Kisah Menyentuh Keluarga Tangguh Berjuang Melawan Corona

Kisah Menyentuh Keluarga Tangguh Berjuang Melawan Corona

Kisah Menyentuh Keluarga Tangguh Berjuang Melawan dari Corona
Ilustrasi penanganan pasien di rumah sakit. (Ils: BBC.com)

Suaramuslim.net – Bismillah…
Keluarga kami berlima. Abi, saya, kakak Damar (15 th), kakak Nasty (9 th) dan adek Dewi (7 th). Keluarga kami sangat menaati protokol kesehatan selama pandemi ini. Bahkan, Abi sangat getol mengajak warga di lingkungan rumah kami untuk taat dengan aturan segala macamnya. Beliau aktif sebagai relawan Covid-19 di kelurahan. Abi work from home sejak 16 Maret 2020, bersamaan dengan anak-anak mulai study from home.

Kamis 7 Mei

Hingga Kamis siang, 7 Mei (14 Ramadan) tiba-tiba kami ditelepon ibu dari Surabaya, bahwa kondisi Abah drop. Lepas Zuhur, berangkatlah kami ke Surabaya. Mengabaikan segala macam komitmen kami. Betul, kondisi Abah tidak baik. Sampai akhirnya, setelah berbuka puasa, kami bawa Abah ke RSAL Dr. Ramelan.

Abi pulang ke rumah Sidoarjo sekitar pukul 20:30. Dan saya yang berjaga di RSAL untuk menjaga Abah. Alhamdulillah kondisi membaik, Abah boleh pulang.

Jumat 8 Mei 2020

Abi mulai mengeluh tidak enak badan. Mungkin kecapekan saja kemarin bolak balik ke RS.

Sabtu-Ahad 8-9 Mei 2020

Kondisi badan masih kurang fit

Senin 11 Mei 2020

Ibu kembali menelepon, kondisi Abah drop lagi. Pukul 10:00, kami berangkat ke Surabaya. Sampai di sana, Abi sudah benar-benar lemes, hanya bisa tiduran di kursi. Dan saya pun tiba-tiba panas hingga 39.5 derajat. Setelah mengondisikan Abah, kami pamit pulang sekitar pukul 14:00.

Sampai rumah, berdua kami terbaring di tempat tidur.

Suhu tubuh Abi kisaran 37-37.5 derajat. Suhu tubuh saya yang selalu tinggi, di atas 39. Allah… Kami berdua sakit, saling menguatkan, saling merawat. Sampai Abi sampaikan, “umi ini kuat banget, sepertinya Abi yang tidak kuat.”

Gejala yang kami rasakan, demam, badan lemas, terasa nyeri di setiap persendian, hilang indera perasa. Sampai hari Rabu, Alhamdulillah kondisi saya membaik. Abi, masih tetap sama.

Kamis, 14 Mei 2020

Dengan segala pertimbangan, kami berangkat ke RS Rahman Rahim Sukodono. Saya khawatir dengan kondisi Abi yang semakin lemas, tidak bisa merasakan makanan apapun dan tidak bisa makan apapun. Sampai di IGD RS, langsung pasang infus, cek darah.

“Trombosit bapak turun bu, kemungkinan DB,” kata petugas RS.

Baiklah, rawat inap menjadi solusi.

Tetiba hati ini bergetar, Allah jika rawat inap, maka anak-anak hanya bertiga saja di rumah. Bismillah, kami titipkan penjagaan anak-anak kami pada-Mu ya Allah. Engkaulah sejatinya pemilik mereka dan Engkaulah sebaik-baik penjaga. Semoga bisa menjadi sarana pembelajaran bagi kami semua.

3 hari di rawat inap, trombosit bagus, sudah mulai naik. Hari Sabtu, tiba-tiba Abi mengeluh sesak napas, berat sekali rasanya setiap bernafas, langsung tindakan rontgen, konsultasi dengan Dr. Wahyu, Sp.P., injeksi Levofloxacin. Alhamdulillah membaik, sebentar saja. Kembali sesak napas.

RS rujukan penuh

Hari Ahad, beliau masuk HCU. Dokter menyampaikan, Abi harus dirujuk ke RS rujukan Covid-19. Ya Allah ya Rabb, apalagi ini? Kenapa RS rujukan Covid-19?

Hasil rontgen beliau negatif nonreaktif, diulang 2x selama di RS Rahman Rahim. Tapi, hasil rontgen, paru-paru kanan Abi sudah terlihat putih. Entah bakteri, virus, suara dokter yang sedang bicara, tidak bisa saya cerna sama sekali.

Qadarullah semua ruang isolasi di RS rujukan penuh. Hingga pukul 21:30 saya mendapat kabar bahwa Abah meninggal dunia. Sedih sekali hati ini, mendengar berita tersebut. Ketika Abah berpulang, saya menunggu ketidakpastian suami di ruang HCU. Senin dini hari, dapat berita bahwa RS Anwar Medika siap menerima beliau. Bismillah berangkat ke sana. Tepat azan Subuh Senin 18 Mei, suami masuk ruang isolasi RS Anwar Medika. Melepas beliau sendiri menuju ruang isolasi.

Senin 18 Mei, tes swab dilakukan pada Abi.

Selasa, 19 Mei 2020

Dokter menyampaikan kondisi beliau kurang baik dan membutuhkan ventilator untuk alat bantu napas. Semua RS dengan alat tersebut penuh, sampai kami mencari keluar kota. Semua teman, kerabat, relasi saling membantu mencarikan informasi RS dengan ruangan isolasi dan ventilator yang ada.

Rabu, 20 Mei 2020

Alhamdulillah, ada ventilator di RS Anwar Medika yang bisa dipakai. Mulailah dipasang alat tersebut. Bersyukur, bahagia ketika dokter menyampaikan kondisi Abi mulai stabil. Sampai hari Kamis 21 Mei. Karena merasa sudah lebih aman, saya pun pulang ke rumah melihat kondisi tiga anak yang selama ini kami tinggal di rumah. Bahkan Kamis malam, saya bisa tidur bersama si kecil Dewi, yang mulai merindukan Abi-nya.

Jumat, 22 Mei 2020, Abi berpulang

Pukul 08:30 berangkat lagi ke RS. Sampai RS, pukul 09:15. Tilawah di musala, hingga menjelang Zuhur, perawat mencari. Disampaikan bahwa kondisi Abi tidak sadar, koma. Akan dilakukan intubasi.

Mulai bergetar hati ini. Ya Allah, kejutan apa ini? Sekitar pukul 13:00 dipanggil lagi oleh perawat, “Ibu tadi sempat hilang denyut jantung bapak, sekarang alhamdulillah muncul lagi. Bantu doa ya bu.”

Alhamdulillah, bersyukur sekali, bahagia. Hingga pukul 14:00 lewat sekian, bukan perawat yang memanggil, tapi dokternya. Disampaikan bahwa, denyut jantung bapak kembali, hilang!

Sudah dilakukan tindakan selama 10 menit, tetap tidak muncul. Obat-obat yang diberikan, semua ditolak oleh tubuh bapak. Dan denyut jantung bapak, flat di monitor.

“Ibu yang sabar ya,” kata dokter.

Waktu seolah berhenti saat itu juga. Berharap dokter ini salah bicara. Tapi, ya memang inilah kenyataan yang harus kami hadapi. Abi benar-benar meninggalkan kami di dunia ini. Proses di RS diselesaikan sore itu juga.

Pukul 20:00 ambulans berangkat ke Ngawi untuk proses pemakaman. Selesai pukul 23:00, kami berempat (saya dan anak-anak) langsung kembali ke Sidoarjo.

Sendiri saja di rumah, dengan semua kenangan Abi. Tiga hari tiga malam tidak bisa tidur. Hingga kakak Nasty nangis, she said, “Umi, kenapa ga tidur? Aku pingin lihat umi tidur, umi jangan sakit,” sambil mengelus kepala saya.

Sulung saya memijit telapak kaki, sambil bercucuran air matanya (dia selalu tersedu setiap selesai qiyamul lail dengan saya). Si bungsu, menangis juga sambil memeluk tangan saya di sampingnya.

Allah… Berilah kami kekuatan melalui semua ini.

Satu keluarga reaktif

Banyak pihak menyarankan kami menjalani rapid test (RT). Masih enggan sebenarnya berurusan kembali dengan RS. Tapi, demi kebaikan bersama, dan juga muncul batuk pada sulung saya, tubuh saya pun terasa “nggregesi,” maka bismillah tanggal 27 Mei kami berempat menjalani RT secara mandiri, bertepatan dengan 7 hari meninggalnya Abi.

Kami berangkat pukul 13:30. Semua dites. Pihak RS menyampaikan sekitar 1 jam saja. Tapi nyatanya, sampai Ashar, belum ada panggilan. Kami berempat menuju masjid untuk salat Ashar berjamaah.

Pukul 16:15, kami dipanggil. Wajah dokter, perawat tegang semua. Astagfirullah, kami berempat reaktif. Seketika, istighfar tak henti-hentinya. Lutut langsung lemas, pikiran seakan down seketika. Cobaan apalagi ini ya Allah. Hasil anak-anak semua menunjukkan IgG+, hasil saya IgG+, IgM+.

Diskusi dengan dokter tetap lanjut. Saya minta isolasi mandiri di rumah. Pihak RS mengizinkan, dengan syarat menandatangani surat pernyataan. Dan menyerahkan tanggung jawab selanjutnya pada pribadi. Disarankan segera PCR.

Saya berusaha negosiasi lagi, saya sampaikan, “Dokter, beri kami waktu satu pekan untuk memperbaiki kondisi tubuh kami. Setelah itu, izinkan kami kembali untuk RT. Jika hasilnya masih reaktif, saya komitmen, akan menuruti apapun nasihat dokter.”

Alhamdulillah dokter memberikan kesempatan.

Urusan RS beres, pulanglah kami naik taksi daring. Banyak istigfar, salawat, semoga sopirnya aman, dilindungi dari virus-virus jahat dalam tubuh kami.

Sampai rumah, menghubungi beberapa orang dan mengabarkan kondisi kami.

Masya Allah terharu, nangis, antara sedih, takut dan bahagia. Betapa Allah kirimkan orang-orang baik. Teman, kolega rasa saudara. Begitu banyak yang perhatian pada kami, sayang pada kami, menginginkan kesembuhan dan kesehatan kami.

Ada yang mengirimkan madu, vitamin, susu, buah, makanan selama kami isolasi. Tidak diperkenankan untuk berpikir apapun. Fokus pada kesehatan kami berempat. Adapun sekolah anak-anak, Allahu Akbar, beasiswa penuh. Barakallahu fiikum.

Ikhtiar untuk bertahan dan sembuh

Bismillah mulailah ikhtiar kami. Hari pertama, mengonsumsi probiotik setiap satu jam sekali. Vitamin becom C, 3x sehari. Siang diselingi imboost force. Pagi dan sore kami minum rimpang hangat (jahe, kunyit, sereh, madu 3 sendok). Malam hari sebelum tidur, kami minum lima tetes kayu putih (dicampur sedikit air hangat), menghirup uap kayu putih (kayu putih khusus yang sudah disuling ya, bukan yang dipasaran biasanya itu).

Ruangan kamar kami penuhi dengan uap dari diffuser berisi sereh wangi. Khusus untuk saya, pagi dan sore minum satu sendok VCO.

Hari kedua, minum probiotik setiap lima jam sekali. Ikhtiar yang lain tetap seperti biasa.
Hari ke 3-6, probiotik kami minum setiap selesai salat fardu. Yang lain, tetap dilanjutkan juga.

Untuk mengimbangi semua zat yang masuk ke dalam tubuh kami, minum air hangat (agak panas) adalah solusi. Sebanyak-banyaknya. Supaya tidak memberatkan kerja ginjal nantinya, katanya sih begitu.

Anak-anak pun bertanya, “Umi, kenapa kita minum banyak banget?”

“Iya… Ini ikhtiar kita nak, usaha kita sebagai manusia untuk bisa tetap sehat,” saya jawab.

Alhamdulillah diberikan Allah tiga anak yang sangat cerdas, mampu mencerna dengan cepat apa yang uminya sampaikan. Tanpa protes, tanpa membantah, menolak atau mengeluh. Masya Allah wa tabarakallah, proud of you kiddos, semoga Allah selalu melindungi dan meridai kalian.

Mulai saat itu kami benar-benar membatasi diri, tidak keluar rumah dan tidak bertemu siapa pun. Selalu pakai masker, jika si kecil mengeluh sesak, boleh lah lepas masker sebentar. Makan, minum, semua terpisah. Tidak ada peluk, cium, yang biasa kami lakukan.

Untuk salat, kami tetap berjamaah seperti biasa. Setiap salat, masing-masing orang punya kewajiban minimal dua lembar, dan dalam sehari harus tuntas satu juz. Kecuali si kecil, hanya muraja’ah juz 30 saja. Salat malam, salat duha, salat hajat, baca al ma’tsurat tidak boleh terlewatkan. Pun dengan infak Subuh, kewajiban kecil yang selalu dilakukan keluarga kami sejak lama. Karena apalah artinya semua ikhtiar duniawi kita, jika Allah tidak rida. Maka inilah kesempatan untuk lebih mendekat lagi pada Allah. Menggantungkan harapan hanya pada Allah satu-satunya Dzat Yang Maha Penyembuh.

Alhamdulillah anak-anak bisa memahami kondisi ini. Jika murottal biasanya kami nyalakan ketika mau tidur sampai bangun, kali ini murottal full 24 jam di rumah kami nyalakan (dan sekarang, qadarullah speakernya rusak).

Untuk sun bathing, kami melihat situasi, jika sepi dari tetangga dan lalu lalang orang, kami keluar, sun bathing sambil bermain badminton, bola. 30 menit cukup, masuk rumah lagi.

1 Juni 2020, deg-degan lagi

Rutinitas itu kami lakukan. Sampai hari Senin, 1 Juni. Hati ini kembali berdebar, ya Allah, besok waktunya kami RT ulang, jika besok masih reaktif, kami langsung menjalani PCR. Karena data kami sudah masuk Dinkes Sidoarjo sejak RT pertama.

Allah Rabbi… Saya tidak mau menjalani itu. Sudah cukup ya Allah….

Berpikir keras….

Fixed, kami kosongkan apa yang dipunya. Bismillah, mulai transfer ke sana kes ini, untuk infak ini itu. Segera bikin paket sembako+kue. Buah, sayur yang ada semua dibagikan. Tetangga yang membutuhkan, tukang sampah, tukang air, pak ojek, pak kurir, satpam, saudara yang juga anak yatim, yang terjangkaulah dari tempat kami.

Sempat terlontar pertanyaan dari anak-anak, “Umi kok dibagikan semua, kita gak ada yang disimpan lagi?”

Saya jawab, “jika kita menolong dan membahagiakan orang lain, maka Allah akan mengabulkan apapun permintaan kita. Setelah ini tinggal kita berdoa sama Allah mau minta apa.”

Alhamdulillah sampai pukul 21:00 semua sudah habis terdistribusi. Berangkat tidur dengan perasaan lega, bahagia.

Saat bangun untuk salat malam, doa kami ternyata sama, meminta kesembuhan dan ikhlas apapun nanti hasil RT yang kedua.

Memulai hidup baru

Pukul 07:30 kami bersiap-siap berangkat ke PKM Candi. Kembali perbanyak istigfar dan salawat, supaya driver online dilindungi Allah. Sampai PKM Candi, langsung menemui dr. Singgih.

Beliau terima data-data kami, dan diminta menunggu.

Ya Allah, hanya istigfar yang selalu keluar dari lisan ini. Mohon ampun untuk semua dosa dan kesalahan hingga kami ditegur seperti ini.

Hingga tiba giliran keluarga kami untuk diperiksa. Selesai semua berempat. Menunggu 30 menit. Dipanggil kembali oleh dokter.

“Subhanallah Alhamdulillah Allahu Akbar! Hasil kami semua negatif nonreaktif.”

Nasihat dokter, untuk keamanan dan kebaikan bersama, tetap melanjutkan isolasi mandiri.

Bersyukur sekali padamu ya Allah.

Rasanya seperti memulai kembali kehidupan baru, dengaan semangat baru. Bersedih secukupnya, bersyukur sebanyak-banyaknya.

Untuk semua teman-teman, please, jangan pernah menyepelekan virus ini. Dia nyata adanya dan nyata bekerjanya. Memang tidak boleh takut khawatir berlebihan, tapi janganlah abai. Kita tidak tahu, kapan, di mana virus itu berada dan bisa menginfeksi kita.

Yang pasti, virus itu makhluk Allah. Kembalikan saja pada Pemiliknya. Setelah ikhtiar dunia (medis) kita lakukan maksimal, ya ketuk pintu langit, atau kalau perlu digedor ya (kurang ahsan juga sih). Supaya Allah benar-benar menolong kita. Dan pastinya sabar, ikhlas, rida dengan ketetapan Allah, apapun itu.

Sulit, sakit, pastinya. Tapi, tidak mungkin Allah memberi beban di luar batas kemampuan hamba-Nya.

Stay tawakal
Stay safe
Stay health

Untuk hasil swab suami, biarlah, apapun hasilnya, beliau sudah tenang, sesuai harapan, bisa dimakamkan di tanah kelahiran, Ngawi. Dan tugas kami berempat, bertahan dan berjuang untuk tetap semangat melanjutkan hidup, dengan ditetapkan iman. So, jangan tanya-tanya lagi, apa hasilnya. Wallahul musta’an.

Aini Latifa
Ibu dari 3 anak
Sidoarjo

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment