Liberalisme dan Keraguan Agama

Liberalisme dan Keraguan Agama

Penjelasan Tentang Fatwa Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama
Tipografi sekularisme dan liberalisme. (Ils: Scroll.in)

Suaramuslim.net – Gagasan kaum liberal sepintas memberi harapan dan optimisme dalam beragama. Dengan berpikir liberal, kaum muslimin bisa berpikir kritis dan pada akhirnya bisa semakin teguh dan yakin akan kebenaran agamanya. Namun dalam tataran praktis, berpikir liberal justru hanya melahirkan perdebatan, dan bahkan secara tidak sadar mendekonstruksi nilai-nilai Islam.

Jargon “kebenaran Islam belum final”, “semua agama benar dan pemeluknya masuk surga”, “perilaku kaum homoseksual tidak masalah”, “bolehnya mengucapkan selamat natal” hingga “pentingnya penggunaan tafsir hermeneutika”, merupakan buah dari pemikiran liberal.

Semangatnya memberi spirit pembaharuan justru melahirkan sikap keraguan terhadap Islam, karena semua jargon itu bertentangan dengan doktrin yang selama ini dipegang teguh.

Liberalisme dan Wacana Keagamaan   

Liberalisme dan Islam merupakan dua hal yang berbeda dan sulit dipadukan. Liberalisme menginginkan kebebasan dalam beragama, sementara Islam mengharuskan ketundukan dan penyerahkan diri secara pada total aturan-aturan agama.

Tunduk pada aturan Allah dan rasul-Nya didasarkan pada argumen bahwa Allah sebagai Maha Pengasih menginginkan kebaikan pada hamba-hamba-Nya. Dengan aturan itu dipastikan membuat hamba-hamba-Nya semakin sempurna kehidupannya, namun dengan wacana liberalisme justru berbalik menentang aturan Allah dan rasul-Nya.

Kaum liberal menginginkan kebebasan dalam berbagai hal. Mereka bukan hanya menuntut kebebasan berpendapat, tetapi juga ingin bebas dalam menikah, tanpa memandang berbeda agama atau sesama jenis.

Dalam hal berpakaian, mereka ingin bebas membuka atau menutup aurat sesuai tafsir dan pemahamannya. Bahkan yang lebih berbahaya, mereka menuntut kebebasan beragama dan berakidah.

Keinginan menuntut kebebasan itulah, kaum liberal seringkali menabrak norma dan tatanan yang sebelumnya mapan. Dalam hal toleransi beragama, mereka membolehkan dan membiarkan kaum muslimin mengikuti acara ritual agama lain seperti ritual natal.

Sedemikian toleransinya, mereka mendeklarasikan tidak bolehnya mengeklaim dirinya yang paling benar. Padahal di setiap agama, sikap mengakui agamanya yang paling benar merupakan sesuatu yang wajar.

Kalau melihat sejarah, orang Yahudi berkeyakinan bahwa agamanya paling benar, dan pemeluknya sebagai penghuni surga. Kalaupun masuk neraka, hanya beberapa hari saja.

Demikian pula orang Nasrani yang meyakini agamanya yang paling benar. Mereka menawarkan konsep juru selamat, dan meyakini seluruh manusia sebagai domba tersesat, serta bisa masuk surga bila mengakui Isa sebagai juru selamat dan penebus dosa.

Demikian pula yang terjadi pada agama Budha yang eksklusif pada agamanya, hingga tanpa merasa berdosa, membantai warga muslim Rohingya.

Uniknya, pemikiran liberal hanya tumbuh berkembang dalam khazanah Islam. Tidak aneh dalam komunitas Islam dikenal sebutan ustadz, profesor, kiai, dosen liberal. Predikat itu melekat karena dalam pemikirannya terkandung atau menerima liberalisme agama. Hal ini tidak ditemui dalam tradisi agama lain. Tidak pernah kita mendengar seorang pendeta, pastur, atau bhiksu liberal.

Sumber Memperdalam Agama

Dalam konteks pembelajaran agama, tidak ada pemeluk agama belajar dan mendalami agamanya dengan berguru pada orang yang berbeda agama. Sebagai seorang akademisi yang bernalar sehat, tidak mungkin pemeluk suatu agama bisa mengambil manfaat terhadap orang yang hanya berwacana dalam beragama. Orang Barat yang menolak akhirat, mengajarkan nilai-nilai akhirat.

Implikasi belajar kepada orang yang berbeda agama, maka muncul pandangan yang menyalahkan agama yang dia anut, dan membenarkan nilai-nilai yang terlarang oleh agama Islam. Kaum homoseksual yang dikecam oleh Al-Qur’an justru dipandang benar dan diakui eksistensinya.

Kaum liberal juga melarang mencampuri privasi agama orang lain, sekaligus melarang pemeluk agama lain sebagai kelompok yang sesat. Sementara dalam sejarah, Nabi Ibrahim berani mengatakan bahwa keyakinan kaumnya, pemimpinnya, dan ayahnya sesat dan mengancamnya dengan neraka.

Bahkan Nabi Muhammad berdakwah dan menyebarkan Islam dengan mengajak para raja untuk mengikuti agamanya. “Islamlah, maka akan selamat,” selalu beliau torehkan di setiap surat yang disampaikan kepada penguasa suatu negeri.

Hal ini juga dilakukan oleh Nabi Sulaiman yang menulis surat kepada ratu (Bilqis) yang menyembah matahari bersama rakyatnya. Bahkan Nabi Sulaiman siap mengirimkan pasukan yang tak mungkin terkalahkan bila menolak ajakannya.

Orang liberal melarang orang Islam memvonis kesesatan agama lain, karena yang mengetahui kebenaran hanya Allah, sehingga manusia tak berhak memvonis salah. Bahkan yang tak kalah bahaya, kaum liberal mengedepankan akhlak yang baik dan toleransi sebagai jalan tengah agar tidak terjadi pertentangan antar agama.

Sementara Islam menyeru kepada manusia untuk mentauhidkan Allah sebagaimana firman Allah: “Tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Lihat QS. Adz-Dzariyat: 56).

Al-Qur’an mengecam dan mengancam neraka terhadap orang-orang yang berakhlak tinggi tapi tidak menyembah kepada Allah.

Abu Thalib (paman Nabi Muhammad), merupakan manusia yang diagungkan kaumnya, karena memiliki kepribadian dan akhlak yang mulia. Bahkan Abu Thaliblah sosok yang memelihara dan membesarkan serta melindungi dakwah Nabi Muhammad. Namun di akhir hayatnya tetap berkeyakinan dan berpegang teguh pada agamanya moyangnya.

Nabi Muhammad berdoa dan memperjuangkan Abu Thalib agar bisa mengucapkan kalimat syahadat. Tetapi hingga akhir hayatnya, Abu Thalib memilih mati di atas kepercayaan yang menyimpang.

Dalam Islam, sosok manusia yang tertinggi dan teragung akhlaknya adalah mereka yang mau berbuat baik dan mengagungkan Tuhan yang menciptakan dan memeliharanya. Namun banyak manusia yang menyembah selain Allah, padahal proses penciptaan dan kesempurnaan manusia tidak lepas dari tangan dan kekuasaan Allah.

Surabaya, 17 Maret 2021
Dr. Slamet Muliono Redjosari
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Setiap opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis opini. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment