Masjid Milenial

Masjid Milenial

Puluhan Ribu Orang Hadiri Muslim United di Yogyakarta
Kondisi malam pertama Muslim United (16/10) di komplek Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta.(Foto: Instagram Muslim United official)

Suaramuslim.net“Mas, gak boleh nyolok di sini, nyolok HP di sono noh, colokannya deket toilet. Ini mah mesjid!”

Seorang petugas DKM menegur sahabat saya yang sedang me-recharge gadget. Dia menggunakan stop-kontak yang ada di dinding masjid. Dilarang oleh petugas masjid. Stop kontak itu hanya untuk vacuum cleaner. Adapun jika ingin me-recharge, harus ke belakang. Dekat toilet.

HP sahabat saya sedang low-batt berat, seketika kemudian akhirnya dia harus ridha me-recharge HP di depan pintu toilet. Sambil jongkok. Tidak duduk. Khawatir najis.

Itulah sekelumit pengalaman kami di sebuah masjid cukup besar. Saat itu memang kami sedang menunggu agenda janjian jam 20.30. Jadi kami cari ke masjid terdekat. Menunggu.

Kejadiannya tidak sampai di situ. Sahabat saya sudah keluar masjid. Menunggu di depan toilet. Saya masih duduk berwirid. Akhirnya memang saya sendirian. Petugas pun datang:

“Mas, lampunya saya matiin ya, semua pintu saya tutup, kalo mau keluar, di pintu yang depan noh, gak saya kunci.”

Sesaat kemudian semua lampu dimatikan. Kecuali lampu tempat imam. Lumayan ada cahaya. Tapi semua kipas angin mati. Semua pintu ditutup. Kebayang panasnya. Ini Jabodetabek. Saya mencoba bersyukur dan menikmati.

Alhamdulillah. Sudah pukul 20.20. Kami putuskan keluar masjid. Untung gerbang utama tidak dikunci. He he he.

Di perjalanan saya berpikir, bahkan hingga tulisan ini saya buat. Saya terus berpikir: “Dimana letak kerugian masjid jika sebuah gadget di-charge ke listrik masjid?”

Apakah khawatir pada beban KWh listrik? Padahal kas ratusan juta rupiah. Toh ini bagian dari pelayanan jemaah.

Apakah khawatir jika jemaah membuka situs-situs tidak baik di dalam masjid? Apa iya ada kaum muslimin yang tega melakukannya di ruang terbuka utama masjid?

Apakah tidak boleh mengurus urusan dunia di dalam masjid? Misalnya menghubungi karyawan untuk merespon seseorang. Rasanya boleh-boleh saja dilakukan di dalam masjid. Yang tidak boleh adalah berjualannya. Transaksi di dalam masjid. Masjid jadi pasar. Tempat orang tawar menawar.

Apa tidak boleh masjid digunakan untuk jemaah yang sedang ingin duduk sejenak? Lalu me-recharge gagdet. Apa tidak boleh?

Pikiran saya terus menerus berputar kencang.

Ditambah lagi beberapa waktu lalu, seorang aktivis masjid curhat, ketika membangun program makan-makan setelah shalat Subuh. Ada pengurus yang protes,

“Masjid itu untuk shalat, bukan untuk makan-makan, duduk-duduk ngopi, gak usah aneh-aneh. Masjid ya masjid.”

Padahal sudah terbukti di berbagai masjid. Wahana makan-makan setelah shalat Subuh berjemaah mendekatkan perasaan. Membangun silaturahim. Memperbanyak kebaikan.

Ya Rabb, berat sangat dakwah di masjid hari ini.

Inilah sambungan tulisan saya kemarin. Akhirnya kita harus menyadari bahwa banyak masjid yang gagal membaca kebutuhan jemaahnya.

Jemaah kaum muslimin didominasi oleh angkatan produktif. Hidup dengan gadget. Terkoneksi dengan internet. Itulah pasarnya. Maka bacalah kebutuhannya. Sediakan kebutuhannya. Insyaallah mereka akan ke masjid.

Mari kita bayangkan dan pikirkan. Bagaimana jika setiap masjid menyediakan “Gadget Corner” untuk me-recharge dan wifi gratis. Apa yang sekiranya terjadi?

– Anak muda berkumpul.

– Orang-orang yang membutuhkan kerja di laptop jadi nongkrong di pelataran masjid.

– Masjid bisa membuat warung kopi gratis di pekarangan. Tinggal letakkan kotak infak.

– Masjid jadi ramai, syiar terasa, masjid menjadi hidup.

– Jika low-batt, tidak ada kuota, orang akan lari ke masjid. Masjid menjadi solusi.

Pertanyaannya, jika azan berkumandang, apakah berani mereka tidak shalat? Apakah tidak malu mereka, jika shalat berjemaah dimulai tapi mereka masih main gadget?

Kan rasanya tidak begitu yah, insyaallah para penikmat colokan dan wifi pasti akan wudhu, shalat dan itu kebaikan yang luar biasa. Bisa jadi yang tidak pernah shalat, jadi shalat.

Dan lagipula, jika nongkrongnya di pelataran masjid, ketika ada kajian, telinganya jadi mendengar kajian, jiwanya jadi mendengar Al Quran, lama-lama insyaallah salih juga. Otomatis.

Pilih mana? Anak-anak muda kita nongkrong di depan mulut-mulut gang, atau di pelataran masjid? Seribut-ributnya mereka berbincang di pelataran masjid, insyaallah tidak akan sambil mabuk miras atau judi. Tidak akan bagi-bagi suntikan narkoba di pelataran masjid. Anak-anak muda kita akan terkontrol ketika mereka ada di masjid. Ada ustadznya, ada yang ngarahin. Terperhatikan.

Bagaimana mau mendakwahkan Islam ke anak muda, bagaimana mau mensyiarkan nilai kecintaan masjid ke anak muda, ke masjid saja mereka enggan.

Nah, sekarang bagaimana caranya agar anak-anak muda tersebut ke masjid? Bagaimana agar generasi produktif yang mayoritas mengisi populasi masyarakat, berkenan ke masjid? Bagaimana agar generasi milenial mau ke masjid?

Wah, rasanya berat ya, nyolok HP aja gak bisa. Jauh banget dari semangat milenial, kolonial sih iya.

Penulis: Rendy Saputra*

*Ketua Jejaring Masjid Titik Cahaya
**Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment