Suaramuslim.net – “Ledakan bom itu benar terjadi, saat kulihat “HIV Reactive”. Aku sungguh tak bisa berkata apa pun lagi.”
Februari 2014
1 Februari 2014 adalah hari di mana kisah itu bermula. Saat semua berubah dalam sekejap mata. Masa mudaku akan segera aku ketahui saat akan terbang ke Bandung. Pada saat itu aku tidak mendapatkan firasat apa pun, hanya saja memang ada yang tidak beres dengan alat vital selama 3 bulan ke belakang.
Seminggu sudah aku di Bandung, tapi alat vital masih bermasalah. Sabtu, 8 Februari 2014, aku bertekad memeriksakan diri ke klinik terdekat. Keluhanku hanya diare yang sudah 3 bulan. Pada saat pemeriksaan dokter menyarankan untuk tes darah namun aku hanya menganggapnya angin lalu.
Malamnya aku berusaha mencari tau di internet tentang kemungkinan vonis penyakitku dan aku sangat terkejut dengan yang kutemukan. Saat itu aku mengisolasi diriku dari teman dan keluargaku. Media sosial dan komunikasi ku putus selama 2 hari, menyesali apa yang telah kulakukan di masa lalu dan menatap kosong masa depan yang mungkin tidak akan ada.
Setelah meratap dalam ketakutan selama 2 hari, akhirnya aku putuskan untuk menjawab ketakutanku. Tepat 10 Februari 2014, aku mulai memberanikan diri melakukan tes VCT. Saat memasuki tempat test di Klinik Mawar Bandung, ada sedikit keraguan dan kecemasan dalam hatiku. Kondisi rasa takut dalam ketidakpastian mulai menghantuiku. Perlahan dengan langkah yang mulai lemas, akhirnya kuputuskan untuk masuk.
Setelah menyelesaikan kelengkapan administrasi, aku masuk ke ruang dokter. Dan pengambilan darah mulai dilakukan. Saat semuanya beres, aku menunggu hasil darah dengan raut muka cemas. Kulihat wajah dokter tampak tegang mengambil hasil lab ku dari belakang sebelum akhirnya dia menyuruhku untuk masuk keruangannya. Hatiku sudah memastikan hasilnya positif, sementara pikiranku berusaha menolak kata hatiku.
Saat dokter memintaku membuka hasil tes ku sendiri, kupegang amplop di depanku, dengan penuh keraguan kubuka hasil tes tersebut. Ledakan bom itu benar terjadi, saat kulihat “HIV Reactive”. Aku sungguh tak bisa berkata apa pun lagi, seketika air mataku mengalir tak terbendung. Seketika itu juga aku merasa sudah mati, sudah tidak ada lagi harapan untukku. Masa depanku sepertinya telah lenyap, badanku langsung lemas.
Dalam ketakutanku aku merefresh segala kelakuanku di masa lalu. Penyesalan memang selalu di akhir. Aku melangkah dengan cepat meninggalkan klinik tersebut. Aku tak tahu ke mana harus pergi, ku lajukan motor menyusuri kota Bandung tanpa tujuan.
10 Februari 2014 pukul 11.35 WIB, Bandung telah memberikanku shock teraphy yang begitu mengguncangkan jiwa raga. Dalam kesendirian tanpa seorang pun di sampingku, kuhadapi kenyataan ini seorang diri.
Saat motorku melintasi Masjid Raya Bandung hatiku terusik namun akalku dipenuhi emosi yang mendalam pada-Nya. Sepertinya setan tidak benar-benar meninggalkanku, dia terus membisikkan bahwa Allah tidak adil. Masih banyak yang lebih “bejat” dari aku tapi kenapa aku yang dihukum dengan penyakit ini?” Kata itu mendadak berkelebat di hati dan pikiranku.
Aku terus mengurung diriku di kamar kos. Tak seorang pun yang aku ajak bicara karena mengakui penyakit ini hanya akan membunuh diri sendiri sebelum tiba ajalku. Penghinaan, diskriminasi, bullying, pengusiran, dan penolakan sosial di dalam masyarakat sudah terbayangkan olehku.
Aku merasa kamar kosku sudah menjadi kuburan bagiku, hingga aku terlelap karena kelelahan fisik dan mental. Kurasakan tubuhku di kubur hidup-hidup dan aku berontak, sayup sayup kudengar azan Subuh. Alhamdulilah ternyata hanya mimpi, seketika aku beristigfar atas semua kelakukanku di masa lalu.
Seminggu setelah kejadian itu kuputuskan untuk memberi tau kakak perempuanku dengan semua resikonya. Benar saja setelah jujur pada kakakku di Surabaya melalui telepon, dia marah besar dan menutup sambungan telponnya. Sekarang aku menyadari bahwa aku harus menghadapi ini sendirian tanpa siapa pun yang mendukungku.
Maret 2014
20 Maret 2014, kuputuskan mencari ketenangan dengan pindah tempat kos di sekitaran Masjid Raya Bandung. Karena kupikir masjid itulah satu-satunya tempat yang membuatku tenang dan masjid itu adalah tempat pertama aku salat di rumah Allah di kota Bandung.
Selepas Isya kudapati telponku berdering dan kudengar kakakku menangis di sana dan berkata “dek, pulanglah, apa yang kau cari di sana, pulanglah segera, insyaAllah kami sekeluarga akan menerima dan merawatmu.”
Aku tak kuasa menahan haruku, ternyata mereka masih sayang padaku. Hanya butuh waktu untuk menerima semuanya, layaknya aku yang membutuhkan lorong waktu untuk berdamai dengan takdirku.
Setelah beberapa saat mengobrol di telpon akhirnya kakakku bisa mengerti bahwa aku belum bisa pulang ke Surabaya. InsyaAllah pada saatnya takdir akan membawaku pulang ke Surabaya.
Kuputuskan semua pergaulan yang membawaku ke gaya hidup masa lalu. Aku benar-benar mengisolasi diriku dari pergaulan tanpa terkecuali. Bahkan bergaul dengan orang saleh di pengajian masjid pun aku tidak berani. Aku merasa terlalu kotor untuk berkumpul dengan mereka. Tidak banyak yang kulakukan pada saat itu, hanya datang ke masjid, dengar tausyiah lalu pulang dan menutup rapat semua rahasia hidupku.