Suaramuslim.net – Menuju tahun politik yang geliatnya semakin memanas, terjadi polarisasi tajam di antara kedua kubu, perlu kiranya kita merenungi dan menelaah kembali nasihat-nasihat M. Natsir. Salah seorang tokoh bangsa, penggagas mosi integral yang melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nasihat beliau terhidang dalam bentuk buku yang berjudul Mempersatukan Umat. Terdiri dari 9 bab. Diawali dengan pembahasan dasar persatuan, Pak Natsir menjadikan iman sebagai dasar persatuan dengan mengutip Ayat ke sepuluh Surah Al Hujurat.
Berikut syarahan dari beliau: Innamal mu’minuna ikhwatun. (al Hujurat: 10). “Sesungguhnya orang-orang yang beriman (mu’minin) itu, tak lain melainkan bersaudara…”
Yakni bersatu dalam ikatan rasa bersaudara. Rasa bersaudara yang tumbuh dari keimanan kepada Allah dan Rasul. Keimanan yang menjelma berupa ubudiyah yang tertib dan khusyuk kepada Allah, dalam amal saleh, tingkah-laku dan budi pekerti yang bermutu tinggi dalam pergaulan sehari-hari dengan sesama muslim khususnya dan sesama anggota masyarakat umumnya.
Keimanan yang meletakkan tuntunan Allah dan Rasul sebagai petunjuk dalam menentukan sikap dan langkah, bila berhadapan dengan tiap-tiap masalah duniawiyah dan ubudiyah.
Keimanan yang menjadikan si pemiliknya mampu untuk mengendalikan hawa dan nafsu, dan menempatkannya pada ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul, tempat memulangkan segala persoalan yang diperselisihkan.
Apabila keimanan yang demikian ini hilang atau lemah di kalangan umat Islam, atau di kalangan sebagian daripadanya, maka rasa bersaudara, akan hilang, atau lemah pula. Terlampau lemah untuk menjadi ikatan-pemersatu umat Islam. (Selesai nukilan)
Beliau juga membahas bahwa bersatu itu bukan karena tujuan materi atau disatukan dengan harta, beliau menukil Surah Al Anfal ayat 63. Berikut kutipannya: “Sekalipun engkau belanjakan apa yang ada di bumi semuanya, tidaklah dapat engkau mempersatukan hati mereka; tetapi Allah-lah yang mempersatukan mereka. Sesungguhnya Ia Gagah dan Bijaksana.” (Al Anfal: 63).
Soal persatuan ialah terutama soal qolbu, soal hati. Soal wijhah, yakni tujuan hidup yang diniatkan oleh hati hendak dicapai. Dan soal kebersihan amal untuk mencapai tujuan itu dengan keikhlasan hati. Dengan tegas sekali firman Allah subhanahu wa ta’ala menunjukkan dalam ayat yang menyusul, apakah itu wijhah yang mempersatukan umat Muhammad: “Wahai Nabi! Cukuplah Allah bagimu dan mereka yang mengikutimu dari orang-orang yang beriman.” (Al Anfal 64).
Wijhah, tujuan-hidup dan tujuan-mati mukminin hanyalah satu: Yakni keridhaan Allah semata-mata. Inilah motifnya untuk mengerjakan sesuatu atau menahan diri dari melakukan sesuatu. Ini juga motifnya untuk menyatakan sesuatu atau untuk berdiam diri. Ini niatnya dalam beribadah dan beramal. Keridhaan Allah, bukan keridhaan manusia. Dan bukan “asal aku senang” atau “asal golonganku senang”.
“… Yang memberikan hartanya karena ingin hendak bersih; padahal tidak ada padanya budi seseorang yang patut dibalas; tetapi karena hendak mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi; dan Dia (Tuhannya) akan ridha kepadanya….,” (Al Lail 18-21).
Wijhah (tujuan) mencari keridhaan Allah yang diperpegang oleh orang-orang yang beriman inilah, ikatan pemersatu umat mukminin. Dari ini pulalah tumbuhnya tali ukhuwah umat mukminin itu. (Selesai nukilan)
Bagi Pak Natsir, banyaknya organisasi bukanlah penyebab perpecahan (tafarruq). Menurut beliau wajar Indonesia memiliki banyak organisasi Islam ditilik dari luasnya geografis, jumlah penduduk, dan ragam budaya. Semata-mata banyaknya jumlah organisasi-organisasi Islam itu saja belum berarti suatu perpecahan umat Islam.
Beliau menuliskan: tafarruq dan tanazu’, sikut-menyikut timbul bukan semata-mata lantaran banyaknya jumlah organisasi Islam. Akan tetapi oleh karena di tengah perjalanan, wijhah (tujuan) yang diniatkan dan dirumuskan semula menjadi samar-samar kabur.
Yang tadinya hendak ditanam Hubbu ‘l-Lah dan Mukhafata-‘l-Lah, yakni cinta kepada Allah dan takut kepada Allah. Yang tumbuh di tengah perjalanan ialah Hubbu ‘l-Djah wa Hubbu ‘l-Mal dan Karahiyyatu ‘l-Maut; senang harta dan senang kedudukan serta takut mati. Yang dimaksud tadinya ialah Da’watan ila ‘l-Lah, memanggil ummat kepada Allah. Yang tumbuh di tengah jalan ialah da’watun Ilayya Nafsi, jual tampang untuk aku. Yang tumbuh ialah ananiyyah, aku-isme dalam berbagai bentuk dan coraknya. Inilah yang menyebabkan tafarruq perpecahan. Bukan besarnya jumlah organisasi. (Selesai nukilan)
Seperti Buya Hamka dalam buku Panggilan Bersatu, Pak Natsir juga berpendapat bahwa membincang perkara khilafiyah dan ijtihadi bukanlah hal yang perlu ditakuti dan bukanlah sumber perpecahan selama dengan kejujuran dan bukan dorongan hawa nafsu. Beliau bertutur: Perbedaan pendapat dan paham dalam kejujuran (honest differences of opinion) sebagai hasil daripada berpikir dan berijtihad, bukanlah suatu hal yang ditakuti. Semata-mata perbedaan pendapat yang demikian sifatnya, bukanlah sumber tafarruq. Itu merupakan pendorong untuk mengasah otak dan meninggikan mutu berpikir, mutu kecerdasan umat.
Tafarruq timbul apabila perbedaan pendapat ditunggangi oleh hawa dan nafsu pada pihak-pihak yang bersangkutan. Perpecahan timbul, apabila pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama tidak tahu kemana “tempat pulang”, yaitu tempat memulangkan persoalan, bila tidak diperoleh persesuaian. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Maka apabila kamu berbantahan dalam sesuatu perkara, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul.” (QS An Nisa: 59).
Di kalangan mereka yang kekaburan wijhah itu, bila ada perbedaan pendapat, yang terjadi bukanlah musyawarah, bukan pertukaran hujjah bi ‘l-Lati hiya ahsan untuk mencari kebenaran. Yang timbul ialah pertengkaran saling cap-mencap Tanabuz bi ‘l-aqab, saling ejek-mengejek, untuk mencari kemenangan “pengaruh” pribadi atau golongan. Dan yang menyebabkan tafarruq. Bukan semata-mata perbedaan paham dan pendapat. (Selesai nukilan)
Walaupun isu bersama yang datang dari tekanan eksternal dapat menyatukan umat, persatuan yang dipaksakan dan instan tidak akan kekal. Tulis beliau: Kita semua menginginkan kesatuan Ummat Islam Indonesia. Timbul persoalan bagaimana cara mencapainya. Sebagai suatu jalan yang dianggap pendek dan cepat ialah “pembubaran semua partai-partai Islam, dan mendirikan satu partai Islam yang meliputi seluruh Ummat Islam Indonesia”.
Bisa kah ini? Selama unsur-unsur yang menjadi sumber tafarruq itu belum hilang, maka pembubaran yang ada secara sukarela dan peleburan dalam satu partai yang baru dengan sukarela sekarang ini juga, adalah ibarat mengidam-idamkan kuda bertanduk. Suatu pembubaran dan peleburan yang dipaksakan dari atas (didekritkan) akan dirasakan sebagai perkosaan atas hak berkumpul dan berserikat. Kesatuan yang dipaksakan secara demikian tidak akan berumur panjang. Akan timbul dalam “kesatuan” yang dipaksakan itu ketegangan-ketegangan terus menerus, yang akhirnya membawa perpecahan pula.
Suatu paksaan keadaan dari luar semata-mata, berupa suatu bahaya besar yang mengancam, memang bisa mempersatukan golongan-golongan Islam, dalam satu partai, seperti yang kita lihat dalam tahun 1945. Akan tetapi apabila bahaya dari luar itu sudah tidak dirasakan lagi, sekalipun masih ada, maka bibit-bibit tafarruq mulai bekerja lagi dalam segala akibat-akibatnya. Sejarah selama 20 tahun sampai sekarang (1968) menunjukkan perkembangan yang menyedihkan ini. Ini adalah realita. (Selesai nukilan)
Apa usaha yang dapat diambil dalam rangka menegakkan persatuan? Beliau memaparkan anjuran dan langkah langkah sebagai berikut:
Kita harus sederhana dalam menentukan apa yang hendak kita capai dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang. Kalau kita belum bisa mengerjakan semua, jangan kita tinggalkan semua.
- Para pemimpin Islam tua dan muda, harus memulai masing-masingnya dengan introspeksi, meninjau diri pribadi sendiri, meninjau lubuk hati diri sendiri dengan kejujuran. Masing-masing berusaha memberantas bila bertemu segala bibit tafarruq yakni antara lain penyakit ananiyyah dalam bermacam bentuknya.
- Masing-masingnya mengambil inisiatif dan aktif untuk mengikatkan kembali tali ukhuwah yang sudah putus selama ini antara pemimpin-pemimpin Islam. Semuanya secara informil, tanpa gembar-gembor, hubungan antara pribadi dan pribadi para pemimpin ini harus dapat diperbaiki kembali dan dipelihara seterusnya. Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan adanya perbedaan pendapat secara jujur dalam satu dua persoalan yang belum dapat diatasi.
- Tali ukhuwah islamiyah yang sudah diperbaiki itu, membukakan kesempatan bagi pertukaran pikiran secara informil pula dalam berbagai masalah umat. Dalam suasana tenang dan lebih jernih, bersih dari segala macam suudzan dan prasangka. Sekurang-kurangnya, mereka harus mampu memberi contoh yang baik pula kepada para pengikut mereka.
- Tali ukhuwah islamiyah, bila sudah dipulihkan antara pribadi-pribadi zu’ama dan ulama Islam tua dan muda itu, serta percakapan-percakapan mereka secara informil dari hati ke hati, dapat mengishlahkan pertentangan-pertentangan yang tidak sehat. Yang terdapat di kalangan pengikut masing-masing. Bukan itu saja, dapat pula merintiskan jalan bagi musyawarah-musyawarah informil (tanpa gembar-gembor) antara pemimpin-pemimpin organisasi-organisasi Islam, dalam menghadapi persoalan-persoalan yang mengenai kepentingan bersama dari umat Islam sebagai keseluruhan. (Selesai nukilan)
Muncul ide dari segolongan orang untuk menghapus seluruh organisasi baik di lapangan politik atau sosial. Berdalil bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam tidak berparpol dan berormas. Pak Natsir membantah: kalau dianalisa secara teliti pemikiran ini nyata tidak dapat dipertahankan. Mengharamkan sesuatu, semata-mata oleh karena barang itu tidak ada di zaman Rasulullah adalah satu cara yang tidak betul.
Umpamanya, ada syariat Islam supaya menuntut ilmu dan menyebarkan ilmu. Rasulullah beserta para sahabat menyampaikan ajaran-ajaran Islam di masjid-masjid dan di rumah-rumah. Di zaman Rasulullah tidak ada pesantren, tidak ada madrasah-madrasah dan fakultas-fakultas yang bertujuan sama seperti yang ada sekarang ini. Apakah pesantren-pesantren, madrasah-madrasah dan fakultas-fakultas itu diharamkan pula? Tentu tidak! Islam adalah perpaduan antara tiga hal: aqidah, syariah dan nizham (tata hidup bermasyarakat). Syariah ditegakkan atas dasar aqidah. Dan atas dasar aqidah dan syariah ditegakkan nizhamu ‘l-mujtama’.
Islam tidak membolehkan adanya anarki, centang perenang. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan untuk menegakkan dan mempertahankan ketiga unsur ini, supaya menegakkan Jama’atul Muslimin. Sebab Islam adalah agama jemaah yang pakai nizham. Bukan agama orang-perorangan yang bertebaran.
Maka organisasi Islam di Indonesia ini didirikan dengan tujuan untuk menanamkan aqidah, menyampaikan syariah dan melaksanakannya, dan menegakkan nizham itu. Organisasi-organisasi Islam ini bukan tujuan, tetapi alat. Tetapi alat itu perlu! Yang perlu dijaga, dan dimana perlu diperbaiki ialah; “nawaitu” para pemimpin dan anggota-anggota organisasi Islam tetap bersih. Wijhah mereka tetap: keridhaan Ilahi semata-mata. Dan mutu ibadah, muamalah dan akhlak mereka bertambah tinggi, jangan sampai merosot di tengah jalan. Agar terbangunlah satu rumah. Umat yang demikian itu yang tidak ditegakkan secara dadakan, tetapi dengan melalui proses didikan, latihan, ujian lahir dan batin, setaraf demi setaraf. (Selesai nukilan)
Demikian nukilan-nukilan dari buku Mempersatukan Ummat, semoga dapat diambil pelajaran untuk masa kini dan semoga Allah merahmati penulis bukunya.*
Peresensi: Muhammad Fisabilillah
Editor: Oki Aryono
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net