Suaramuslim.net – Saat ini, terutama di era penggunaan internet banyak orang bodoh yang sok pintar, berkomentar sekenanya sehingga membuat kegaduhan. Ada orang berilmu dan seharusnya diikuti, tapi justru dimaki, dibully bahkan dihabisi oleh orang gila dadakan.
Ada orang yang seharusnya tidak diikuti dan perlu dinasehati, meski berilmu, tapi justru dibela dan puji. Di kondisi seperti ini, kuadran kesadaran berilmu ala Imam Al-Ghazali tentang orang tahu dan orang tidak tahu, perlu dijadikan pedoman.
Dalam kitab Ihya’ Ulûmiddîn, Abu Hamid Al-Ghazali mencatat kuadran, yang sejatinya pendapat Al-Khalil ibn Ahmad, itu di pembahasan tentang ulama baik dan ulama buruk.
Manusia itu ada empat (tipe). (Pertama), manusia yang tahu dan tahu bahwa dia tahu. Itu orang berilmu, maka ikutilah dia! (Kedua), manusia yang tahu dan tidak tahu bahwa dirinya tahu. Itu orang yang tidur, maka bangunkanlah dia! (Ketiga), manusia yang tidak tahu dan tahu bahwa dia tidak tahu. Itu pencari petunjuk, maka berilah dia petunjuk! (Keempat), manusia yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Itu orang dungu, maka tolaklah dia!
Tipe pertama adalah tipe ideal orang berilmu, yaitu menyadari dirinya mengetahui dan mengamalkan ilmu pengetahuannya. Misalnya orang berilmu itu tahu bahwa “Islâm” itu serumpun dengan “salâm” yang berarti damai. Kemudian, dia berupaya untuk bersikap santun, merangkul semua pihak, dan menebarkan kasih kepada para penghuni bumi. Ketika dimusuhi dan dimaki pun, orang berilmu tersebut memaafkan pihak yang memusuhi dan memakinya. Orang berilmu semacam itulah yang termasuk ulama yang patut diikuti.
Tipe kedua bukan tipe ideal orang berilmu. Orang model kedua itu sebenarnya berilmu. Tapi dia tidak benar-benar menerapkan ilmunya dengan baik. Orang yang berilmu semacam itu, menurut catatan di Ihya’ tersebut adalah orang yang sedang tidur (comfort-zone). Dia perlu disadarkan. Karena dia berilmu, tentu cara penyadarannya pun harus dengan ilmu juga: baik dengan perdebatan yang baik maupun dengan pernyataan bijak yang mengarah ke hakikat ilmu.
Memang tidak ada orang yang menguasai semua disiplin ilmu, tetapi sadarlah bahwa setiap kita mempunyai kelebihan yang telah Allah berikan kepada kita, temukanlah. Dan dengan kelebihan ilmu/ketrampilan itu terlibatlah dalam kiprah dakwah. Untuk memakmurkan masjid misalnya, tidak hanya butuh ustadz alumni pesantren atau IAIN, tapi perlu ahli audio agar suaranya terdengar jelas, perlu ahli AC agar jamaah nyaman di masjid, perlu ahli drainase agar toilet tidak bau bahkan perlu ahli IT yang mampu meng-upload ceramah-ceramah yang bermutu, meredam puisi dan statement yang tidak bermutu. Apalagi untuk membangun umat, Islam rahmatan lil alamin, perlu ekonom, pengusaha, politisi, ahli medis, dll, agar ilmuwan muslim berperan siginfikan.
Tipe ketiga adalah tipe ideal orang yang tidak tahu. Dia memang tidak tahu, tapi dia sadar bahwa dirinya tidak tahu, sehingga dia selalu belajar dan siap bertanya kepada siapapun yang layak untuk ditanya tentang ilmu dan informasi. Hasilnya, orang yang tak berilmu semacam ini lambat laun menjadi orang yang berilmu. Sekiranya orang berilmu bertemu dengan tipe ketiga ini, sepatutnya orang berilmu itu berkenan mengajarinya, karena orang tipe ketiga ini adalah pembelajar yang perlu diajari untuk perbaikan masa kini dan masa depan.
Tipe keempat adalah tipe manusia paling buruk. Dia adalah orang bodoh, tapi tidak menyadari kebodohannya. Seharusnya orang bodoh belajar pada orang yang pintar. Tapi orang bodoh yang tidak sadar dirinya bodoh adalah orang yang enggan belajar. Dia merasa puas dengan kondisi dirinya. Cenderung menolak untuk diajari, bahkan sering sok tahu, meski aslinya cuma tahu sedikit atau tidak tahu atau ngawur.
Orang semacam itu adalah orang bodoh kuadrat (jâhil murakkab) yang tidak bisa diubah dan berubah menjadi baik. Oleh karena itu, Imam Al-Ghazali juga mencatat di Ihyâ’ `Ulûmiddîn, bahwa pengusiran adalah tindakan yang tepat terhadap orang bodoh yang tidak sadar tentang kebodohannya.
Berdasarkan paparan di atas tampak jelas bahwa tipe pertama adalah sifat paling ideal yang seharusnya kita miliki, yaitu berpengetahuan dan menyadari apa yang kita ketahui sekaligus menjalankan dan menebarkannya. Sekiranya kita belum mencapai level pertama itu, minimal kita menjadi orang tipe ketiga, yaitu orang yang belum tahu dan menyadari ketidaktahuan diri dan berusaha untuk mengetahui dengan cara terus menerus belajar kepada orang-orang tipe pertama itu.
Yang jelas, sepatutnya kita membangunkan orang tipe kedua, karena orang tipe kedua adalah orang yang justru perlu diberi peringatan bukan untuk do something, agar ilmunya bermanfaat.
Kesadaran ilmu pemberian Allah sebagai ladang amal: “Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Az Zukhruf: 32).
Yang lebih jelas lagi adalah jangan sampai kita menjadi orang tipe keempat. Sebab, orang bodoh yang tidak menyadari kebodohannya adalah seburuk-buruk manusia. Sekiranya kita menghadapi orang bertipe empat itu, kita perlu mengingat petuah yang dicatat Imam Al-Ghazali tersebut, yaitu “farfudlûh!” jauhilah bahkan singkirkanlah.
Penulis: Misbahul Huda*
*Founder Rumah Kepemimpinan Indonesia
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net