Suaramuslim.net – Meski awalnya dalam rangka memata-matai, karisma dan pesona Haji Oemar Said Tjokroaminoto sukar ditepiskan oleh Agus Salim. Sebuah bukti perpaduan potensi dan kekuatan kepemimpinan penggelora Sjarikat Islam itu. Di kemudian hari, Agus Salim malah surut menunaikan tugas dari kolonial Belanda. Ia berbalik arah menjadi pengagum Tjokroaminoto. Bukan sembarang pengagum dan anak buah, melainkan pengikut yang mampu mendudukkan persoalan secara kritis. Kelak, kekuatan cerdas, bahkan jenius, Agus Salim, mencuatkan duet kepemimpinan yang mengagumkan dalam sejarah SI.
Agus Salim paham betul apa yang ada di pikiran rakyat banyak, terutama, di Jawa pada Tjokroaminoto. Sosok yang disebut sebagai Raja Jawa tanpa mahkota itu tidak main-main dalam memengaruhi emosi banyak massa. Orasinya menggelegar; sekuat karakter pemimpin yang sudah tercermin dari tampilan fisiknya. Meski deraan fitnah diembuskan kalangan pengikutnya yang berpemahaman komunis, nama Tjokroaminoto tetap harum. Di sinilah andil Agus Salim memainkan peran penting.
Seorang Raja Jawa tanpa mahkota, Tjokroaminoto memang melampaui pengaruh para penguasa keraton saat itu. Bahkan Kasultanan Yogyakarta ataupun Kasunanan Surakarta. Namanya garansi untuk dipercaya rakyat. Menjadi tumpuan orang banyak atas derita di bawah penindasan kolonialisme. Meski tanpa panji-panji kebesaran dan mahkota di kepala, Tjokroaminoto tetap sukar disandingi para raja. Posisi dan peranannya untuk mengambil jarak, bahkan berkonfrontasi, dengan kolinialis merupakan antitesis dari para pembesar feodal kerajaan.
Seorang raja dengan segala pengabdian dan kekaguman para alit tentu saja karena ada amanah yang dipegang. Di pundak Tjokroaminoto, ia seperti tumpuan paling sedikit ratusan ribu, bahkan pernah mencapai 2,5 juta, dari anggota SI. Sebuah aspirasi agar negeri ini tidak terus-menerus ditindas. Siapa lagi yang bisa dipercaya ketika para penguasa yang memiliki sumber daya justru berpaling muka dan memilih berpesta-pesta?
Adalah wajar bila tumpuan itu ada pada Tjokroaminoto. Pilihan hidup bersahaja dan kekuatan untuk memajukan rakyat negerinya diperbuat dengan gigih. Baik semasa di jalur sistem kolonial (masuk di parlemen Hindia Belanda) ataukah menempuh jalur non-kooperasi. Satu sikap ditandaskan: gapai kemerdekaan tanpa syarat apa pun!
Begitulah ketika tekad dan iktikad seorang “raja tanpa mahkota” dipandang kredibel rakyat. Maka, tumpuan asa banyak orang dihamburkan. Mungkin satu bentuk frustrasi dari tiadanya sosok yang ada. Nah, pada Tjokroaminoto nubuwat untuk dipenuhinya asa itu hadir lagi. Sudah begitu, sang “raja tanpa mahkota” begitu peduli pada para alit. Kloplah. Seperti dirasakan Agus Salim yang jadi tandem Tjokroaminoto.
Raja tanpa mahkota akan selalu hadir di hati rakyat apabila potensi diri untuk memimpin rakyat dipenuhi dengan jalan profetik. Berkata benar, terpercaya, amanah, dan penyampai. Tulus bergerak dan menjaga kemanusiaan tanpa kecuali. Tidak ada motif untuk memperkaya ataukah memperlama kekuasaan. Raja-raja yang demikian akan serasa utopia atau mimpi kosong belaka. Ketika raja-raja yang ingin tampil ke atas seakan sosok pantas berkuasa, senyatanya malah hanya pecundang dan pendusta. Hanya mencitra diri dengan sebutan raja berikut mahkota kebesaran belaka. Padahal, perilakunya jauh dari misi profetik. Rakyat disengsarakan, keadilan dibuang jauh-jauh. Hanya ingin mendaku diri: akulah raja!
Karena itu, personalisasi merajakan junjungan dalam kontestasi politik, silakan saja. Asalkan bukan untuk mempermalukan diri. Jauh dari panggang dari api. Kenyataan dan angan terbentang jauh. Sudah begitu, menuding pihak seteru politik sebagai pembikin publikasi pencitraan diri. Padahal, semuanya bagian dari arogansi perajaan idola yang sudah kasatmata lalim tidak mampu menjaga amanah.