Lumpuh, buta, dan sebatang kara: Mengapa Abu Qilabah masih bersyukur?

Suaramuslim.net – Di sebuah tenda kumuh yang berdiri di pinggiran wilayah Syam, terbaring seorang pria tua yang menjadi saksi bisu atas puncak kesabaran manusia. Ia adalah Abdullah bin Zaid al-Jarmi, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Qilabah, seorang ulama besar dari kalangan Tabiin. Namun, saat itu ia tidak sedang berada di atas mimbar, melainkan di atas hamparan pasir dengan kondisi yang meruntuhkan logika kemanusiaan.

Puncak penderitaan yang tak terlukiskan

Bayangkan sebuah ujian: Abu Qilabah kehilangan kedua tangan dan kedua kakinya. Tak cukup sampai di situ, penglihatannya buta, dan pendengarannya mulai memudar. Ia adalah sosok yang “terkunci” di dalam tubuhnya sendiri, tidak bisa bergerak, tidak bisa melihat dunia, dan hanya bisa bergantung pada bantuan orang lain untuk urusan paling dasar sekalipun.

Kalimat yang menggetarkan langit

Seorang musafir bernama Abdullah bin Muhammad secara tidak sengaja menemukannya di tenda tersebut. Namun, bukan rintihan kesakitan atau keluhan nasib yang ia dengar. Alih-alih mengeluh, dari lisan Abu Qilabah yang kering terus mengalir untaian doa:

“Segala puji bagi Allah yang telah memberiku kesehatan (kelebihan) yang tidak Ia berikan kepada banyak orang dari ciptaan-Nya.”

Mendengar itu, sang musafir tertegun. Ia mendekat dan bertanya dengan penuh keheranan, “Wahai hamba Allah, nikmat mana yang engkau syukuri? Engkau buta, lumpuh, dan sebatang kara. Apa yang tersisa darimu untuk disyukuri?”

Abu Qilabah menjawab dengan ketenangan yang menggetarkan: “Wahai laki-laki, tidakkah engkau melihat aku masih memiliki lisan yang bisa berzikir dan hati yang tetap mengenal-Nya? Jika Allah mengirimkan api dari langit yang membakar tubuhku, atau gunung menimpaku, aku tidak akan menambah kecuali rasa syukur karena Dia masih membiarkan hatiku mencintai-Nya.”

Ujian terakhir: Kehilangan sang penjaga

Abu Qilabah kemudian meminta tolong kepada musafir itu untuk mencari putra semata wayangnya yang sudah dua hari tidak kembali. Putranya adalah satu-satunya “tangan dan kakinya” yang menyuapinya, memberinya minum, dan membantunya bersuci.

Setelah dicari, musafir itu menemukan kenyataan pahit: sang putra telah tewas diterkam binatang buas di padang pasir. Jenazahnya tercabik-cabik.

Bagaimana cara menyampaikan kabar ini kepada seorang ayah yang sudah kehilangan segalanya? Musafir itu kembali dan mencoba mengingatkan Abu Qilabah tentang kisah Nabi Ayyub yang kehilangan semua anaknya.

Abu Qilabah mengerti isyarat itu. Ia menarik napas panjang, lalu berkata, “Alhamdulillah, Allah tidak meninggalkan dari keturunanku seseorang yang akan bermaksiat kepada-Nya di muka bumi.”

Akhir yang mulia

Sesaat setelah menerima kabar duka itu dengan rida, Abu Qilabah menghembuskan napas terakhirnya. Ia wafat dalam keadaan tenang, tanpa dendam pada takdir, dan tanpa sedikit pun mencela Allah atas rangkaian musibah yang menimpanya.

Renungan bagi kita: Di mana posisi musibah kita?

Kisah Abu Qilabah adalah cermin yang tajam bagi kita yang sering mengeluh karena urusan dunia.

Kita mengeluh karena dalam kekurangan, sementara Abu Qilabah bersyukur meski kehilangan anggota tubuh.

Kita mengeluh karena merasa lelah bekerja, sementara Abu Qilabah bersyukur meski hanya bisa terbaring kaku.

Kita mengeluh atas kehilangan kecil, sementara ia bersyukur saat kehilangan satu-satunya sandaran hidupnya.

Musibah yang kita alami mungkin terasa berat, namun kisah ini mengajarkan satu hal: Selama kita masih memiliki iman di dada dan lisan yang mampu menyebut nama-Nya, kita masih memiliki segalanya.

Jika Abu Qilabah yang “tidak punya apa-apa” mampu merasa menjadi orang yang paling diberi nikmat, lantas alasan apa yang membuat kita berhenti bersyukur hari ini?

Ringkasan

Abu Qilabah adalah salah satu tokoh dari kalangan tabiin (beberapa sumber menyebutkan beliau sebagai sahabat Nabi yang wafat paling akhir) yang sangat dikenal karena kesabaran dan rasa syukurnya yang luar biasa di tengah ujian fisik yang sangat berat.

Profil Abu Qilabah

Nama asli: Abdullah bin Zaid al-Jarmi.

Asal: Bashrah, Irak.

Keahlian: Ulama, ahli ibadah, dan perawi hadis yang banyak meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik dan Ibnu Abbas.

Wafat: sekitar tahun 104 H.

Kisah ini disarikan dari kitab “Siyar A’lam an-Nubala” karya Imam adz-Dzahabi dan kitab “Al-Tsiqat” karya Ibnu Hibban sebagai pengingat akan hakikat kesabaran yang disampaikan dalam Kajian Islam Buat Talenta Hebat (KIBLAT).

Kontributor: Fachrurrosi

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.