Suaramuslim.net – Heboh! Para warganet ramai memperbincangkan polemik tagihan listrik yang melejit. Banyak warganet yang menduga bahwa tagihan listrik naik diam-diam atau akibat dari subsidi silang yang diberikan pada pengguna daya 450 VA dan sebagian 900 VA (melansir dari finance.detik.com, 7/6/2020).
Sementara itu di lain pihak PT. PLN (persero) menampik anggapan tersebut. Melalui Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril mengatakan, “Pada intinya bahwa PLN itu tidak melakukan kenaikan tarif karena tarif itu adalah domain pemerintah. Kan sudah ada UU yang diterbitkan pemerintah melalui Kementerian ESDM. Jadi PLN tidak akan berani karena itu melanggar UU dan melanggar peraturan dan bisa dipidana bila menaikkan tarif,” dalam konferensi pers bertajuk ‘Tagihan Rekening Listrik Pascabayar’, Sabtu (6/6/2020).
Bob juga menegaskan bahwa kenaikan tagihan listrik pelanggan terjadi karena adanya kenaikan pemakaian dari pelanggan itu sendiri.
Menurut Bob, selama pandemi Covid-19, masyarakat diharuskan untuk melakukan kegiatan dari rumah baik untuk kegiatan bekerja hingga sekolah. Tidak hanya orang tua tapi anak dan anggota keluarga lainnya harus di rumah. Maka otomatis penggunaan listrik akan bertambah sehingga ada kenaikan.
Memang sungguh malang nian nasib rakyat, cobaan datang silih berganti seolah tiada henti, sudahlah wabah corona belum terlihat ujung akhirnya, harus tertatih berjuang mengais puing rupiah demi sekadar memenuhi rasa dahaga dan lapar, sedang PHK di mana-mana lapangan kerja susah seolah ikut menjadi zona merah, kini harus ditambah lagi dengan beban tagihan listrik yang melejit membuat rakyat terasa tercekik.
Belum lagi dengan kebutuhan dan tagihan lainnya, lengkap sudah penderitaan rakyat. Tidak adakah sedikit empati yang diberikan terhadap kesulitan yang dihadapi rakyat?
Adanya PSBB yang membuat harus belajar dan bekerja di rumah secara online bukanlah kemauan rakyat sehingga tagihan listrik menjadi membengkak. Mereka sudah kesulitan dalam bertahan hidup di masa PSBB, rakyat bergelut dalam dilema antara “bertahan di rumah dengan menahan lapar atau berjuang mencari nafkah keluar rumah dengan risiko terpapar corona.” Lantas tidak kah pemerintah tergerak untuk memangkas sedikit beban rakyat?
Nampak sekali bahwa penguasa abai pada kesulitan yang dirasakan rakyat, di manakah tanggung jawab pemerintah dalam mengusahakan kesejahteraan untuk rakyat? Apakah sudah menjadi lambang semata tanpa ada pengamalan?
Seharusnya pemerintah peka dengan penderitaan rakyat, mengusahakan terpenuhinya kebutuhan pokok bagi rakyat dan menyesuaikan tarif listrik dengan mempertimbangkan kondisi krisis yang dihadapi rakyat semasa wabah masih melanda.
Bukan kah Indonesia negeri yang kaya raya? Sumber daya alamnya ruah melimpah dari dalam tanah, gunung, bahkan lautan. Sumber energi minyak bumi, gas dan batu bara banyak tidak terkira, bahkan diekspor ke manca negara. Lantas bagaimana bisa rakyatnya menanggung beban mahalnya energi listrik yang mereka terima? Siapa yang salah?!
Lagi-lagi akibat sistem kapitalisme yang diemban negeri ini. Kapitalisme melahirkan sekulerisme dan liberalisme yang menghancurkan tatanan kemandirian ekonomi dan ketahanan energi negeri ini. Sudah bukan menjadi rahasia yang harus ditutupi lagi. Bahwa saat ini di tubuh PLN masih terus mengalami permasalahan, baik terkait perawatan alat-alat PLN dan UU listrik yang menjadi penyebab terjadinya liberalisasi energi.
Banyak peralatan PLN yang sudah tua dan harus diganti, namun terkendala oleh biaya, peralatan teknologi tersebut masih harus impor dan mahal, sementara anggaran APBN pas-pasan. Sehingga tidak ada jalan lain kecuali menaikkan tarif listrik.
Sementara itu UU Listrik juga membuka peluang yang luas baik kepada pihak asing ataupun swasta untuk bersaing dengan PLN sebagai penyedia listrik. Maka listrik pun dikomersilkan dan subsidi perlahan dipangkas secara perlahan. Akhirnya rakyat yang menjadi korban.
Padahal listrik merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat. Liberalisme ekonomi menjadikan sumber energi dikomersilkan, termasuk listrik. Sedangkan mengkomersilkan listrik sudah pasti merugikan rakyat, maka seharusnya listrik menjadi kepemilikan umum yang dikelola negara, bukan diberikan pada pihak asing maupun swasta. Negara berlaku sebagai pemberi layanan yang mengayomi rakyat dan bukan pedagang yang mengambil untung dari rakyat.
Sebagaimana konsep pengaturan dalam Islam. Dengan aturannya yang sempurna, Islam menetapkan bahwa listrik adalah kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki oleh individu ataupun kelompok tertentu. Maka pengelolaanya diserahkan kepada negara kemudian hasilnya dikembalikan kepada rakyat, negara hanya diberikan kompensasi untuk biaya produksi dan pengelolaannya tidak boleh mengambil lebih atau untung.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (Abu Dawud dan Ahmad).
Api yang dimaksud adalah sumber energi sebagaimana gas, minyak bumi, batu bara dan termasuk listrik di dalamnya. Maka haram hukumnya memiliki baik secara individu maupun kolektif, apalagi mengkomersilkannya sangat tidak diperbolehkan. Dalam sistem aturan Islam pemimpin ataupun Khalifah akan senantiasa memastikan pemenuhan kebutuhan akan energi atau listrik berjalan dengan lancar.
Kenaikan tagihan listrik secara semena-mena tidak akan dibiarkan, khalifah akan berusaha menemukan cara pemenuhan kebutuhan energi dan kebutuhan pokok rakyat lainnya dengan harga yang mudah dijangkau oleh seluruh rakyat. Tentunya dengan didukung sistem ekonomi dan politik yang berlandaskan pada syariat Islam.
Selama sistem kapitalisme diterapkan di negeri ini, maka sumber daya alam yang melimpah ruah tidak akan dapat dirasakan rakyat. Ketahanan energi yang menghasilkan penerangan tidak akan memberikan ketenangan, malah membuat rakyat tercengang mengelus dada. Sudah saatnya beralih pada sistem Islam yang mengeluarkan dari kegelapan dan memberikan cahaya terang benderang dan hati tenang nan riang.
Wallahu a’lam bis shawwab