Penulis: Dr. Slamet Muliono *
Suaramuslim.net – Jika Allah menghendaki kelanggengan dan kemakmuran suatu kaum, maka Dia memberi rezeki berupa sikap sederhana (hemat) dan menjaga diri (kehormatan). Dan apabila Allah menghendaki perpecahan suatu kaum, maka Dia membukakan bagi mereka pintu khianat.
Amanah : Penopang Kesejahteraan Masyarakat
Nabi ingin menunjukkan dan mengajarkan kepada umatnya bahwa hancur dan kokohnya tatanan masyarakat sangat ditentukan oleh sejauh mana amanah mengakar di masyarakat. Amanah merupakan akar terciptanya kesejahteraan sosial dan berimplikasi pada keberlanjutan dan kelanggengan suatu masyarakat. Bangsa yang amanah akan memiliki harga diri dan membuat jalinan hubungan antar komponen masyarakat menjadi kuat.
Al Quran memberi contoh sosok Nabi Yusuf yang melekat dalam pribadinya sifat amanah dan jujur. Kiprah Nabi Yusuf yang berhasil memakmurkan masyarakat Mesir tidak lepas dari sifat amanah yang melekat dalam dirinya. Sifat amanah itu ditebarkan dalam masyarakat ketika Nabi Yusuf memegang amanah sebagai orang berkedudukan tinggi di Mesir.
Dalam sejarah perjalanan para nabi dan rasul, melekat dalam diri mereka sifat amanah. Dalam konteks ini, mereka harus menyampaikan amanah yang telah mereka emban. Mereka wajib meyampaikan semua risalah yang dibebankan pada diri mereka. Tekanan dan ancaman pembunuhan dialaminya ketika harus menyampaikan amanah itu kepada masyarakatnya. Penyampaian amanah kepada masyarakat guna memperbaiki keadaan dan menciptakan akhlak sosial sehingga tercipta kesejahteraan sosial secara hakiki.
Nabi Syuaib merupakan contoh seorang rasul yang mendapatkan amanah untuk memperbaiki akhlak sosial masyarakatnya. Dia melarang umatnya dari perilaku mengurangi timbangan. Masyarakat sudah terbiasa dengan tradisi mengurangi timbangan. Mengurangi timbangan bukan hanya merusak mental anggota masyarakat. Tetapi menghancurkan tatanan sosial dan ekonomi masyarakat. Betapa tidak, ketika masyarakat menghalalkan pengurangan timbangan, berarti masyarakat membenarkan perilaku mengambil hak orang lain yang bukan miliknya. Hal ini berarti masyarakat melegalkan merampok harta milik publik untuk dimiliki secara privat.
Masyarakat yang kokoh bisa runtuh dan bisa langgeng. Hal ini bergantung pada sifat amanah yang melekat atau renggang. Ketika sifat amanah itu melekat, maka tingkat kesejahteraan masyarakat semakin dekat. Sifat amanah itu akan tercermin dari sikap hidup yang sederhana dan jauh dari foya-foya. Masyarakat akan rusak apabila mereka hidup tak wajar, seperti bermewah-mewah dan menghabiskan kekayaan secara tak wajar. Mereka seolah menikmati hidup secara maksimal dan ingin merasakan hasil jerih payahnya secara maksimal. Mereka berpandangan bahwa hari-hari mereka jalani dengan bekerja keras dan susah payah sehingga mereka menghasilkan harta kekayaan yang menumpuk. Oleh karena harta kekayaan yang banyak itu, mereka ingin menikmatinya secara maksimal.
Mereka lupa bahwa harta kekayaan yang menumpuk tidak luput dari peran dan kontribusi orang lain (masyarakat miskin dan yang terpinggirkan). Ketika berfoya-foya menikmati harta kekayaan, mereka yang miskin dan terpinggirkan itu terlalaikan. Andaikata orang yang hidup mewah tadi sadar akan peran orang miskin, maka pembiayaan untuk foya-foya tadi bisa dialokasikan pada mereka yang hidupnya kurang mapan.
Perilaku hemat dan mau menyisihkan sebagian hartanya untuk berbagi, maka tidak akan tercipta gap yang demikian besar. Ketika masyarakat miskin memperoleh haknya secara proporsional, dengan menerima sebagian rezeki dari orang kaya, maka akan tercipta persatuan dan kekokohan antar level sosial di masyarakat. Disinilah makna kesejahteraan sosial yang hakiki.
Khianat dan Hancurnya Masyarakat
Apa yang digambarkan bahwa perpecahan dalam masyarakat akan muncul berawal dari tersebarnya sifat khianat. Munculnya kasus-kasus tindak korupsi tidak lepas dari melekatnya sifat khianat dan hilangnya sifat amanah. Menghalalkan segala cara dan menikmati hidup secara hedonis merupakan bibit tumbuhnya karakter khianat. Ditahannya 41 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagaimana terjadi di Malang, merupakan contoh gamblang yang bisa kita lihat secara langsung dan kasat mata.
Mereka merupakan kelompok elit yang memiliki wewenang besar untuk melahirkan kesejahteraan sosial. Namun karena sifat khianat dan terdegradasinya sifat amanah, maka tindakan korupsi ini terjadi. Di sisi lain, mereka kehilangan empati terhadap orang miskin. Tertutupi oleh sikap rakus dan menumpuk kekayaan untuk diri mereka.
Betapa tidak, masyarakat sudah mempercayakan dan memberi mandat untuk mengatur dan merancang agenda untuk memperbaiki nasib mereka. Masyarakat ingin nasibnya berubah dari menderita menjadi tercukupi dan kemudian sejahtera. Namun karena terkikisnya sifat amanah dan berganti khianat, maka kelompok elit ini leluasa melakukan korupsi secara bersama-sama. Mereka tidak lagi memikirkan dampak sosial atas perilaku khianat mereka.
Seluruh komponen masyarakat senantiasa menginginkan kehidupan yang damai dan sejahtera serta tidak terlalu jauhnya jarak sosial antara elit dan kalangan umum. Disebabkan hilangnya sifat amanah, bukan hanya terjadi stratifikasi sosial yang lebar dan mencolok tetapi tercipta konflik yang berkepanjangan. Alih-alih terwujudnya negara yang adil dan sejahtera, berkurangnya penderitaan masyarakat sulit diwujudkan.
Ketika elit hilang sifat amanah dan berganti sifat khianat, maka akan menyebar tindakan menghalalkan segala cara. Betapa banyak kelompok elit yang melakukan kejahatan sosial, dan hidup mereka terus menerus bergelimang dalam kemewahan, hingga masyarakat awam mengira bahwa orang yang terus menerus dalam kemaksiatan justru mudah dalam menggapai kekayaan. Situasi seperti inilah yang digambarkan nabi sebagai “istidraj”. Sebagaimana digambarkan nabi sebagaimana sabdanya:
“Apabila kamu lihat Allah memberikan kesenangan duniawi kepada seorang hamba yang gemar berbuat maksiat terhadap-Nya sesuka hatinya, maka sesungguhnya hal itu adalah istidraj (membinasakan secara perlahan-lahan).”
*Surabaya, 19 September 2018
*Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel dan Direktur Pusat Kajian Islam dan Peradaban (PUSKIP) Surabaya
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net