Kita dan Lembaga Survei

Kita dan Lembaga Survei

Kita dan Lembaga Survei

Oleh: Yusuf Maulana

Mayoritas, untuk tidak mengatakan semua, lembaga survei kontestasi politik kembali tersibak kekeliruan hasilnya. Yang mutakhir adalah dalam pemilihan gubernur Jawa Barat, betapa prediksi pasangan Sudrajat – Ahmad Syaikhu selama ini berbeda signifikan dengan hasil perhitungan cepat usia pemilihan ataupun data perhitungan manual oleh Komisi Pemilihan Umum. Perbedaan hasil jajak pendapat sebelum dan setelah pemilihan dalam kasus ini pun dijadikan bahan kritikan tajam kepada pihak surveyor.

Sebagian kritikan itu patut disimak dan direnungkan oleh elit lembaga survei. Bukan semata pertaruhan kredibilitas lembaga survei bukan yang utama, melainkan juga masa depan berdemokrasi di negeri ini. Jangan sampai aktivitas yang berbalut kerja-kerja ilmiah justru ditelikung kepentingan dan motivasi pihak lembaga survei demi memuaskan dan menguntungkan pihak tertentu yang terlibat dalam kontestasi politik.

Dengan kata lain, praktik partisipasi lembaga survei sebagai aktor demokrasi sekaligus menerapkan langkah oportunis sebagai konsultan aktif politik sponsor politik, amatlah berbahaya. Ini ancaman yang mampu meruntuhkan kerja ilmiah dan kredibilitas sebuah aktivitas keilmuan hanya karena ambisi terlipat lembaga survei.

Survei politik tak kuasa diredam hanya sebagai aktivitas ilmiah dan profesional untuk kemajuan demokrasi itu sendiri. Yang ada, survei politik menjadi komoditas yang disadari dapat dan potensial meningkatkan eksistensi diri. Godaan semacam ini kasatmata menyeruak di tengah fenomena pegiat lembaga survei merangkap jadi pion militan dan kroni politikus yang membayarnya.

Bukan masalah bilamana lembaga survei itu terang-terangan menjadi alat politik lalu kerja-kerjanya juga seturut demikian. Artinya, kejujuran hasil survei bagaimana pun jangan sampai direkayasa demi membodohi rakyat. Memuaskan sponsor silakan saja, namun jangan sampai ada dusta dan mendustai rakyat.

Sayangnya, langkah dua kaki oportunis banyak lembaga survei itu ditangkap publik, khususnya lagi yang aktif terlibat sebagai pendukung dalam kontestasi politik, sebagai bentuk pengkhianatan yang berulang. Praktik ini pun secara naluri manusia tidak keliru bila dipandang sebagai hal menjijikkan. Atas nama keilmiahan, reputasi dan rakyat dikorbankan. Semua demi ambisi politik di balik para surveyor.

Sebenarnya ihwal pengkhianatan lembaga survei tak perlu dijadikan ambisi menghujat. Apalagi sampai merundung dengan cacian dan diksi yang tak senonoh. Bahwa ada kasus lembaga survei yang, maaf, melacur pada kekuasaan, ini tak dapat dimungkiri. Akan tetapi, menilai semuanya pastilah begitu, rasanya tak elok.

Semua manusia surveyor berpikiran kotor untuk masuk dalam kroni politikus, rasa-rasanya berlebihan. Tapi bagaimana dengan kasus kekompakan hasil survei yang “memilukan” hasilnya seperti dalam kasus Jawa Barat tadi? Nah, ini sebenarnya bisa ditelusuri dari soal metodologi. Tapi kok bisa “kompak” keliru besar; bukankah ini malah mencurigakan?

Di sinilah kejujuran lembaga survei dan segenap pihak yang paham seluk-beluk dunia jajak pendapat alias polling, mengedukasi rakyat. Dalam keajekan dan kepastian aktivitas jajak pendapat masihlah menyisakan ruang kekeliruan. Bukan semata menekan serendah mungkin margin error. Atau merapikan semua tahapan dari kans surveyor yang sikap atau berseling diam-diam dengan pihak tertentu.

Keeksataan jajak pendapat tetap menyisakan kemungkinan berkebalikan atau tak terduga dari yang dipikirkan semula. Betapa tidak, yang diamati dan diteliti merupakan fenomena sosial, yang tabiatnya dinamis dan ada potensi berubah sejalan ketidakpastian insidental dunia manusia.

Alih-alih menebar kebencian pada lembaga survei, seyogianya kita, terutama lembaga politik ataupun institusi umat, menahan diri. Lebih baik pertama-tama mempelajari seluk-beluk metodologi polling. Karya Eriyanto, Metodologi Polling; Memberdayakan Suara Rakyat dan tulisan legendaris Darrel Huruf Berbohong dengan Statistik mesti dibaca berulang-ulang. Ajak diskusi pegiat lembaga survei untuk melengkapi dinamika di lapangan, terbaik menguak ujian mereka yang acap digoda untuk “dibeli”. Ini langkah berikutnya.

Sekalipun suatu lembaga survei konsisten menghasilkan temuan kredibel, misalnya, tetap saja pada satu waktu akan ada kekeliruan. Ini dibahas dalam buku-buku polling. Pergulatan manusia untuk bersikap ataupun membantu perubahan sikap kadang luput dari amatan survei yang dibatasi durasi waktu.

Inilah lubang menganga yang sebenarnya bisa menjadi media optimis aktor politik yang selama sekian waktu “dipenjara” hasil survei yang menyimpulkannya sebagai pihak pecundang atau kalah telak. Hasil di pemilihan gubernur Jawa Barat contohnya.

Mesin politik dan segenap pihak yang menyokong pasangan Sudrajat – Syaikhu tidak tenggelam oleh hasil jejak pendapat . Ini preseden yang bagus. Terpaan kekalahan yang dilansir lembaga-lembaga survei tak memengaruhi kerja gigih pendukung maupun tokoh simpatisan pasangan ini. Kepastian kemenangan pihak yang disurvei tak melulu jadi patokan. Yang ada melipatkan potensi diri mengejar “pemenang” yang dihasilkan lembaga survei.

Sampai di sini, saya lebih mendorong para aktor politik berikut simpatisannya untuk melakoni kerja seperti itu. Jauh lebih produktif ketimbang mencerca lembaga survei. Eksistensi kita tidak ditentukan mereka. Ini wajib dipegang teguh. Di sisi lain, kita mesti hormati lembaga survei yang bila mereka memutuskan sebagai pemain politik praktis juga.

Hanya saja, kecurigaan atas kemungkinan ini tak perlu diumbar. Lebih baik menggunakan kerja ilmiah berbasiskan metodologi polling agar ada perdebatan ilmiah dalam ranah politik. Bukan saling tekan-menekan psikologis demi eksistensi dan oportuniti; bukan memuliakan rakyat dengan kejujuran.

Kasus-kasus lembaga survei terperosok, dan lantas diam-diam kita anggap tak kredibel, mestinya jadi bahan perlawanan. Yakni meningkatkan peluang perubahan hasil survei mereka. Ini pelajaran berharga yang lebih penting di kasus Jawa Barat daripada kemenangan kandidat yang sudah diprediksi menang.

Ini mestinya berlaku juga tatkala kandidat kita pada jalur kemenangan ala lembaga survei. Sikap konsisten ini perlu agar kebencian pada lembaga survei tidak musiman alias ketika hasilnya dianggap merugikan kita dan dalam rilis resmi akhirnya justru berkebalikan dengan hasil tersebut.

Dengan demikian, daripada meributkan lembaga survei yang manusia di dalamnya tetaplah manusia yang perlu menghidupkan oven apartemennya, mending kita menjaga nyala optimisme dalam strategi membalikkan prediksi. Dengan kerja keras tanpa mencibirkan di mana-mana, sebelum ataupun selepas pemilihan politik.

Juga tak perlu menghina lembaga-lembaga survei dengan predikat tak enak, sebab kita tak tahu mereka juga akan menyimpan ingatan panggilan itu esok hari untuk “menghabisi” kita. Kita tentu tak risau dengan label kekalahan mereka dengan sekian cacian pula oleh elit lembaga survei di ruang maya. Tapi sikap menahan diri ini sebentuk praktik kenegaraan penuh adab dari kita yang mengaku duli pada agama dan marwah bangsa.

 

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment