Mantan Komisioner Komnas HAM Beri Catatan Penyelesaian HAM di Pemerintahan Jokowi

Mantan Komisioner Komnas HAM Beri Catatan Penyelesaian HAM di Pemerintahan Jokowi

Bintang Kejora Berkibar di Depan Istana, Pemerintah Diminta Tegas
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Foto: Time)

JAKARTA (Suaramuslim.net) – Mantan Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution memberikan catatan buruk terhadap penyelesaian kasus Hak Asasi Manusia di pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Menurut Maneger ada sebelas permasalahan terkait HAM yang sampai saat ini belum bisa diselesaikan oleh Presiden Jokowi yang juga merupakan janji politik saat kampanye tahun 2014.

Pertama, menurut Manager adalah soal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. “Kalau kita tracking janji politik Jokowi JK (nawacita) tertulis penghormatan HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu,” katanya dalam rilis, Senin (10/12).

Seperti diketahui ada 10 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah direkomendasilan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung sebagai Penyidik Negara: 1. Tanjung Priok (1984), 2. Timor Timur (1999), 3. Abepura, Papua (2000), 4. Wasior dan Wamena, Papua (2000), 5. Talangsari, Lampung (1989), 6. Kasus 1965-1966, 7. Petrus (1982-1985), 8. Trisakti dan Semanggi 1 dan 2 (1998), 9. Kerusuhan Mei 1998, dan 10. Penghilangan orang secara paksa (1997-1998).

Dari 10 kasus itu, ada 3 kasus (30%) yang sudah diselesaikan oleh rezim sebelum pemerintahan Jokowi-JK, yaitu kasus Tanjung Priok, Abepura, dan Timtim. Sedangkan 7 kasus (70%) lagi belum diselesaikan.

Kedua, soal penanganan tindak pidana terorisme.

“Bahwa aksi terorisme oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun adalah musuh kemanusiaan. Hanya penanganannya harus tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip HAM. Untuk itu pemerintahan Jokowi-JK harus melakukan perbaikan penangan terorisme sesuai perspektif HAM,” tambahnya.

Ketiga, soal kebebasan beragama. Pemerintahan Jokowi-JK harus memastikan kehadiran negara dalam memenuhi hak-hak konstitusional warga negara khususnya hak atas kebebasan beragama.

“Adanya kriminalisasi terhadap beberapa ulama/tokoh agama. munculnya OGGB (orang gila gaya baru) pemburu ulama atau tokoh agama, pelarangan pemakaian atribut yang diyakini sebagai yang bernuansa agama oleh pemakainya di beberapa kampus, dan lain-lain. Itu menunjukkan patut diduga keras ada problem hak atas kebebasan beragama di rezim ini,” imbuhnya.

Keempat, soal hak memperoleh informasi yang benar. Kelima, soal isu lingkungan. Keenam, soal demokrasi.

“Salah satu yang dipandang berpotensi mengancam masa depan demokrasi adalah ketika Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas yang kemudian oleh DPR disahkan menjadi UU Ormas,” ungkap Manager.

Ketujuh, soal sekolah ramah HAM. Kedelapan, soal demokrasi kampus.

Maneger mendesak Presiden memerintahkan Kementerian Agama untuk mengkaji ulang Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah.

“Sebab jika pemilihan rektor dilakukan oleh Menteri Agama maka akan mematikan budaya demokrasi di kampus,” katanya.

Kesembilan, soal masa depan pemberantasan korupsi. Kesepuluh, soal persekusi dan terakhir soal perlindungan warga negara.

“Selama 2018 ada beberapa peristiwa di mana negara tidak hadir menunaikan mandatnya melindungi warga negara di dalam maupun di luar negeri,” ujar Maneger yang juga merupakan direktur Pusdikham Universitas Hamka.

Reporter: Ali Hasibuan
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment