Suaramuslim.net – Bagaimana mengimplementasikan Management by Heart dalam membangun budaya kerja? Hal pertama yang harus dipahami adalah kita harus menciptakan suasana kebersamaan dalam organisasi. Maksudnya, dalam bekerja di internal kampus, hanya dikenal kata “kita” bukan “aku dan kamu”, baik saat saya berinteraksi dengan karyawan, sesama dosen, sesama pimpinan maupun mahasiswa.
Itulah makna intersubjektif berketuhanan seperti yang pernah disebutkan dalam seri sebelumnya. Menciptakan suasana bahwa apa yang dikerjakan semuanya adalah bagian dari milik dan tanggung jawab bersama, sehingga kepada semua pihak, tanpa kecuali, dibangun rasa kebermilikan (sense of ownership). Jadi bukan relasi intersubyektif, yang memisahkan ‘aku’ di satu sisi, dengan ‘kamu’ di sisi lainnya.
Apalagi kalau relasi atasan dan bawahan diterapkan secara an-sich, secara hierarkis. Sebab kondisi birokratis seperti ini hanya akan membuat beban pekerjaan seluruhnya ada di pundak sang pemimpin. Kelihatannya sih enak, jadi “the most powerful man” alias the boss, tapi hakikat sesungguhnya, dia menanggung beban pekerjaan sepenuhnya di atas pundaknya sendirian! Ini tidak kondusif secara organisasi maupun untuk diri sang pemimpin itu sendiri.
Lebih jauh sesuai dengan hakikat berketuhanan, saya yakin bahwa semua keberhasilan adalah terjadi atas ijin-Nya, atas kehendak-Nya. Kita hanya berusaha. Jadi, karena menyadari posisi ‘ketidakberdayaan diri’ dalam setiap capaian yang diraih, maka sepertinya akan naif sekali kalau kemudian saya memosisikan diri secara superior terhadap sejawat atau bawahan saya, sebagai orang yang serba tahu, serba kuasa atau serba segalanya. Tidaklah! Justru sebaliknya, saya harus berusaha merangkul semua pihak internal ini agar bersama-sama menghadapi dan menyelesaikan masalah. Mungkin dalam bahasa Suroboyo-annya, yok opo apik’e.
Agar konsep di atas dapat berjalan baik, maka ke luar, saya perlu melakukan upaya pemberdayaan, karena membagi otoritas saya sebagai rektor memerlukan kesiapan setiap individu pimpinan yang diamanahi.
Teamwork dibangun, serta mereka harus diberi keleluasaan untuk membuat keputusan sesuai levelnya masing-masing. Insiatif mereka harus didorong agar berani mengisi dan melengkapi kekurangan yang terjadi tanpa harus diminta atau diperintah.
Sebab, fokus setiap anggota tim ini idealnya semuanya berusaha memaksimalkan kemampuan yang dimiliki agar apa yang direncanakan dalam program kerja bisa tercapai sesuai target kinerja dengan cara saling mengisi sambil saling memercayai satu sama lain.
Sementara itu, terhadap sisi internal diri saya sendiri, saat keberhasilan diraih, saya tidak akan pernah mengklaim bahwa itu karena saya, tetapi keberhasilan seluruh anggota tim yang terlibat di dalam prosesnya, tanpa kecuali. Sedangkan pada saat capaian tidak sesuai harapan, maka saya harus ikhlas menyatakan bahwa itu adalah kesalahan dan tanggung jawab saya sebagai pemimpin.
Pendekatan seperti ini, pada kenyataannya, malah lebih menyentuh rasa dan naluri kemanusiaan para pimpinan secara alami. Malah, tanpa harus dipaksa, para pimpinan lalu berusaha melakukan kontribusi yang terbaik untuk mengisi dan menjalankan proses yang sedang berlangsung dan ketika terjadi kegagalan, secara sportif mereka ikut merasa bertanggungjawab dengan menanggung konsekuensi secara bersama tanpa harus menuding siapa yang salah.
Karenanya, perbedaan peran antara pemimpin dan yang dipimpin tidak terletak pada siapa yang memberi perintah dan siapa yang diberi perintah. Sebab semua anggota tim merasa mempunyai kedudukan dan peran yang sama dalam melaksanakan sebuah perencanaan dan bagaimana melaksanakannya.
Peran pemimpin hanya terlihat ketika terjadi perbedaan pendapat saat menyelesaikan atau melaksanakan urusan tertentu, maka dialah yang berperan mengambil keputusan akhir sambil memberi inspirasi secara terus menerus dan mendorong anggota tim lainnya untuk terus berkarya dan berusaha.
Surabaya, 23/06/2019
Joni Hermana
Rektor ITS 2015-2019