Letusan Merapi dan Keajegan Budaya Lokal

Letusan Merapi dan Keajegan Budaya Lokal

Letusan Merapi dan Keajegan Budaya Lokal
Ilustrasi sesaji pada ritual budaya lokal Indonesia.

Suaramuslim.net – Kejadian berkala semburan Gunung Merapi, di satu sisi dianggap sebagai bencana sosial tetapi di sisi lain dipahami sebagai keajegan yang bisa diredam dengan menyemarakkan tradisi lokal. Bahkan sebagian masyarakat memahami bahwa aktivitas Merapi bukan sebagai sebuah bencana tetapi merupakan fenomena pemberian dari Yang Maha Kuasa untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakat Yogyakarta.

Artinya, meletusnya Merapi memang disadari akan mendatangkan bencana sosial dengan berbagai kerusakannya. Tetapi di sisi lain dianggap sebagai anugerah yang mendatangkan sumber ekonomi bagi masyarakat. Kalau fenomena gempa Lombok dan gempa-tsunami Palu-Donggala dianggap sebagai murka Allah karena menyebarnya kemaksiatan di tengah masyarakat, namun meletusnya gunung Merapi bukan dianggap sebagai murka Allah. Melainkan justru dipahami sebagai pentingnya pendekatan dan persembahan kepada penguasa Merapi dengan menghidupkan budaya lokal.

Letusan Merapi dan Semaraknya Budaya Sinkretis

Awal bulan Oktober ini, penulis berkesempatan keliling ke masjid-masjid di wilayah Sleman guna melihat fenomena tumbuhnya ghirah masyarakat Islam dalam memakmurkan masjid. Fenomena tumbuhnya spirit beragama kaum muslimin dalam memakmurkan masjid di satu sisi ternyata ada sebagian masyarakat muslim Jawa demikian tekun melaksanakan budaya lokal. Dengan kata lain, ketika fenomena meletusnya gunung Merapi dipahami sebagai kemurkaan Allah maka seharusnya masyarakat muslim Jawa harus meninggalkan praktik tradisi lokal yang penuh dengan kesyirikan itu. Tetapi dalam praktiknya, masyarakat Jawa justru semakin intens dalam menyelenggarakan budaya lokal itu untuk meredam agar tidak terjadi letusan Merapi.

Budaya lokal masyarakat Jawa identik dengan melakukan ritual memberikan sesaji kepada gunung, baik berupa makanan atau tarian. Hal ini sebagai bentuk persembahan kepada penguasa gunung itu. Ritual itu dengan memberikan sebagian hasil bumi, baik dilempar ke gunung maupun ke laut. Hal ini dengan harapan bencana mereda dan tidak muncul lagi sehingga masyarakat menjadi tenang dan bisa beraktivitas secara normal. Padahal penyelenggaraan budaya lokal itu lebih banyak bernuansa untuk melestarikan dan mengagungkan kepercayaan animisme dan dinamisme. Masyarakat Jawa di samping mengakui kekuatan Tuhan (Allah) tetapi juga mengakui kekuasaan makhluk-makhluk Allah seperti gunung, laut, pohon, hingga keris dan senjata-senjata yang lain.

Untuk mengawinkan antara Islam dan budaya Jawa agar bisa berjalan seiring, maka diupayakanlah penggabungan dan penyatuan dengan melakukan sinkretisme antara tradisi Islam dan tradisi lokal. Hal ini sebagai upaya untuk menghindarkan konflik antara Islam dan budaya Jawa. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan ritual budaya Jawa, maka dihadirkan atau disuntikkan spirit Islam dengan memberikan lantunan-lantunan ayat atau bacaan-bacaan yang dianggap berasal dari nabi atau ulama.

Spiritnya, agar tidak ada lagi pertentangan antara budaya lokal yang penuh dengan kesyirikan. Dengan adanya persembahan terhadap dewa animisme-dinamisme, yang dihadiri oleh pemuka agama Islam dan mengiringi ayat-ayat Al Quran atau tradisi lainnya, maka untuk dikatakan Islam bersinergi dengan budaya Jawa.

Tidak heran apabila ada perayaan-perayaan tradisi lokal seperti Jatilan atau Labuhan senantiasa diiringi atau diawali dengan ritual yang dipimpin oleh pemuka Islam dengan shalawat. Kemudian dilanjutkan dengan tarian-tarian persembahan yang penuh dengan spirit pengakuan terhadap kekuatan alam, dianggap sah.

Pelestarian budaya ini berjalan ratusan tahun dan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang perlu dipertentangkan. Padahal dalam pandangan Islam, acara-acara ritual yang bermerek pelestarian budaya lokal tidak lebih dari upaya sinkretis yang di dalamnya penuh dengan pertentangan nilai. Dikatakan pertentangan, karena di satu sisi umat Islam sangat mengagungkan kekuasaan Allah tetapi di sisi lain, budaya Jawa lebih mengedepankan kekuasaan dan kekuatan makhluk Allah seperti gunung, laut, keris dan lain-lain.

Maka disinilah titik pisah antara Islam dan budaya Jawa. Dalam perspektif Islam, meletusnya Merapi merupakan bentuk kemurkaan Allah karena manusia melakuan praktik sinkretis dan kesyirikan. Tetapi budaya Jawa memandang bahwa ritual itu harus dilakukan untuk meredam kemurkaan sang penjaga Merapi. Dengan kata lain, untuk menghentikan letusan Merapi, Islam mengharuskan umat Islam untuk menghentikan tradisi ritual itu, tetapi budaya Jawa justru mengharuskan penyelenggarakan tradisi ritual itu.

Adanya program Danais (Dana Istimewa) berupa dana 1 Milyar bagi setiap desa ikut menopang keajegan dan tumbuh berkembangnya budaya lokal itu. Dengan dana desa sebesar itu sebagian dimanfaatkan untuk menyelenggarakan ritual budaya itu. Ditemukan di beberapa tempat, dalam bulan Muharram ini, masyarakat menyelenggarakan tradisi  sebulan penuh yang ditopang oleh dana desa tersebut. Dengan adanya dana istimewa maka penghidupan budaya-budaya lokal seolah serentak dan hidup semikian semarak secara nasional.

Ritual dan Pelanggaran Syariat

Kalau dalam Islam dipahami bahwa gunung merupakan salah satu makhluk Allah yang patuh dan tunduk terhadap perintah Allah. Letusan gunung atau gempa di laut merupakan bencana dan sebagai konsekuensi karena manusia melakukan pelanggaran, baik kemaksiatan atau kesyirikan. Oleh karena itu, guna menghentikan bencana itu, seharusnya masyarakat berhenti dalam kemaksiatan dan kesyirikan, baik secara individu maupun kolektif. Dalam perspektif ini, manusia harus melakukan ketaatan dan menghentikan praktek kemaksiatan dan kesyirikan yang teraplikasi dalam bentuk perayaan yang mengagungkan tradisi lokal.

Apa yang terjadi di Lombok dan Palu-Donggala dipandang sebagai salah satu fenomena hukuman atas kemaksiatan dan praktik kesyirikan yang terjadi secara massif. Berbagai kemaksiatan seperti pergaulan bebas, perjudian, penyimpangan perilaku kelompok LGBT begitu leluasa. Pelanggaran syariat dengan membiarkan kemaksiatan dan praktik budaya yang lebih mengagungkan kekuatan leluhur (animisme-dinamisme) terjadi secara terbuka. Sehingga bencana gempa dan tsunami dianggap sebagai bentuk kemurkaan Tuhan.

Sementara apa yang terjadi di Yogyakarta dipandang sebagai sesuatu yang berbeda dimana letusan Merapi bukan karena telah terjadi pelanggaran syariat, seperti kesyirikan. Justru karena kurangnya persembahan kepada sang penguasa gunung. Dengan demikian, menyebarkan dan mensosialisasikan ritual-ritual dan tradisi lokal merupakan solusi untuk meredam terjadinya letusan Merapi.*

Kontributor: Dr Slamet Muliono
Editor: Oki Aryono

*Ditulis di Yogyakarta, 7 Oktober 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment