Suaramuslim.net – Ada salah satu prinsip dalam menjalani kehidupan. Dan prinsip ini hanya satu. Sabar. Satu kata yang mudah diucapkan namun sulit penerapannya. Sebegitu sulitnya, sebagian orang membuat alibi tentang kesabaran yang bisa dihitung. Dengan mengatakan kesabaran ada batasnya. Jika sabar sudah ada batasnya, maka itu sabar tak bernilai ilahiyah lagi. Padahal innallaha ma’a shobirin (sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar). Begitu agung nilai kesabaran membuat Allah membersamai orang-orang yang sabar tersebut. Memberi pertolongan di kala tertimpa malapetaka.
Semua yang ada pada hamba-Nya membutuhkan sabar. Baik itu beramal, menahan maksiat dan mencari keridaan Allah subhanahu wa ta’ala.
وَٱلَّذِينَ صَبَرُوا۟ ٱبْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُوا۟ مِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِٱلْحَسَنَةِ ٱلسَّيِّئَةَ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عُقْبَى ٱلدَّارِ
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhannya, mendirikan salat dan menafkahkan sebagian rejeki yang kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan, orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (QS Ar Ra’ad: 22)
Ayat di atas dimulai dengan sabar di awal. Memberi maksud jika ingin mencari rida Tuhan, maka harus bersabar. Jika salat juga bersabar, jika tidak sabar mana mungkin bisa mendapatkan khusyuk. Jika menafkahkan rezeki bersabar, memperolehnya dan membelanjakannya. Baik secara sembunyi-sembunyi, menahan diri dari pamer atau terang-terangan, menahan diri tidak marah jika distempel riya atau sok dermawan.
Tidak mengherankan kesabaran merupakan ruh amalan. Kesabaran melahirkan istiqamah (konsistensi) dalam beramal. Amalan apapun. Kecil atau besar. Mahal atau murah. Dan Allah subhanahu wa ta’ala lebih mencintai amalan yang kecil tapi konsisten daripada besar tidak konsisten.
Dalam salat sekalipun orang tidak sabar, salatnya akan secepat kilat. Tidak ada tumakninah dalam gerakan dan pikirannya. Yang tercermin adalah terburu-buru. Dan bisa dikatakan untuk demikian itu jauh dibilang khusyuk.
Kesabaran, perisai bujuk rayu setan. Setan itu mengalir dalam darah. Selalu memberik was-wis-wus dalam dada. Orang yang lemah sabar, sering mendapat perlakuan dari setan yang tidak menyenangkan; mau salat kaki terasa berat, pundak pegal, ada bisikan untuk menunda salat. Mendorong untuk melakukan kejahatan ringan atau berat.
Semua bisikan itu hanya bisa dihadapi dengan kesabaran. Diam atau tidak meladeni saat mendapat bisikan lebih baik. Namun bisa menghilangkan bisikan tersebut dengan bacaan Al Quran juga lebih dan lebih baik. Manusia tidak bisa selamanya lurus. Selamanya baik. Selamanya taat. Ada kalanya terjatuh kepada maksiat. Berlaku zalim dan jahat.
Perbuatan ingkar tersebut bisa dihapus dengan istighfar dan taubat. Bahkan jika ingkar berkali-kali maka istighfar dan taubat dua kali lebih banyak. Ali bin Abi Thalib pernah ditanya oleh seseorang.
“Bagaimana jika aku bermaksiat?”
“Istighfar dan bertaubatlah,” jawab Ali.
“Bagaimana jika aku bermaksiat lagi?”
“Istighfar dan bertaubatlah,” jawab Ali.
“Bagaimana jika aku bermaksiat lagi?”
“Istighfar dan bertaubatlah sampai setan bosan denganmu (istighfar dan taubat),” jawab Ali.
Lemah sabar atau yang menganggap kesabaran ada batasnya, yang ada kebalikan. Bosan dengan istighfar. Bisa dikatakan kesabaran merupakan mesin pemutar roda istighfar.
Seorang muslim yang mampu dengan model tiga kesabaran di atas, membuat segala urusan menjadi menakjubkan. Tergambar dalam hadits dari Shuhaib bin Sinan ra, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ”Sungguh menakjubkan perkara orang mukmin itu, sesungguhnya seluruh perkaranya adalah baik baginya dan hal itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh mukmin. Jika diberi yang menggembirakan (nikmat), ia bersyukur maka itu baik baginya. Jika diberi keburukan (musibah) ia bersabar. Maka hal itu baik baginya.” (HR Muslim)
Kesabaran saat mendapat musibah, orang yang tidak beriman akan mengumpat nasib, meratapi keadaan, berandai-andai dengan waktu dan marah kepada ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala. Terjatuh kepada syirkul asghor sangat mungkin. Takaran iman begitu kecil.
Lain halnya dengan orang beriman. Kebalikan dari orang tidak beriman dengan beberapa kondisi di atas. Orang beriman menghadapi musibah lebih tenang. Emosi dan mengumpat tidak akan keluar dari mulutnya. Ketika sudah tenang lebih mudah mendapat jalan keluar.
Yang paling penting, orang beriman bisa menahan diri untuk menyatakan jika musibah yang menimpa adalah azab. Atau jika melihat musibah datang di suatu tempat tidak tergesa-gesa untuk menyatakan jika musibah yang datang suatu azab. Konsekuensi dari pernyataan azab tidaklah ringan. Jika daerah tersebut pernah diturunkan azab, maka muslim manapun tidak boleh tinggal di tempat tersebut.
Nabi perjalanan menuju Tabuk. Beliau melewati Hajar (sebuah daerah yang ditempati kaum Tsamud kaumnya Nabi Shaleh). Puing-puing dari rumah mereka masih tersisa. Kemudian Nabi bersabda, ”Janganlah kalian memasuki tempat tinggal orang-orang zalim kecuali sambil menangis. Karena apa yang menimpa mereka bisa menimpa kalian.” (HR Ahmad dan Bukhari).
Kesabaran saat mendapat nikmat, bersyukur. Rasa syukur yang nampak dengan mengucapkan alhamdulillah. Mau membagikan kenikmatan tersebut kepada orang lain dalam bentuk materi. Menahan tidak pamer kepada tetangga atau teman. Tidak berlebihan dalam menyanjung bersifat kepemilikan. Nikmat perlu disabari.