Khidmah: Jalan Pintas Meraih Keberkahan Ilmu

Khidmah: Jalan Pintas Meraih Keberkahan Ilmu

Khidmah: Jalan Pintas Meraih Keberkahan Ilmu
Ilustrasi laki-laki membaca buku. (Ils: Dribbble/Dark Cube Studio)

Suaramuslim.net -Islam banyak menawarkan jalan pintas bagi umat manusia, ibarat penjual jamu maka Islam menyediakan jamu paling mujarab. Ibarat sebuah jalan berliku maka Islam menyediakan bypass untuk sampai ke tempat tujuan.

Seseorang yang ingin mendapatkan ketinggian ilmu maka dia harus merendahkan dirinya di hadapan orang yang berilmu. Ilmu itu ibarat air yang mengalir menuju tempat yang lebih rendah dan musuhnya adalah tempat yang tinggi. Sementara kesombongan dan ketinggian hati akan menghentikan aliran air itu. Oleh karena itu musuh keberkahan ilmu adalah sikap sombong. Karena itulah sikap tawadu dan kesediaan berkhidmah terhadap guru, teman dan orang lain akan menjadikan aliran air semakin lancar dan mampu mewadahi banyak air yang ada.

Khidmah, adalah tindakan kesediaan untuk melayani orang lain, memenuhi kebutuhan orang yang dilayani (ulama) dengan cara menempatkan posisi sebagai pelayan, mendahulukan kepentingan orang lain, dibandingkan kepentingan diri sendiri.

Khidmah adalah kesediaan untuk membersamai guru. Tindakan membersamai atau mulazamah di dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah cantrik yaitu seseorang yang selalu membersamasi guru ke mana pun dan dalam keadaan guru apapun.

Khidmah adalah bentuk daripada loyalitas seorang murid terhadap ilmu, ulama dan lingkungan di mana dia menuntut ilmu. Orang yang bermulazamah ini kemudian dikenal dengan santri.

Khidmah adalah cara untuk meninggikan kemuliaan derajat seseorang. Karena saat orang bersedia berkhidmah maka sejatinya dia sedang membuka pintu keberkahan dengan merendahkan hati di hadapan orang lain, membuatnya senang dan bahagia, maka pada saat itulah seseorang tentu akan ringan tangan memberi dan membantunya atas setiap permasalah hidup yang dialaminya.

Karena itulah, berilmu tidak cukup dengan menguasai sejumlah pengetahuan. Namum orang berilmu itu ditunjukkan dengan berbagai perilaku yang luhur dan tinggi sehingga dapat membedakan mana orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu.
Di saat Allah swt meninggikan derajat orang yang berilmu maka seharusnya pula orang berilmu memiliki ketinggian akhlak sebagai tanda tingginya derajat.

Allah swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadilah: 11).

Allah swt begitu agungnya memuliakan derajat orang berilmu, karena dengan ilmu maka manusia mengetahui kebenaran, baik buruk, serta mengenal Rabbnya yang mencipta kehidupan ini. Sehingga layaklah ditinggikan derajat oleh Allah.

Jika Allah telah meninggikan derajat mereka maka kita juga tentu lebih layak pula mengagungkan para ahli ilmu, lebih-lebih para guru yang telah mengajari kita ilmu. Itulah sikap khidmah.

Ilmu adalah kemuliaan yang Allah berikan pada manusia untuk membedakan dengan makhluk lainnya bahkan dengan malaikat sekalipun.

Sebagaimana perdebatan malaikat dengan Allah saat awal penciptaan manusia. Kemudian Allah tunjukkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan yang sempurna dan mulia karena dia memiliki dua unsur kesempurnaan sebagai makhluk yaitu akal pikiran (yang dengannya manusia menghasilkan ilmu) dan hawa nafsu (yang dengannya manusia menjadi lebih kreatif dalam mengembangkan kehidupan).

Allah mengabadikannya dalam Al-Qur-an:

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ * قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar! Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 31-32).

Untuk itulah kemuliaan ilmu haruslah kita jaga agar tetap melekat dalam diri kita.
Cara menjaga kemuliaan derajat ini adalah dengan menunjukkan kepedulian dan penghormatan melalui khidmah atau memberikan pelayanan terbaik, memenuhi dan mengutamakan kebutuhannya serta memuliakannya dalam majelis. Yaitu kepada para guru-guru kita yang telah menjadi jalan sampainya ilmu pada diri kita.

Sayyidina Ali mengatakan bahwa siapa pun yang pernah menyampaikan ilmu pada diri kita walau hanya satu huruf maka dia adalah guru bagi kita. Lebih-lebih mereka yang telah mengajarkan banyak ilmu, mengarahkan dan membimbing diri kita sehingga mengenal Allah Sang Pencipta kehidupan (murabbi).

Ungkapan Arab mengatakan:

لولا مربي ما عرفت ربي

“Kalau sekiranya tanpa murabbi (guru yang membimbing, tentulah kita tidak mengenal Tuhan yang mencipta.”

Sehingga selayaknyalah bagi kita memuliakan dan berkhidmah, melayani pada sang guru dan orang-orang berilmu sebagai tanda kepedulian dan penghormatan atas ilmu, dan itulah jalan pintas meraih keberkahan ilmu.

1 Agustus 2020
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment