Oleh: Yusuf Maulana (Penulis Buku “Mufakat Firasat”)
“Harom uang dia!”
“Ente hati-hati, makanan dari dia masuk syubhat!”
“Dia terima x juta tiap bulan dari si Anu. Buat besarkan gerakan merongrong jamaah!”
“Baca Quran dulu kalau bertemu dia, supaya iman Abang kuat.”
“Awas kalau bertemu dia, ente bisa kena bujuk jadi pengkhianat dakwah!”
Suara-suara itu berseliweran. Bukan tentang si kafir dan si muslim. Bukan si jahil dan si mukmin. Bukan juga si jamaah A dan jamaah B. Ini suara-suara satu rahim dalam pertubuhan pergerakan keislaman. Mereka sejamaah dalam satu minda referensi. Sayang, konflik mendera tak kunjung disikapi secara dewasa.
Sebuah kerugian besar sebenarnya ketika satu pergerakan keislaman didera gesekan yang kasatmata hingga membuat hati-hati banyak kader bertanya hingga terluka. Konflik elit dijadikan musibah satu jamaah. Hal yang makro terdampak adalah menurunnya atau malah raibnya kontribusi pergerakan tersebut dalam memajukan dakwah Islam. Apa pasal? Wibawa tiada! Bagaimana bisa mengajak persatuan, misalnya, kalau di ulu hati gerakannya masih gagal mengatasi konflik yang sejatinya sederhana untuk diselesaikan.
Di sinilah kerugian besar manakala aktivis pergerakan keislaman memendam hasad lantas membarakan konflik yang ada. Satu kekuatan umat tergerus. Dan ini rentan membuat kekuatan muslimin di kawasan tersebut terimbasi. Setidaknya dari segi integritas dan kredibilitas para elit di pergerakan keislaman tadi kala bersua elemen umat yang lain.
“Gerakan-gerakan keislaman pada umumnya berkeinginan mencerdaskan umat. Pergerakan keislaman merupakan salah satu agenda terdepan yang dapat memotivasi kebangkitan umat untuk melepaskan diri dari keputusasaan, hambatan, tekanan dan penindasan yang selama ini membatasi gerak umat Islam menuju pencerahan.” Demikian dikatakan Abdul Majid an-Najjar, ulama Tunisia (Mufakat Firasat, 2017:xxv). Pesan ini mestinya jadi satu peringatan alih-alih hanya sebagai penyemangat atau malah kebanggaan!
Apa yang bisa kita teladankan bagi para aktivis, yang mayoritas anak muda, ketika pemuka dan senior pergerakan keislaman pertontonkan sebaliknya? Bila rujuk sesama eksponen sepergerakan enggan diperbuat lantaran memandang dia, al-akh di sana, tersesat dan “menabrak” banyak rambu aturan jamaah, bukankah agama ini memiliki aturan soal penuntasan secara elegan? Bila bercerai dianggap satu kemestian, agama mana yang memiliki prosedur pemisahan secara beradab dan adiluhur selain Islam?
Atau, jangan-jangan pergerakan kita sudah mengatasi kaidah-kaidah Islam itu sendiri? Sehingga kita pun bebas membuat tafsiran yang melampaui batasan semestinya dalam beragama, dalam berharokah jua. Janganlah Hasan al-Banna kita apresiasi gagasannya, disanjung sedemikian rupa, tapi aplikasi ukhuwah yang beliau pesankan pun kita melalaikan.
Bila bab ukhuwah dan sangka baik tiada, apalagi yang biasa diharapkan dari keberadaan pergerakan keislaman, sebesar dan sebanyak apa pun anggotanya? Inikah kesedian yang perlu dihadirkan. Satu kearifan membesarkan pergerakan keislaman sebagai wasilah dakwah; bukan tujuan akhir segalanya apalagi ambisi pribadi belaka. Sungguh, umat tak patut dibuat bingung dan bertanya-tanya ihwal yang terjadi begitu liar dan ganas pada ucapan sesama akhi yang telah mengenal Islam. []
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net