Suaramuslim.net – Pegiat pluralisme agama berpandangan bahwa non-muslim (kafir) pun berhak mendapatkan surga. Hal itu sebagai konsekuensi Rasulullah diutus sebagai rahmat bagi semesta alam.
Dengan demikian, agama apapun bisa masuk surga, dan tidak boleh bagi umat Islam mengeklaim dirinya paling benar dan berhak atas surga.
Mereka ingin mengatakan bahwa surga bukanlah tempat khusus bagi agama tertentu, tetapi sebagai tempat yang akan dihuni oleh siapapun yang mengakui adanya Tuhan, percaya adanya hari akhirat, serta berbuat kebaikan.
Namun para ulama menjelaskan bahwa Islam sebagai “rahmatan lil alamin” bermakna bahwa mereka yang taat dan patuh terhadap ajaran Islam akan mendapat rahmat, dan kehidupan akhiratnya mendapatkan surga.
Adapun rahmat juga diperoleh orang non-muslim, dalam bentuk tidak diadab ketika di dunia. Mereka tidak diazab secara kolektif di dunia ketika menolak ajaran Islam, namun di hari kiamat kelak mereka diazab di neraka. Itulah penghinaan Allah terhadap orang yang menghinakan rahmat yang dibawa utusan-Nya.
Islam dan rahmat
Kaum pluralisme agama menjajakan ide bahwa semua pemeluk agama apapun berhak masuk surga. Hal itu sebagai konsekuensi gagasan diutusnya Nabi Muhammad sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Jalaluddin Rahmat menyatakan bahwa sebelum sampai rahmatan lil alamin, maka umat Islam harus melewati rahmatan lil madzhabin dan rahmatan lil muslimin. Yang dimaksud melewati rahmatan lil madzhabin, selama ini surga menjadi hak milik bagi satu mazhab tertentu, dan mazhab lain tidak berhak.
Sementara rahmatan lil muslimin bahwa surga itu hanya milik kaum muslimin saja, dan non-muslim tidak mendapat bagian. Bagi penggagas ini, rahmat bermakna bahwa surga bukan milik orang beragama Islam, tetapi bagi siapapun, dalam hal ini orang-orang non-muslim.
Para ulama pun banyak menjelaskan bahwa rahmat memang ditujukan kepada siapapun yang taat dan patuh pada aturan Allah. Bahkan rahmat itu akan berlanjut pada hari akhir dan berujung surga.
Sementara bagi orang kafir, juga mendapatkan rahmat namun ketika di dunia saja. Mereka tidak akan mendapatkan azab di dunia berupa pembinasaan kolektif ketika menentang ayat-ayat Allah dan perintah Rasullullah.
Nasib kaum terdahulu langsung mendapatkan azab bila menentang ajaran nabi dan rasul mereka. Kesudahan kaum Nabi Nuh ketika membangkang, maka langsung dilanda banjir, kaum ‘Ad (umat Nabi Hud) yang mati bergelimpangan diterpa angin dingin, kaum Tsamud (umat Nabi Shalih) yang musnah dengan halilintar, Fir’aun dan pengikutnya mati ditenggelamkan di laut, dan kaum Luth dilempari batu dan tertimbun bumi.
Dengan kata lain, kalau umat terdahulu melakukan pembangkangan terhadap perintah Allah langsung diazab seketika. Sementara dengan diutusnya Nabi Muhammad, azab kolektif dihindarkan saat di dunia, tetapi ditunda hingga hari kiamat. Penundaan hukuman itu merupakan rahmat dari diutusnya Nabi Muhammad.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan sikap orang kafir yang membangkang terhadap risalah nabi. Mereka bahkan berani bersumpah dilempari batu dari langit bila yang dibawa Rasulullah ini benar.
“Dan (ingatlah) ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, “Ya Allah, jika Al-Qur’an ini benar (wahyu) dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami adzab yang pedih.” (Al-Anfal: 32).
Allah tidak mendatangkan hukuman ketika mereka bersumpah dan menantang didatangkan azab. Hal ini sebagai bentuk rahmat dari Allah atas diutusnya Nabi Muhammad. Bahkan orang kafir pun dijamin hidup aman dan di negeri-negeri muslim bila mereka mau membayar jizyah.
Untuk memperkokoh pandangannya, kaum pluralisme agama berargumentasi dengan menampilkan kisah surat Nabi Sulaiman yang menulis surat kepada ratu Bilqis dengan ucapan yang lembut, yakni “Bismillahirrahmanirrahim.”
Menurut mereka, Bilqis sebagai penyembah matahari, namun tetap diperlakukan dengan baik oleh Nabi Sulaiman.
“Sesungguhnya (surat) itu berasal dari Sulaiman yang isinya (berbunyi) Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Janganlah kamu berlaku sombong kepadaku, dan datanglah kepadaku dengan menyerahkan diri.” (An-Naml: 30-31).
Namun kaum Pluralisme agama hanya mengambil kalimat “Bismillahirrahmanirrahim” tanpa melanjutkan ayat berikutnya yang mengancam untuk mengikuti perintahnya, dan akan mendapatkan perlakuan yang menghinakan bila menolak ajakannya.
Ketika menerima surat dari Nabi Sulaiman, Bilqis sendiri khawatir hingga meminta pendapat para pembesarnya. Surat ini dipandang sebagai ancaman agar mengikuti perintah Nabi Sulaiman untuk meninggalkan cara penyembahan matahari dan beralih menyembah kepada Allah. Para pembesarnya pun menyadari ancaman itu dan siap mengirimkan pasukan untuk berperang.
Namun kaum Pluralisme agama berhenti pada kalimat pembuka, dan tidak melanjutkan untuk mengajak kepada Islam, dan meninggalkan tradisi penyembahan yang menyimpang.
Terkait dengan diutusnya Nabi Muhammad sebagai rahmat, Al-Qur’an menegaskan bahwa Rasulullah diutus di samping memberi kabar gembira (rahmat) tetapi juga memberi ancaman. Namun kalangan pegiat Pluralisme agama, entah tidak tahu atau menutup-nutupi, sehingga berani memotong ayat demi meneguhkan keyakinannya.
Misi agung diutusnya Rasulullah adalah untuk menghentikan praktik-praktik peribadataan yang mempersekutukan Allah. Dengan kata lain, kedatangan utusan Allah tidak lain sebagai upaya mengembalikan fitrah manusia yang mengagungkan Allah dengan mentauhidkan-Nya.
Ketika mengajak ke jalan yang benar, muncul manusia-manusia congkak dan sombong menghalangi dakwah. Di sinilah urgensi diutusnya rasul untuk memuliakan manusia, namun karena sikap angkuh dan sombong, maka Allah menghinakannya.
Surabaya, 2 Februari 2022