Suaramuslim.net – Al Quran sejak pertama kali turun di Makkah sudah menuai decak kagum. Kekaguman yang bukan hanya dirasakan oleh orang-orang mukmin, tapi juga penyair kafir dan musyrik Quraisy sekalipun. Cukup dengan mendengarnya saja, pengaruhnya bisa membuat jiwa terpesona.
Sosok sekaliber Walid bin Mughirah (Ayah Khalid), yang di Makkah dikenal dengan kepiawaiannya dalam bidang syair tak kuasa mengingkari keindahan Al Quran. Meski dirinya kafir, pengakuannya atas keindahan Al Quran adalah kejujuran, meski kemudian berusaha ditutup-tutupi.
Dalam kitab Al-Mustadrak (II/550), Hakim rahimahullah mencatat riwayat kisah ini dengan begitu indah. Alkisah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam didatangi Walid bin Mughirah. Waktu itu, yang dilakukan beliau adalah membacakan Al Quran kepada sastrawan kawakan itu. Luar biasa. Cukup dengan mendengar, hatinya hanyut dan bergetar.
Kabar ini kemudian sampai kepada Abu Jahal. Ia kemudian menyampaikan amanah dari orang-orang Quraisy untuk memberikan harta kepada Walid bin Mughirah. Besar kemungkinan langkah ini ditempuh karena kekhawatiran mereka bila penyair kawakan ini terpengaruh dengan dakwah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam.
Tawaran itu ditolak dengan halus oleh Walid karena dia adalah orang kaya. Dialog pun berlangsung hangat. Abu Jahal seolah meminta statement khusus yang menunjukkan bahwa Walid mengingkari dan membenci Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam.
Permintaan Abu Jahal malah dijawab demikian, “Aku harus mengatakan apa. Tak seorang pun diantaramu ada yang mengetahui syair, rajaz atau qasidah melebihi pengetahuanku. Demikian juga pengetahuan tentang syair dari jin”. Sebuah penekanan yang menunjukkan kapasitasnya sebagai penyair kawakan yang tak perlu diragukan kualitasnya.
Ia melanjutkan dengan penuh kejujuran mengenai keagungan Al Quran. “Demi Allah,” ia mulai bersumpah, “semua itu tidak menyerupai apa yang dia bacakan.”. Jadi, yang dibacakan Muhammad (Al Quran), sama sekali berbeda dengan syair-syair yang biasa disenandungkan di daerah mereka.
Dengan obyektifitasnya sebagai penyair andal, Walid pun tak lupa memuji keindahan Al Quran. “Demi Allah sungguh pada apa yang dia (Muhammad) bacakan terdapat yang sangat manis dan menarik. Ia bagaikan (pohon) yang diatasnya penuh dengan buah-buahan dan akarnya tertancap kedalam. Ia sangat tinggi tidak dapat dijangkau (tak ada yang meninggiinya).”
Dari diksi yang digunakan oleh Walid, pembaca sedikit-banyak bisa merasakan betapa dilematisnya suasana jiwa Walid kala itu. Di satu sisi, sebagai penyair profesional, keindahan Al Quran yang dirasakannya tak terbantahkan. Namun, di sisi lain dirinya mengingkari risalah yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam.
Dalam Rasā`il al-Nūrsiyyah (XII/102) -yang memuat kumpulan risalah ulama dan pejuang Turki Sa’id Nursi- disebutkan bahwa pada waktu itu ayat yang dibaca adalah An-Nahl (16) ayat 90. Lalu, selepas mendengarnya, Walid berkomentar sama seperti di atas. Hanya saja, ada tambahan, “Ini bukan perkataan manusia.”
Melihat gelagat Walid yang cenderung memuji Al Quran, Abu Jahal segera menyampaikan semacam ultimatum. Bahwa sikapnya akan menuai kebencian rakyatnya, sampai dirinya berani mencaci Al Quran dan Nabi. Tampaknya Walid khawatir dengan peringatan Abu Jahal. Lalu, dirinya meminta diberi waktu untuk berpikir. Sampai pada akhirnya ia berkata, “Ini adalah sihir yang sangat berpengaruh.”. Bersamaan dengan itu, maka turunlah ayat yang artinya demikian, “Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian.” (QS. Al-Muddatsir [74]: 11).
Dalam sejarah memang banyak kasus seperti yang dialami Walid bin Mughirah. Secara keahlian sebenarnya dia mengakui kebenaran Al Quran. Namun karena fanatisme dan kepentingan sesaat, akhirnya kebenaran termanipulasi. Menariknya, yang menjadi catatan penting di sini, masyaallah, keindahan Al Quran tak bisa diingkari oleh Walid yang kafir dan muysrik. Ia pun merasakan secara langsung betapa manisnya Al Quran yang dilantunkan nabi, meski kemudian dipungkiri.
Pertanyaannya kemudian, bagi penulis dan pembaca, sebagai muslim, sudahkah merasakan manisnya Al Quran sebagaimana yang dirasakan oleh Walid yang kafir itu? Seyogianya, bila orang kafir saja bisa merasakan itu, maka orang beriman seharusnya jauh lebih bisa. Jika tidak bisa –berdasarkan surah Muhammad (47) ayat 24- bisa jadi hati kita tergembok atau terkunci.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono