Lima Catatan Kritis Federasi Serikat Guru Dalam Peringatan Hardiknas

Lima Catatan Kritis Federasi Serikat Guru Dalam Peringatan Hardiknas

Lima Catatan Kritis Federasi Serikat Guru Dalam Peringatan Hardiknas

JAKARTA (Suaramuslim.net) – Federasi Serikat Guru Indonesia atau FSGI menilai pengelolaan pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari kata ideal. Baik itu dari kesejahteraan tenaga pendidik seperti guru maupun fasilitas pendidikan di beberapa daerah. Selain itu, kekerasan yang dialami murid dan guru juga tak luput dari catatan FSGI dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional yang setiap tahunnya jatuh pada tanggal 2 Mei.

“Sebagai bagian dari stakeholders pendidikan di tanah air, FSGI dengan memberikan beberapa catatan kritis mengenai wajah pendidikan di tanah air sebagai upaya urun rembug dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional,” ujar FSGI dalam keterangan tertulisnya, Rabu (2/5).

Adapun catatan kritis tersebut yaitu:

1. Salah satu komponen utama sebagai ujung tombak mencapai “kecerdasan berbangsa” adalah para guru. Bagaimana negara memandang nasib guru-guru kita sampai saat ini? Setelah 73 tahun merdeka masih banyak guru yang jauh dari kata sejahtera. Faktanya masih banyak guru yang statusnya honorer, dengan honor sebesar 35 ribu rupiah perbulan.

Seperti yang dialami Imron Husain seorang guru dari Sumenep, Madura. Atau nasib seorang guru dari NTB yang mendapatkan honor sebesar 50 ribu perbulan, yang pernah bersama FSGI mengadukan nasibnya ke Komisi X DPR RI.

“Sudah waktunya pemerintah (pemerintah daerah) memikirkan dan mengangkat para guru honorer sesuai dengan masa baktinya untuk menjadi pegawai negeri sipil. Atau setidaknya berikanlah perhatian kesejahteraan yang lebih kepada mereka” ujar FSGI.

2. Dalam peringatan Hardiknas kali ini persoalan pendidikan yang juga krusial untuk dibenahi adalah masih terulangnya kekerasan di dunia pendidikan. Kekerasan yang dilakukan guru, orang tua dan siswa sendiri di lingkungan sekolah masih terus terjadi. Berulangnya kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswa, orang tua terhadap guru atau siswa terhadap guru adalah potret buram pendidikan nasional kita.

3. Sampai saat ini sebagai negara merdeka, kita belum memiliki cetak biru pendidikan secara nasional. Sebagai pedoman, petunjuk dan dasar dalam pengembangan kebijakan pendidikan tanah air. Alhasil kurikulum mudah berganti. Kurikulum 2013 pun mengalami revisi.

“Kurikulumnya canggih, tetapi tetap saja dalam implementasinya bermasalah,” kata FSGI.

Para guru mengeluhkan betapa ruwetnya penilaian dalam Kurikulum 2013. Begitu mudahnya mengganti kurikulum, namun begitu sulitnya negara menyiapkan guru-guru yang memenuhi 4 kompetensi utama seorang guru.

4. Pembenahan pendidikan, harus diawali dari lembaga pencetak guru (LPTK) yang mesti segera berbenah agar kualitas guru hasil pendidikan di LPTK benar-benar siap menjadi guru profesional. Faktanya masih banyak LPTK (FKIP) yang tak berkualitas, dengan nilai akreditasi C atau belum terakreditasi. Tapi tiap tahun kampus-kampus ini memproduksi guru. Sudah waktunya pemerintah membenahi LPTK/FKIP yang tak bermutu tersebut, agar guru yang dihasilkan pun berkompeten.

5. Delapan Standar Nasional Pendidikan sebagaimana yang dijelaskan oleh UU Sisdiknas, masih jauh dari kata sempurna. Pemenuhan 8 standar nasional pendidikan ini adalah kewajiban pemerintah melakukannya. Anggaran pendidikan yang sangat besar, semestinya bisa menyelesaikan persoalan standar pendidikan. Misalnya terkait standar sarana-prasarana, faktanya masih banyak sekolah yang kategori rusak bahkan rusak berat. Sekolah yang harusnya menjadi tempat paling aman, justru para siswa dan guru khawatir karena bangunannya tak laik huni.

“Belum lagi fasilitas seperti laboratorium komputer, bahasa dan akses internet yang belum ada. Tapi di sisi lain justru pemerintah terkesan memaksakan UN berbasis komputer. Tentu ini realita yang paradoks,” tandas FSGI.

Reporter: Ali Hasibuan
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment