Melampaui Dualisme Semu Pasca Reformasi

Melampaui Dualisme Semu Pasca Reformasi

Suaramuslim.net – Menjelang Reformasi, antropolog Universitas Boston, Bob Hefner (Robert William Hefner), menerbitkan buku Civil Islam. Buku itu hasil penelitiannya atas –sekaligus keterlibatan intensifnya dengan– beberapa aktor dan lembaga Islam yang turut menjadi penentu arah politik Indonesia, sampai Reformasi terjadi.

Dampak buku tersebut cukup besar. Setelah Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden “daripada” Indonesia, terjadi suatu dualisme di dalam kesadaran politis masyarakat muslim, yakni apa yang disebut Islam Politik di satu sisi dan Islam Sipil di sisi yang lain. Dualisme ini bersifat baru, sebab meski sudah ada pemisahan Islam Legal-formal dan Islam Substantif untuk menandai perpisahan gagasan antara eksponen Masyumi dengan “Gerbong Nurcholish” (dalam bahasa Tempo), tetapi ilmuwan sosial seperti Bachtiar Effendy di dalam disertasinya masih menyebut keduanya sebagai Islam Politik.

Apa dampak dari dualisme baru ini? Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dualisme adalah penduaan mutlak peri hakikat. Status epistemologis dari dualisme ini, termasuk pemisahan Islam Sipil dan Islam Politik, hanya ada di dalam salah satu indra internal manusia, yakni daya estimasi (al-wahmiyyah). Ia adalah sebuah waham. Penduaan mutlak ini, kalau tak diatasi, selalu menghasilkan dikotomi keliru. Orang seakan harus memilih dengan tegas salah satu di antara dua posisi, atau Islam Sipil atau Islam Politik. Jika berada di pihak Islam Sipil, ia selalu memandang setiap usaha memperjuangkan ideal politik Islam sebagai sesuatu yang mempolitisasi Islam. Sebaliknya, mereka yang berada di pihak Islam Politik seperti tak pernah memperlihatkan kepedulian pada isu sipil karena eksklusivisme mereka.

Padahal, jika semua ditempatkan pada tempatnya yang wajar, komitmen terhadap nilai-nilai sipil dan perjuangan menjaganya melalui cara-cara politik Islam adalah hal yang bisa dilakukan. Ada prasyarat terlebih dahulu yang harus dipenuhi di sini, yakni pemahaman tepat tentang hirarki Islam, kemodernan, dan keindonesiaan. Islam sebagai pandangan hidup menjadi penentu kebenaran dan hakikat hal-ihwal yang dibawa modernitas, dari mulai sistem politik sampai ilmu pengetahuan, yang kemudian menyediakan pedoman bagi pengembangan kebudayaan, wawasan kebangsaan, dan etika kewargaan. Hirarki manusia-masyarakat-warganegara juga penting untuk dipahami, karena kebaikan manusia akan berdampak pada perannya sebagai masyarakat dan warganegara, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Islam punya ajaran yang jelas tentang itu.

Dari hirarki ini, kita bisa memilih mana yang mesti diutamakan terlebih dahulu dari yang lain. Beberapa kelompok yang diidentifikasi sebagai Islam Politik sering dicurigai tak punya komitmen kebangsaan, karena narasi di dalam kelompoknya melulu berupa isu-isu Timur Tengah atau Khilafah. Kelompok lain, yang diidentifikasi sebagai Islam Sipil, juga kena curiga juga, karena upaya mereka menemukan kesesuaian ajaran Islam dengan gagasan “civility” modern berujung pada liberalisasi ajaran Islam. Dengan mengembalikan setiap usaha pemikiran ke hirarki di atas, kita bisa perlahan-lahan melampaui dualisme tersebut, membangun dialog yang sehat antar sesama unsur Islam, dan menghapus kecurigaan-kecurigaan yang terlanjur ada.

Persoalannya, apakah kita cukup dewasa dan berani berkerut dahi untuk melakukan hal itu? Jawabannya, semoga, ya.

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment