Kisah Penderita HIV: Sakitku Jadi Jalan Hidayahku

Kisah Penderita HIV: Sakitku Jadi Jalan Hidayahku

Ilustrasi seseorang yang menuju kebaikan, foto: Ana/Suaramuslim.net

April 2014

10 April 2014, tepat dua bulan berlalu sejak vonis itu, aku datang ke klinik untuk menanyakan tentang metode pengobatan medis yang ada. Saat itu dokter menjelaskan bahwa “HIV tidak dapat disembuhkan, obat yang ada sekarang hanyalah membantu hidup lebih lama.” Namun sebagai seorang muslim, hatiku menolak apa yang dikatakan dunia medis tersebut.

Diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Abu Hurairah Nabi bersabda: “Tidaklah Allah turunkan penyakit kecuali Allah turunkan pula obatnya”.

Manusia, ilmuwan dan dokter hanyalah makhluk ciptaan Allah, mereka punya keterbatasan dalam segala hal. Akhirnya kuputuskan untuk tidak melakukan pengobatan medis dan berjalan dengan pengobatan alternatif.

Yang paling aku syukuri adalah aku bisa bangkit lebih cepat. Tidak pernah ada lagi tangis atau pun penyesalan sepanjang hari. Kehidupan religiusku memang meningkat dari yang dahulu namun masih jauh dari kata saleh. Dan ini yang menjadi ujung tombak dari ketabahanku. Entah energi dari mana, tapi aku merasakan sesuatu yang sangat besar telah menguatkanku, dan aku mengimani itu kekuatan Allah.

Tetapi selalu saja ada rintangan untuk menjalaninya karena sejujurnya perjuangan agar istiqamah tidaklah mudah. Aku sudah berdamai dengan masa lalu itu dan meninggalkan orang-orangnya. Tetapi beberapa ternyata tidak bisa menerima itu. Sehingga rongrongan dari orang-orang di masa lalu masih saja muncul. Tapi di sinilah justru yang menarik, karena secara tidak langsung ini akan menguatkanku dan kesabaranku bisa jadi naik satu tingkat.

Beberapa orang teman ketika mengetahui aku HIV selalu bertanya “dari mana kamu dapat virus itu?”

Maaf teman, aku tidak akan menjelaskannya. Itu adalah bagian dari perjalanan hidup dan masa laluku. Kalau kamu menerima keadaanku, kamu tidak akan menanyakan itu. Jika kamu masih menanyakannya, itu artinya kamu sedikit banyak akan menghakimiku. Islam tidak mengenal “pengakuan dosa.” Biarkan dosa itu aku kubur dalam penyesalan dan taubatku, cukuplah doakan aku istiqamah dan berakhir husnul khatimah.

Terlalu yunior rasanya kalau aku mengatakan “jangan lelah”, karena seyogyanya siklus hidup adalah lahir, tumbuh, berkembang dan meninggal. Tapi tidak juga kita harus pasrah duduk menunggu mati. Kita dilahirkan karena suatu alasan dan dalam Islam dikatakan “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku.” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56).

Jika bosan karena makan itu saja, ingatlah masih banyak orang yang kelaparan. Jika lelah dengan rutinitas yang sama setiap hari ingatlah masih banyak orang yang harus meminum obat sepanjang hidupnya untuk sekadar bertahan. Jika terasa suntuk harus meminum obat setiap hari, ingatlah banyak orang sekarat berusaha ke sana ke mari untuk hidup. Dan jika putus asa dengan hidup, ingatlah banyak orang yang ingin hidup kembali untuk menebus semua kesalahannya. Maka janganlah menghadap Allah dengan wajah putus asa, tunjukkan senyum dan semangat terbaik sampai hari kematian itu datang.

Semangat ini yang terus kutumbuhkan saat aku salat dan beribadah lainnya kepada Allah. Hingga tanpa kusadari aku sering menangis dalam salatku.

September 2016

September 2016 kuputuskan kembali ke Surabaya dan memulai hidup baru dengan mengenal sunnah. Mundur dari pekerjaan yang bergaji besar adalah hal yang berat karena aku harus siap dengan kekurangan.


April 2017

April 2017 aku masuk rumah sakit selama 20 hari dan sempat koma beberapa waktu. Kehilangan pekerjaan dan kekurangan menjadi beban baru dalam hidupku. Hingga aku tersadar saat kematian hampir saja merenggutku pada saat itu. Dalam koma, aku mendapat banyak hal yang sangat berarti dalam hidupku.


Dalam tangisku aku berdoa “Ampuni aku Ya Allah, sekali lagi Engkau menegurku. Ya Allah jangan pernah tinggalkan aku, hidup sakit dan matiku semuanya aku pasrahkan pada-Mu, tapi jangan pernah ambil aku tanpa iman islam Ya Allah.”


Alhamdulilah setelah keluar dari rumah sakit aku mencoba mengikuti kajian islami di Youtube untuk menguatkan keimananku. Beberapa ustaz menjadi rujukanku, walaupun aku sendiri tidak pernah tau tentang mereka sebelumnya.

Penyakit Menjadi Jalan Hidayah

Setelah Ramadhan 2017, entah kenapa timbul hasrat mengikuti kajian secara langsung. Walaupun dengan perasaan minder karena merasa akulah orang yang paling kotor di antara jemaah lainnya tetapi tetap kuberanikan diri untuk datang. Aku yakin itu tadi pasti bujuk rayu setan untuk mengurungkan niatku datang ke majelis ilmu. Alhamdulilah akhirnya sekarang aku menikmati hadir majelis ilmu walau masih minder bergaul dengan jemaah lainnya, semua kulakukan hanya karena Allah.


Aku memang belum sempurna seperti muslim lainnya, namun “azab” penyakit yang sudah melekat dalam jasadku sangatlah cukup menjadi peringatan untuk diriku. Azab ini benar-benar jalan hidayahku, bahkan aku sangat bersyukur Allah memberikanku azab ini.


Hiduplah hanya untuk hari ini, jika kamu ingin berbahagia. Karena sesungguhnya yang membuatmu bahagia sekarang belum tentu akan berlaku yang sama besok. Banyak orang berkata dalam hidupnya “jika aku begini aku akan bahagia”, tapi ketika hari di mana keinginan mereka terwujud, mereka melakukan pengharapan lainnya lagi tanpa henti. Ini yang membuat mereka tidak bisa berbahagia seutuhnya. Namun jika kamu hidup untuk hari ini dengan rasa syukur yang berlimpah, kamu akan menemukan kebahagiaan itu ketika kamu mengakhiri hari itu.


Inilah cara Islam mengajarkanku, selalu bersyukur dengan apa yang Allah takdirkan. Tidak semua azab itu buruk jika kita mampu melihatnya dengan kacamata iman, bahkan azab bisa jadi sebuah “hadiah” Allah. Diazab di dunia atas kesalahan masa laluku membuatku sangat bersyukur karena aku tau azab di akhirat jauh lebih dahsyat, karena azabku adalah jalan hidayahku.

Reporter: Teguh Imami
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment