Suaramuslim.net – Seorang ulama ketika ditanyakan kepadanya mengenai mengumpat, menyatakan, “Seandainya aku mengumpat orang lain, tentu aku lebih suka mengumpat ibuku…”
Mengapa? Beliau melanjutkan, “Karena Ibuku lebih berhak menerima kebaikanku…”
Masih bingungkah dengan prolog di atas?
Intinya mengumpat orang lain tidaklah menjadikan orang yang mengumpat menjadi lebih hebat dan beruntung. Di mata manusia, ia menjadi orang yang dijauhi, sedangkan di pandangan agama, ia telah memberikan amal kebaikannya kepada orang yang diumpatnya. Lalu, di mana kehebatan dan keberuntungan mengumpat?
Imam Al Ghazali bahkan pernah menuliskan hal tersebut dalam kitab ’Minhajul abidin’, sebagai berikut:
”Mengumpat itu bagaikan petir yang merusak ketaatan, sehingga ulama’ pun berkata, ‘Perumpamaan orang yang suka mengumpat orang lain itu ibarat orang yang memasang semacam alat pelempar batu, dengannya ia melempar kebaikan-kebaikannya ke timur, ke barat, ke kanan, dan ke kiri’.”
Bagaimana bila kita diumpat oleh orang lain? Hal tersulit yang dilakukan adalah seperti yang dilakukan oleh ulama besar Hasan Basri berikut. Ketika ada orang yang mengumpat beliau, beliau terdiam. Namun beberapa waktu kemudian, beliau mendatangi rumah orang yang mengumpatnya, yang menjadikan orang-orang bertanya-tanya apa yang akan dilakukan beliau. Ternyata beliau membawa senampan kurma basah dan mengatakan kepada orang yang mengumpatnya, ”Aku telah mendengar bahwa Anda menghadiahkan kebaikan Anda kepadaku, maka aku ingin membalas Anda dengan senampan kurma ini sebagai perimbangannya.”
Ternyata umpatan/makian kitalah yang berdampak negatif pada diri kita, adapun umpatan/makian orang lain malah memberikan efek pahala bagi kita.
Salam terindah untuk menghindari mengumpat dan tetap tersenyum menghadapi umpatan dan hinaan orang terhadap diri kita.
Penulis: Dr Gancar C. Premananto*
*Koordinator Program Studi Magister Manajemen FEB Universitas Airlangga Surabaya