Suaramuslim.net – Mereka saling berebut, saling mengambil apa yang menurutnya sebagai miliknya, tak ada yang mau mengalah, masing masing merasa benar, begitulah pagi ini saya melihat anak-anak TK bermain yang kebetulan tak jauh berada dari tempat tinggal saya. Saya perhatikan mereka bermain karena memang saya lekat sekali dengan dunia anak.
Suatu saat ada yang merampas barang milik temannya dan mempertahankannya ketika diminta kembali, karena sang pemilik membutuhkan akhirnya tak bisa dihindari merekapun bertengkar, tapi tak lama setelah itupun mereka berteman dan bermain kembali.
Gambaran dunia anak yang seperti itu tak bisa dilepaskan dari kebutuhan manusia secara umum, karena pada dasarnya sebagai manusia kita mempunyai kebutuhan yang sama. Tentu didalam setiap kebutuhan yang dimiliki, manusia dipengaruhi oleh fase fase tumbuh kembangnya.
Pada tingkat kebutuhan dimana manusia memerlukan sebuah penegas akan dirinya, Maslow menyebutnya sebagai kebutuhan aktualisasi, nah pada cara meraih kebutuhan dengan cara yang mementingkan dirinya sendiri tanpa bisa mengendalikan egonya, Freud mengkategorikan perilaku ini sebagai fase pertama perkembangan manusia yaitu fase oral. Pada fase ini manusia sangat tergantung dengan pengasuhan yang didapatkan. Pada fase ini akan sering rentan terjadi konflik, karena memang ketergantungannnya sangat tinggi disatu sisi ketakmampuan mengendalikan diri.
Ketika saya merenung akibat membaca lembar lembar catatan perkembangan jiwa fase per fase, bayangan saya kemudian menerobos relung-relung perpolitikan dan jagat pendidikan kita. Pada jagat perpolitikan kita terpendar sebuah kata politik identitas, yang kemudian diikuti pertarungan antar identitas yang mengeras.
Pertarungan mengeras itulah yang dalam terminologi freud disebut sebagai fase oral, karena ketergantungan terhadap identitas yang diperjuangkan. Pada fase ini akan menghadapi sebuah masalah ketika akan terjadi penyapihan. Akan terjadi dengan konstraksi melawan yang tak terpuaskan yang kemudian oleh freud disebut sebagai fixasi (ketersumbatan).
Ketakutan akan kehilangan sesuatu yang menyenangkan (kekuasaan) bagi saya adalah sebuah perilaku wajar, tapi menjadi tidak wajar kalau kemudian melakukan hal-hal yang hanya memuaskan egonya, menanggalkan hati nuraninya sehingga terjadi penghalalan cara. Memaksa orang lain harus sama, menolak yang tidak sejalan bahkan kalau perlu menghancurkan. Kita menjadi lupa kalau kita ini sejatinya bersaudara.
Di tengah gempita merayakan menjadi Indonesia kembali yang ke-73, saya merasakan cara-cara kita berdemokrasi semakin jauh mundur ke belakang, tidak ada penghormatan, tak mampu menghargai perbedaan, sumpah serapah dan fitnah menjadi pegangan. Lalu saya mencoba membuka buka kembali sejarah kekuasaan di bumi Singhasari, ketika Kebo Ijo dengan politik identitasnya berharap dia diakui sebagai manusia yang digdaya, namun dengan kecerdikan Ken Arok, Kebo Ijo menjadi sasaran fitnah.
Lalu apakah Ken Arok kemudian bebas melaju dalam kekuasaan? Ternyata tidak, Ken Arok harus menghadapi serangkaian ancaman dari keturunan Tunggul Amaetung, dan seterusnya. Sejarah kekuasaan penghalalan segala cara selalu menumpahkan darah.
Menjadi menyedihkan ketika kemerdekaan Indonesia yang sudah dilakukan ke-73 dengan suasana pendidikan yang semakin baik, ternyata perilaku kekuasaan dan perpolitikan tak jua kunjung berubah, saling menebar fitnah dan saling beemusuhan. Lebih menyedihkan lagi tak ada bedanya mereka yang katanya pernah mengenyam pendidikan tinggi dengan yang belum pernah. Perilakunya hampir sama.
Di tengah kegelisahan dalam perayaan kemerdekaan Indonesia, ada sedikit bahagia ketika anak anak muda dengan semangatnya mampu menyajikan kebahagiaan untuk Indonesia. Sepak bola Indonesia U 16 memberikan kado terindah sebagai juara. Haru biru terasa ternyata kita masih Indonesia, ketika gelora delta Sidoarjo, menjadi saksi anak-anak muda menyanyikan Indonesia Pusaka.
Nah kepada para politisi dan pendukungnya belajarlah dari permainan bola, meski kesebalasan Indonesia berasal dari pemain yang berbeda daerah, tapi semangat mereka satu, memartabatkan Indonesia. kita ini bersaudara, tak elok melemahkan, memfitnah apalagi menebarkan kebencian dan permusuhan. bergeraklah menjadi dewasa, jangan hanya tua tapi perilakunya seperti kanak-kanak.
*Ditulis di Surabaya, 13 Agustus 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net