Kisah Orang Yang Berhubungan Suami Istri di Siang Hari Ramadhan 

Kisah Orang Yang Berhubungan Suami Istri di Siang Hari Ramadhan 

Kisah Orang Yang Berhubungan Suami Istri di Siang Hari Ramadhan 
Ilustrasi kamar tidur pada siang hari.

Suaramuslim.net – Tahukah kamu, pembatal puasa itu ada yang menyebabkan puasa batal saja lalu wajib dibayar di bulan lain dan ada juga yang menyebabkan puasa batal dan wajib dibayar serta kafarat. Nah, apakah itu? Penasaran gak nih? Yup, pembatal puasa itu adalah berhubungan suami istri di siang hari Ramadhan. Ada ceritanya lho, pada masa Rasulullah tentang ini. Selengkapnya, yuk baca!

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa seseorang datang kepada rasul dan berkata, “Aku telah celaka wahai Rasulullah! Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu celaka?” Ia menjawab, “Aku telah bersetubuh dengan istriku pada siang Ramadhan.”

Beliau bertanya, “Apakah kamu memiliki harta yang cukup untuk memerdekakan budak?” Ia menjawab, “Tidak.” Rasul bertanya lagi, “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan secara beruntun?” Ia menjawab, “Tidak.” Nabi bertanya, “Apakah kamu mampu memberi makan kepada 60 orang miskin?” Ia menjawab, “Tidak.” Setelah menjawab tidak, ia lalu duduk.

Kemudian Nabi datang dengan membawa keranjang ‘irq yang berisi kurma. Beliau bersabda, “Bersedekahlah dengan ini.” Ia berkata, “Apakah ada orang yang lebih fakir dari kami? Di kota Madinah ini tidak ada yang lebih butuh terhadap kurma ini selain kami.”

Mendengar hal itu Nabi tertawa hingga gigi gerahamnya terlihat lantas beliau bersabda kepadanya, “Pergilah dan berikanlah kurma ini untuk keluargamu.”

Siapa yang Wajib Membayar Kafarat?

Menurut jumhur ulama, perempuan dan laki-laki dalam kaitannya dengan kewajiban membayar kafarat adalah sama. Selama keduanya telah berniat puasa kemudian sengaja melakukan hubungan suami istri pada siang hari dan tidak ada paksaan dalam melakukannya.

Jika persetubuhan terjadi karena lupa atau ada paksaan dalam melakukannya atau keduanya tidak berniat puasa maka tidak ada kafarat yang wajib dibayar oleh keduanya.

Jika perempuan dipaksa laki-laki atau ia berbuka karena ada uzur maka kafarat hanya wajib atas laki-laki yang menyetubuhinya.

Menurut Mazhab Syafi’i perempuan tidak wajib membayar kafarat secara mutlak, baik ketika tidak ada paksaan, maupun ketika ada paksaan. Perempuan hanya wajib mengganti puasanya. An-Nawawi berkata, “Pendapat yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa kafarat hanya wajib atas laki-laki dan tidak wajib atas perempuan, karena kafarat merupakan harta yang khusus karena persetubuhan, sehingga ia wajib secara khusus untuk kaum laki-laki seperti khususnya mas kawin.”

Abu Daud berkata, Ahmad ditanya tentang orang yang bersenggama dengan istrinya pada siang hari bulan Ramadhan. Apakah istri tersebut wajib membayar kafarat? Imam Ahmad menjawab, “Kami tidak pernah mendengar bahwa perempuan wajib membayar kafarat.”

Ibnu Qudamah mengatakan, di dalam Al Mughni alasannya adalah Nabi hanya memerintahkan membayar kafarat kepada laki-laki yang bersetubuh pada siang hari bulan Ramadhan. Beliau tidak memerintahkan kepada perempuan padahal beliau tahu perbuatan tersebut juga melibatkan perempuan.

Apakah Kafarat Berurutan?

Menurut mayoritas ulama dapat dilakukan sesuai dengan urutan yang tersebut di dalam hadis, yakni pertama kali adalah memerdekakan budak. Jika seseorang tidak mampu memerdekakan budak maka ia wajib berpuasa dua bulan secara beruntun. Jika seseorang tidak mampu melakukannya maka ia wajib memberikan makanan yang berkualitas sedang di antara makanan yang biasa ia berikan kepada keluarganya.

Ia tidak boleh berpindah dari tingkatan pertama ke tingkatan berikutnya kecuali jika ia tidak mampu melakukan yang pertama.

Menurut Malikiyah dan salah satu riwayat dari Ahmad, ia bebas untuk memilih di antara tiga kafarat tersebut. Salah satu kafarat yang ia laksanakan sudah cukup untuk menggugurkan kewajibannya. Hal itu karena Abu Hurairah meriwayatkan bahwa seseorang berbuka pada siang hari bulan Ramadhan maka Rasulullah memerintahkan kepadanya untuk memerdekakan budak atau berpuasa dua bulan secara beruntun atau memberi makan kepada 60 orang miskin.

Kata “atau” di sini memberikan arti pilihan. Di samping itu kafarat ditetapkan karena adanya perbuatan yang menyelisihi ketetapan sehingga wajib dengan cara pilihan seperti halnya kafarat sumpah.

Syaukani berkata sesungguhnya ada riwayat yang menunjukkan kewajiban mengikuti urutan dalam kafarat dan ada riwayat lain yang menunjukkan kebebasan memilih kafarat yang ditetapkan. Para ulama yang berpendapat bahwa mengikuti urutan dalam kafarat adalah wajib, jumlahnya lebih banyak dan dari mereka pun lebih banyak.

Mahlab dan Qurtubi telah berusaha untuk mengompromikan riwayat-riwayat tersebut dengan menyatakan bahwa perbedaan riwayat-riwayat disebabkan terjadinya peristiwa yang berulang dan tidak dalam satu waktu.

Al-Hafiz mengatakan bahwa pendapat tersebut adalah jauh dari kebenaran karena kisah yang ada hanya satu, begitu juga perawinya. Menurut hukum asal, peristiwa tidak terjadi berulang.

Sebagian ulama berusaha untuk mempromosikan dengan mengartikan urutan kafarat di dalam hadis sebagai urutan tindakan keutamaan. Urutan yang paling pertama adalah yang paling utama. Adapun riwayat yang menunjukkan pilihan hanyalah menunjukkan hukum boleh memilih di antara kafarat yang ada.

Sebagian orang memahami kebalikan dari upaya kompromi yang terakhir ini, hadis pertama menunjukkan boleh memilih sedangkan hadis kedua menunjukkan tingkat keutamaan.

Orang yang berhubungan suami istri secara sengaja pada bulan Ramadan dan tidak membayar kafarat atas perbuatannya itu kemudian pada hari yang lain melakukan hal yang sama maka ia hanya wajib membayar 1 kafarat, menurut Hanafiyah dan salah satu riwayat dari Ahmad. Alasannya perbuatan tersebut terjadi secara berulang sebelum pelakunya membayar kafarat yang pertama sehingga perbuatan yang berulang tersebut bergabung menjadi satu.

Adapun Maliki Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayat berpendapat bahwa orang tersebut wajib membayar 2 kafarat karena puasa 1 hari adalah ibadah yang tersendiri. Jika kafarat wajib karena ibadah tersebut rusak maka ia tidak dapat digabungkan dengan puasa pada hari lain yang juga rusak. Hal itu sama dengan puasa dua Ramadhan, keduanya adalah ibadah yang tersendiri.

Para ulama telah sepakat bahwa orang yang berhubungan suami istri pada siang Ramadhan secara sengaja dan ia membayar kafarat, kemudian ia bersetubuh pada hari yang lain, maka ia wajib membayar kafarat lagi. Mereka juga telah sepakat bahwa orang yang bersetubuh dua kali dalam satu hari dan dia belum membayar kafarat persetubuhan yang pertama maka ia hanya wajib membayar 1 kafarat. Jika ia telah membayar kafarat yang pertama maka ia tidak perlu membayar kafarat yang kedua menurut mayoritas ulama. Adapun Ahmad mengatakan bahwa ia wajib membayar kafarat lagi.

Sumber: Kitab Fikih Sunnah karya Sayyid Sabiq

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment