Mediteriania Pintu Gerbang Ekspansi Muslim dari Asia ke Eropa

Mediteriania Pintu Gerbang Ekspansi Muslim dari Asia ke Eropa

Mediteriania Pintu Gerbang Ekspansi Muslim dari Asia ke Eropa
Judul Buku: Sea of The Caliphs
Penulis: Christophe Picard
Penerbit: The Belknap Press of Harvard University Press, USA
Tebal: xii + 395 halaman
Cetakan: Pertama, 2018

Suaramuslim.net – Kawasan Mediterania merupakan penghubung Asia dan Eropa. Selalu menarik dalam berbagai aspek. Terutama aspek sejarah kawasan tersebut. Begitu menariknya, sejarawan besar Prancis Fernand Braudel pun merasa perlu menulis sejarah kawasan ini terkait lalu-lintas perdagangan.

Dinamika perdagangan serta bisnis di Asia tak bisa lepas dari denyut perekonomian Eropa. Begitupula sebaliknya, dua benua saling mempengaruhi. Bagi Braudel, Islam memang membentuk peradaban Mediterania. Ironinya, Braudel juga beranggapan peran Islam dalam abad pertengahan pada aspek maritim serta perkembangan ekonomi, sangatlah kecil. Braudel memang menaruh perhatian pada aktivitas perekonomian pedagang-pedagang berbahasa Latin, tapi Braudel abai pada kehadiran para pedagang muslim.

Merosotnya pengaruh imperium Romawi di kawasan Mediterania pada abad ke-8, pelan-pelan tergantikan kekuatan Pax Islamica. Bentang kekuatan dari satu bibir pantai ke bibir pantai lainnya, dalam kawasan Mediterania. Imperium Umayyah di Andalusia berjaya dan kekaisaran Fatimiyyah di Mesir perkasa. Mediterania menjadi wilayah beraroma muslim. Kegiatan perdagangan meningkat, seiring aktivitas berperadaban sekeliling wilayah tersebut.

Sayangnya, baik Braudel maupun muridnya, Maurice Lombard, tak menyelami Mediterania sebagai pintu gerbang ekspansi muslim dari Asia ke Eropa serta Afrika. Bukan sekadar memperkenalkan ajaran Islam, melainkan ekspansi itu juga membangun dominasi politik serta perdagangan.

Kesalahan terbesar pengabaian kaum sejarawan itu karena mereka terpaku pada ujaran Khalifah Umar Ibn Khattab. Sang Khalifah suatu ketika secara retoris menepis kemungkinan dirinya mengijinkan pasukannya menyeberangi lautan. Kenyataannya, pada periode pasca sang khalifah, justru ketangguhan pelaut-pelaut muslim berhasil menguasai jalur perdagangan di laut Mediterania. Kesalahan interpretatif itu hendak diluruskan oleh penulis buku ini, Christophe Picard, guru besar ilmu sejarah Universitas Paris 1, Pantheon-Sorbonne.

Picard menelusuri langsung ke sumber-sumber asli berbahasa Arab. Ia mencari tahu bagaimana para pelaut muslim berkiprah, kaitannya pada semangat imperium muslim membangun perdagangan, politik dan peradaban Mediterania.

Pelaut serta pedagang muslim tentu saja tak sekadar menjalani rutinitas profesi mereka, tapi mereka juga punya kemampuan tempur sekaligus keterampilan politik. Dua hal ini menjadikan mereka mudah berinteraksi pada komunitas Latin, Yunani dan berbagai bangsa lain di kawasan Mediterania.

Ditulis dengan dua bagian yang memisahkan 12 bab, buku hasil terjemahan dari bahasa Prancis ini kaya akan sumber rujukan, peta serta data pendukung lainnya. Pada bagian pertama, Picard menyodorkan tujuh bab menggambarkan sejak pertama bangsa Arab bertemu dengan kawasan Mediterania sampai menjadikan kawasan itu sebagai benteng pertahanan terakhir kekuatan maritim kaum muslim.

Jejak tertulis kawasan Mediterania dalam kitab-kitab berbahasa Arab baru tampak pada abad ke-10. Sedangkan beberapa abad sesudah hijrah Rasulullah Muhammad SAW dari Mekkah ke Medinah, tak ada sumber yang menyebut kawasan Mediterania. Pada beberapa abad berikutnya, barulah dua sejarawan muslim, yakni Ibnu Habib dari Andalusia dan Ibn Abdul Hakam asal Mesir, menyebut penyeberangan ke Andalusia. Melintasi laut namun tak menyebut laut Mediterania, hanya menyitir nama selat Jabal Tariq (Jibraltar).

Begitupula, ketika sejarawan imperium Abbasiyah, Sayf ibn Umar, menulis seputar kawasan penaklukan, ia tak jua menyebut nama Mediterania. Yang disebutnya hanyalah suasana tepi pantai, kebiasaan warga pesisir, dan kegiatan maritim dinasti Umayyah. Namun, observasi kawasan ini pun masih berguna untuk merekonstruksi pengaruh imperium Abbasiyah terhadap kawasan yang jauh dari Baghdad. Sekaligus, menunjukkan hubungan kekhalifahan Abbasiyah pada rutinitas Mediterania.

Pada bagian kedua, Picard mengulas strategi para khalifah mempertahankan wilayah Mediterania. Setelah melalui serangkaian penaklukan, Mediterania berada di bawah kekuasaan muslim. Jalur perdagangan tetap berlangsung, namun tak lagi menggunakan aturan-aturan produk Romawi. Melainkan, aturan baru diterbitkan para khalifah dan pihak berwenang yang ditunjuk.

Sumber-sumber berbahasa Latin mencatat, para penguasa muslim jauh lebih longgar memberi ruang kepada para pedagang. Dampaknya, tak terjadi gejolak sosial-politik yang berarti selama otoritas muslim berkuasa atas wilayah Mediterania. Sementara itu, catatan dari sumber-sumber muslim menyebutkan penaklukan Laut Mediterania menjadi prioritas, usai pasukan muslim mengambil-alih Gaza pada 634 Masehi.

Mu’awiyah, gubernur baru kawasan dekat Mediterania berkeputusan menggunakan sisa-sisa sumber daya angkatan laut Bizantium yang tertinggal di Mesir serta Suriah, guna menyerang Yunani. Selama kurun 643 sampai 655, baik sejarawan muslim maupun Kristen menandai tiga peristiwa penting yang menunjukkan kaitan pasukan Arab muslim di laut. Pertama, serangan balik armada Bizantium ke pantai-pantai Mesir dan Suriah. Kedua, pertempuran laut dekat pantai Lycia kawasan Mediterania. Pasukan muslim dipimpin Abu al Awwar, sedangkan pihak Bizantium dibawah komando langsung kaisar Konstantin II. Ketiga, pendaratan pasukan muslim di Arwad dan pulau Siprus.

Dampak kemenangan di Lycia pada 655 sangatlah besar. Armada muslim menjadi lebih dekat ke Anatolia. Serangan berikutnya tertuju pada Cappadocia, sebelum akhirnya menaklukkan Konstantinopel. Pertahanan pasukan Yunani di Anatolia terus mengalami perlemahan akibat pertempuran tiada henti lawan pasukan Sassania dan pertikaian internal. Merujuk pada kitab catatan al Waqidi, armada laut pasukan muslim menyasar Siprus pada 648. Ekspedisi ini dipimpin langsung Mu’awiyah.

Pulau Siprus merupakan kunci jalur laut antara Suriah, Anatolia dan Laut Aegea. Begitu mendarat, pasukan muslim membuat perjanjian damai dengan warga Siprus. Perjanjian ini telah mengubah Siprus menjadi zona damai. Namun, belakangan sejumlah warga Siprus ternyata justru mengundang Bizantium. Pasukan muslim menganggap hal itu pelanggaran atas perjanjian damai. Kali ini, pasukan muslim memutuskan untuk menaklukkan Siprus seluruhnya. Sebanyak 500 kapal perang disiapkan Mu’awiyah.

Sukses menaklukkan Siprus membuat Mu’awiya menyiapkan pasukannya untuk menyisir kawasan sekitar. Sembari menyiapkan logistik pasukan untuk menyerang langsung ke jantung Bizantium, Konstantinopel. Dua kali kota ini diserang pasukan muslim. Serangan pertama dilancarkan dari tahun 674 sampai 677. Serangan kedua dilakukan dari 717 sampai 718.

Kedua serangan itu tak menggoyahkan Konstantinopel, tapi berbagai rute laut di kawasan Mediterania telah jatuh ke tangan pasukan muslim. Dominasi Bizantium kian surut, sebaliknya pengaruh imperium Umayyah dan Abbasiyah kian mencorong. Untuk mengamankan berbagai jalur laut ini, dinasti Abbasiyah mengembangkan diplomasi jitu. Razia darat serta laut dikombinasikan melalui jadwal rutin yang ketat, yang tentu saja membuat lawan-lawan politik kerajaan Abbasiyah gentar. Untuk mendukung langkah ini, para elit Abbasiyah terus mengembangkan peralatan tempur serta strategi-taktik.

Para ilmuwan imperium Abbasiyah tekun mencatat berbagai perkembangan di lapangan, sambil mereka juga memberi masukan pada sultan. Keterampilan serta penguasaan laut pun kian meningkat, sehingga ekspedisi masuk ke daratan Eropa pun tidaklah sulit. Menguasai laut Mediterania ternyata benar-benar menjadi pintu masuk ke wilayah benua biru, Eropa. Hal ini tak beda jauh pada masa kini, ketika masing-masing negara di sekeliling Laut Mediterania masih saling umbar pengaruh. Tak ada lagi perang laut, tapi yang ada saling pengaruh satu sama lain. Sejarah mencatat, lewat Laut Mediterania inilah pasukan muslim masuk ke Eropa, dan sempat bertahan selama beberapa abad, jauh sebelum kolonialisme dikembangkan negara-negara Eropa.

Penulis: Rosdiansyah*
Editor: Oki Aryono

*Peresensi alumni FH Unair, master studi pembangunan ISS, Den Haag, Belanda. Peraih berbagai beasiswa internasional. Kini, periset pada the Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi/JPIP, Surabaya
*Resensi pernah dimuat di blog penulis surabayabookreview.wordpress.com pada 28 April 2018

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment