Ketika Makna Ditangkap Berbeda

Ketika Makna Ditangkap Berbeda

Ketika Makna Ditangkap Berbeda

Suaramuslim.net – Kawan… Pernahkah kita menghadapi situasi berniat baik memberi tahu seseorang, tapi mendapatkan perlakuan yang kurang simpati dari orang tersebut? Mengapa sesuatu yang baik itu bisa mendapatkan respon yang kurang baik?

Masih segar dalam ingatan kita tragedi Sampang gugurnya sang biolist, dinda Budi dalam tugasnya mengajar. Beliau diduga mendapatkan pukulan dari muridnya H dan menyebabkan kematian batang otak yang mengantarkannya pada takdir kematian. Pak Guru Budi tentu sebagai seorang guru pastilah mempunyai niat mulia ketika mengingatkan muridnya yang dianggap berperilaku kurang baik. Saya yakin dalam benak Pak Budi apa yang dilakukan H tentu akan menyebabkan ilmu yang beliau bagikan tidak dapat tertangkap dengan baik. Sehingga beliau ingatkan si murid dengan caranya.

Bukankah peristiwa Sampang sesungguhnya merupakan potret keseharian kita, baik di dalam keluarga, di dalam kelas dan ruang-ruang diskusi bersama teman, maupun dalam suasana pemerintah bersama rakyatnya begitu juga sebaliknya. Potret kegagalan dalam berkomunikasi dan menangkap serta menyampaikan pesan. Sehingga seringkali maksud baik tidak bisa tertangkap dengan baik.

Mengapa bisa terjadi?

Sebuah pesan akan sampai pada penerima pesan tentu saja akan dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya cara menyampaikan pesan, kemampuan penerima pesan dan penyampai pesan ketika berkomunikasi, pilihan kata yang dipilih, serta suasana ketika pesan disampaikan.

Dalam hal cara menyampaikan pesan, suatu saat kita menjumpai apa yang disampaikan orang lain tidak sama dengan apa yang menjadi maksud kita, tentu saja kita berkewajiban memberi tahu, ketika cara kita memberi tahu dilakukan dengan intonasi yang tinggi, meledak-ledak, pilihan kata yang kurang tepat serta tidak memahami perasaan lawan bicara kita, maka bisa dipastikan maksud baik kita tidak akan sampai. Kita mengalami kegagalan berkomunikasi.

Selain itu dalam hal pemilihan kata. Sebuah kata yang menjadi kalimat, dalam berkomunikasi mempunyai dua makna. Makna pertama adalah makna “denotatif”, makna kata itu hanya dipahami dalam perspektif kebutuhan penyampai pesan. Sehinga pesan-pesan yang disampaikan akan mengalami hambatan pemahaman ketika diterima oleh si penerima pesan. Hal ini disebabkan lingkungan yang berbeda, pengalaman yang berbeda, latar belakang pendidikan yang tidak sama atau variabel lain yang memungkinkan terjadinya hambatan berkomunikasi. Kecenderungan pola komunikasi seperti ini egois, memaksakan pemahaman dan sulit menerima pendapat orang lain.

Makna yang kedua adalah makna “konotatif”. Yaitu penyampai pesan ketika menyampaikan pesannya akan mempertimbangkan banyak hal berkaitan dengan variabel penghambat pesan. Penyampai pesan akan berhati-hati dan cerdas dalam pilihan kata, karena setiap pilihan kata dan cara akan disesuaikan dengan situasi si penerima pesan. Kecenderungan komunikasi seperti ini adalah partisipatif, mendengarkan dan menerima pendapat terbaik demi kepentingan bersama.

Nah kawan, cara kita berkomunikasi menentukan keberhasilan kita menyampaikan pesan. Cara itulah yang saya sebut sebagai kecerdasan menemukan frekuensi dalam berkomunikasi. Kecerdasan menemukan frekuensi berkaitan dengan kecerdasan kita memilih kata, kecerdasan memilih intonasi serta kecerdasan melihat momentum. “Janganlah memberi nasehat kepada orang yang sedang jatuh cinta”, begitu kata bijak yang perlu kita renungkan. Karena bisa dipastikan apa yang kita sampaikan tak akan didengar, sebab nasehat kita akan ditangkap sebagai penghambat dalam menemukan kepuasan.

Teladan baik dalam hal berkomunikasi pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim ketika menghadapi Namrudz. Bagaimana Nabi Ibrahim dengan lugas menyampaikan pesan peribadatan janganlah menyembah batu karena batu tak akan bisa berbuat apa-apa untuk kaumnya. Lalu Ibrahim mengajak kepada kaumnya untuk bertanya kepada batu apakah bisa menjawab terhadap peristiwa yang menimpanya. Saat itu muncul kesadaran penyembahan yang benar dari kaum Nabi Ibrahim.

Teladan lain dikisahkan ketika Nabi Musa berkomunikasi dengan Fir’aun tentang ketuhanan. Saat itu Fir’aun mengerahkan para ahli sihirnya. Dengan komunikasi “ular” Nabi Musa melemparkan tongkatnya lalu menjelma menjadi ular dan memangsa ular sihir kerajaan Fir’aun. Lalu bersujudlah para tukang sihir itu.

Hal lain yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika melakukan penanda tanganan perjanjian Hudaibiyah. Dikisahkan bagaimana dengan perjanjian itu Nabi mampu menempatkan posisi umat Islam dalam posisi sejajar dengan masyarakat Quraisy. Meski tidak semua sahabat bisa memahami. Saat itu isi perjanjian dianggap sangat merugikan kaum muslimin. Nabi melihat adanya kesanggupan menerima nama Muhammad disejajarkan dengan nama-nama pemimpin Quraisy yang menentang dakwahnya dalam sebuah naskah perjanjian. Bagi Nabi penempatan nama itu merupakan bentuk kesejajaran posisi umat Islam saat itu dengan masyarakat Quraisy. Yang kemudian menjadi bagian kisah pembuka kota Mekkah.

Pentingnya memahami situasi lawan bicara merupakan pesan penting keberhasilan sebuah komunikasi.

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Ibrahim: 4).

M. Isa Ansori
*Surabaya, 8 Februari 2018
*Pengajar di STT Malang, Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim, Anggota Dewan Pendidikan Jatim

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment