Kerusakan sosial akibat kelalaian pada hari kebangkitan

Kerusakan sosial akibat kelalaian pada hari kebangkitan

Tahapan Dakwah dalam Islam
Ilustrasi lelaki berjalan. (Foto: voa-islam.com)

Suaramuslim.net – Al-Qur’an mengabarkan kerusakan sosial di muka bumi ini akibat dari kelalaian manusia akan datangnya hari kebangkitan. Mereka menganggap kehidupan memiliki siklus dan hukum sosial, setelah kehidupan akan berakhir dengan kematian tanpa ada lagi kehidupan baru untuk mempertanggungjawabkan.

Mereka tidak menyadari bahwa dirinya akan dikumpulkan untuk memperoleh balasan atas perbuatannya di dunia. Pada hari itu setiap jiwa akan berhadapan langsung dengan Tuhannya.

Sebagai Pencipta, Allah akan mempertanyakan dan membalas segala perbuatannya. Allah menyiapkan surga bagi pelaku kebaikan, dan neraka bagi pelaku maksiat. Fungsi nabi baru disadari oleh pelaku maksiat, sehingga berbuah penyesalan baginya.

Sementara bagi mereka yang taat akan menjadi berita gembira. Pada hari itu, Allah benar-benar menjadi Penguasa tunggal yang tiada tandingannya, dan membuka tabir penyesalan bagi mereka yang mempersekutukan-Nya.

Nabi sebagai pemberi peringatan

Allah mengutus rasul untuk memberi peringatan akan datangnya hari pembalasan. Untuk membuktikan adanya hari pembalasan, rasul memberikan dalil dan argumen. Alih-alih percaya dan yakin, para pembesar masyarakat justru menolak dengan berbagai cara.

Keraguan akan datangnya hari pertanggungjawaban salah satu sebabnya karena dosa yang terlanjur mereka lakukan. Dengan kata lain, kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan telah menumbuhkan bibit-bibit perlawanan terhadap tersebarnya kebenaran.

Penolakan terhadap hari perhitungan tidak lain sebagai upaya untuk menutupi berbagai kemaksiatan yang telah dilakukannya.

Rasul diutus untuk terus mendakwahkan dan mengingatkan perlunya memperbaiki diri dengan melakukan pertobatan. Rasul pun meyakinkan bahwa dirinya berdakwah tanpa berharap memperoleh imbalan duniawi. Alih-alih mengikuti, mereka justru mendustakan dan menggalang kekuatan untuk melakukan perlawanan. Rasul pun dengan sabar menyampaikan apa yang menjadi tugasnya.

Bahasa yang digunakan rasul pun sangat jelas untuk mau mengembalikan mereka ke jalan yang lurus. Bahkan rasul menjanjikan keuntungan duniawi ketika tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya. Keterangan yang jelas dan gamblang itu justru menambah keraguan.

Mereka menganggap bahwa surga dan neraka merupakan akal-akalan rasul untuk mendapatkan pengaruh dan ingin menggantikan posisi mereka yang telah mapan. Tuduhan-tuduhan jahat pun dialamatkan pada rasul, seperti gila, tukang sihir, dukun, guna menolak adanya hari kiamat. Bahkan mereka menolak keberadaan surga dan neraka.

وَكَذٰلِكَ اَوْحَيْنَاۤ اِلَيْكَ قُرْاٰ نًا عَرَبِيًّا لِّـتُـنْذِرَ اُمَّ الْقُرٰى وَمَنْ حَوْلَهَا وَتُنْذِرَ يَوْمَ الْجَمْعِ لَا رَيْبَ فِيْهِ ۗ فَرِيْقٌ فِى الْجَنَّةِ وَفَرِيْقٌ فِى السَّعِيْرِ

“Dan demikianlah Kami wahyukan Al-Qur’an kepadamu dalam bahasa Arab, agar engkau memberi peringatan kepada penduduk ibu kota (Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) di sekelilingnya serta memberi peringatan tentang hari berkumpul (Kiamat) yang tidak diragukan adanya. Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka.” (Q.S. Asy-Syura: 7).

Kecenderungan menolak hari pertanggungjawaban umumnya dilakukan para pemuka masyarakat. Namrud, Fir’aun, Abu Jahal merupakan pelopor dalam menggalang kekuatan untuk mendustakan apa yang dibawa para rasul. Sebagai orang yang dianggap bijak, para pembesar itu merasa tertandingi oleh keberadaan utusan Allah sehingga berbagai cara dilakukan untuk menolak kebenaran.

Perlawanan terhadap ajaran rasul disebabkan praktik penyimpangan sosial yang mereka lakukan. Mereka yang mengaku tuhan, menyalahgunakan jabatan, selama ini bebas dan leluasa. Dosa-dosa mereka tidak tersentuh oleh orang yang lemah. Mereka pun hidup dalam kemewahan dan kenyamanan tanpa adanya tuntutan. Mereka bisa lolos karena kemampuan mereka dalam menyembunyikan kasusnya atau mampu menutup mulut pihak-pihak yang berpotensi membuka kasusnya.

Bahkan pembunuhan mereka terhadap nyawa orang lain juga tidak ada yang menuntut balik, sehingga mereka bisa berlalu lalang secara bebas. Pengaruhnya begitu kuat membuat dirinya selamat dari berbagai tuduhan.

Di tengah kenyamaan atas berbagai kasus dan kemaksiatan itu, datang peringatan dari seorang rasul untuk mengingatkan adanya hari pertanggungjawaban. Alih-alih mempercayai, para pelaku maksiat justru melakukan penolakan dan perlawanan.

Kondisi ekonomi-politik rasul dan pengikutnya yang kurang beruntung, membuat para penolak kebenaran leluasa untuk menstigma dengan tuduhan buruk.

Manusia mengira bahwa dirinya aman atas perilakunya yang menyimpang. Penyimpangan terbesar yang dilakukan manusia adalah mengadakan sekutu sebagai tandingan Allah. Bukannya mengagungkan Allah, setelah mendapatkan kenikmatan dan keberkahan hidup. Mereka justru tidak mentauhidkan Allah bahkan mengagungkan makhluk-makhluk yang tidak memiliki andil atas kenyamanan hidupnya.

Berbagai seruan untuk kembali ke jalan dengan menyembah hanya kepada Allah tidak pernah digubris. Bahkan mereka berupaya memadamkan cahaya yang disebarkan para rasul. Berbagai mukjizat sebagai bukti kebenaran pun ditolaknya. Ketika para rasul itu sudah memasrahkan kepada Allah untuk mengambil keputusan, maka di situlah terjadi tindakan Allah untuk menyelesaikan perkara mereka.

وَا لَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖۤ اَوْلِيَآءَ اللّٰهُ حَفِيْظٌ عَلَيْهِمْ ۖ وَمَاۤ اَنْتَ عَلَيْهِمْ بِوَكِيْلٍ

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah, Allah mengawasi (perbuatan) mereka; adapun engkau (Muhammad) bukanlah orang yang diserahi mengawasi mereka.” (Q.S. Asy-Syura: 6).

Air bah yang menimpa kaum Nabi Nuh, ditenggelamkannya Fir’aun dan bala tentaranya, dan terbunuhnya tokoh Quraisy dalam Badar merupakan jalan akhir yang dipilih Allah. Mereka jelas-jelas melakukan kejahatan besar karena melakukan penyembahan kepada selain Allah.

Kesalahan dalam berkeyakinan itulah yang menggerakkan berbagai penyimpangan yang menyebabkan tersebarnya kejahatan yang berimplikasi terjadinya kerusakan sosial.

Surabaya, 21 April 2022
Dr. Slamet Muliono R.
Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya (2018-2022)

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment