissalam bersama anak Nabi Syu’aib ‘Alaihissalam. Di hadapan ayahnya –setelah mendapat pertolongan dari Musa- satu diantara puterinya berkata:
يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Wahai bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (QS. Al-Qashas [28]: 26)
Menariknya, kekuatan yang dimiliki Musa bukanlah kekuatan pasif dan negatif. Kekuatan yang dimilikinya diarahkan untuk membantu orang yang membutuhkan pertolongannya.
Syekh Sa’di dalam “Taisiir Kariim al-Rahmaan” (2000: 614) menafsirkan ayat ini dengan cukup menarik. Katanya, Musa layak diprioritaskan sebagai orang yang mendapatkan amanah perkerjaan karena pada dirinya terkumpul dua kepribadian luhur: kuat dan amanah.
Sebaik-baik orang yang mendapatkan amanah adalah yang mengumpulkan dua kepribadian tersebut. Orang kuat mampu mengurus tugasnya dengan baik. Sementara orang yang amanah, tidak akan berkhianat. Dua sifat ini, menurut Syekh Sa’di, harus dijadikan acuan bagi orang yang hendak mempekerjakan orang atau yang lainnya. Bila urusan pekerjaan saja membutuhkan kekuatan dan amanah, apalagi memilih pemimpin yang cakupan wilayahnya jauh lebih luas.
Bahkan, jin Ifrit pun menawarkan diri kepada Sulaiman untuk membawa singgasana Ratu Saba dalam jangka yang cepat –dari sejak Sulaiman berdiri hingga sebelum duduk. Dua hal yang disampaikan mengenai dirinya adalah, “sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”. (QS. An-Naml [27]: 39)
Tiga, berilmu
Ilmu ini begitu vital bagi seorang pemimpin. Nabi Adam ‘Alaihissalam misalnya, yang membuatnya lebih menonjol daripada malaikat adalah karena beliau dibekali ilmu (QS. Al-Baqarah [2]: 31).
Lebih dari itu, kisah Thalut –sang pemimpin yang dipilihkan Allah untuk Bani Israil untuk melawan raksasa Jalut— memiliki dua kelebihan: kekuatan badan (fisik) yang prima atau perkasa dan ilmu.
Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 247)
Menariknya di sini, ketika dalam pandangan Bani Israil, pemimpin harusnya berharta dan tajir, Allah malah menunjukkan sisi kelayakan memimpin Thalut dengan dua karakter, yaitu: perkasa dan ilmu yang luas. Kekuatan fisik sebagai modal besar dalam berjuang di medan tempur. Ilmu yang luas bisa membuatnya arif dan bijak dalam mengambil keputusan.
Empat, berani
Keberanian mutlak dimiliki oleh pemimpin. Ada banyak orang baik, namun ia tak layak memimpin karena tidak memiliki keberanian. Kebaikan yang dimiliki hanya menjadi konsumsi pribadi. Oleh karena itu pemimpin bukan sekadar baik, tapi juga harus pemberani:
فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 249)
Di sini ada pemandangan menarik. Ada yang pengecut dan ada yang pemberani. Bagi pengecut, dia lebih mengutamakan kepentingan sesaat. Sehingga, ketika ada tantangan, mereka segera patah arang. Sementara orang yang pemberani, lebih memilih kepentingan yang lebih jauh ke depan. Sebagaimana Thalut dan pasukan yang setia membersamainya.
Bagi mereka jumlah sedikit tak jadi masalah. Betapa banyak golongan yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak. Mereka adalah pemberani sekaligus penyabar. Begitu seharusnya pemimpin.
Lima, Sabar dan yakin
Kepribadian ini ternyata berkaitan dengan kepribadian sebelumnya. Thalut bersama pasukannya adalah pemberani dan penyabar. Kemudian, pada ayat lain, ketika Allah menceritakan bahwa Musa dijadikan petunjuk bagi Bani Israil, Allah menunjukkan kelayakan sebagian mereka menjadi pemimpin dengan dua kepribadian sekaligus:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajadah [32] 25)
Mereka akan dijadikan sebagai pemimpin tatkala mereka bersabar dan yakin kepada ayat-ayat Allah.
Enam, Hafidz (mampu memelihara dan menjaga)
Selain ilmu luas, rupanya ada hal lain yang perlu disandingkan yaitu kecakapan dalam memelihara dan menjaga sesuatu. Perhatikan Nabi Yusuf ‘Alaihissalam menawarkan diri menjadi bendaharawan Mesir, demikian yang beliau sampaikan:
اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf [12]: 55).
Terkait kedua sifat ini, Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam “Aisar al-Tafaariir” (2003: II/622) memaknainya sebagai orang yang bisa menjaga amanah yang dimandatkan kepadanya dan menguasai ilmu pengelolaannya.
Tujuh, adil dan tidak mempimpin berdasarkan hawa nafsu
Saat Nabi Daud ‘Alaihissalam dijadikan khalifah (pemimpin) oleh Allah, maka yang diperintahkan oleh-Nya adalah:
فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Shad [38]: 26).
Pemimpin teladan memang seharusnya mengedepankan rasa adil dan menjauhkan diri dari pengaruh hawa nafsu.
Delapan, tahan uji
Pada surah Al Baqarah ayat 124 disebutkan kisah menarik terkait Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam. Di situ, beliau dijadikan oleh Allah sebagai pemimpin (imam) manusia saat dia lulus menjalani ujian berat yang bertubi-tubi. Beliau pun, meminta Allah memberikan kepemimpinan kepada keturunannya:
“(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.” Namun, jawab Allah
لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
“Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” Artinya, sangat memungkinkan akan diangkat pemimpin pada keturunan beliau, asalkan tidak zalim alias adil.
Sembilan, pandai bersyukur
Diantara contoh konkret pemimpin yang pandai bersyukur adalah Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam. Kekuasaan dan berbagai kehebatan yang dimiliki, tidak sampai membuat lupa diri untuk bersyukur (berterimakasih) kepada Allah. Pemimpin model ini tidak masuk dalam pribahasa: kacang yang lupa akan kulitnya.
Saat ada yang mampu memindah singgasana Ratu Saba ke negeri Sulaiman hanya dengan sekejap mata, maka beginilah komentar berkelas anak Nabi Daud itu:
هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
“Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni’mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml [27]: 40)
Demikianlah sejatinya pemimpin. Bersyukur kepada sang Pencipta dan pandai berterima kasih kepada orang yang telah berbelas budi kepadanya.
Dengan demikian, inspirasi Al Quran terkait kepribadian pemimpin teladan bisa dilihat dari sisi berikut: kuat, amanah, berilmu luas, berani, sabar (sekaligus yakin), mampu memeliharan (menjaga) tugasnya dengan baik, adil, tidak mengikuti hawa nafsu dan pandai bersyukur (berterima kasih).
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono