Suaramuslim.net – Suatu saat, Hatim Ath-Tha`iy Rahimahullah ditanya oleh seorang lelaki, “Wahai Hatim! Apakah ada orang yang bisa mengalahkanmu dalam bidang kedermawanan?”
“Ya,” jawab Hatim, “yaitu anak yatim dari suku Thayyi`. Anak itu memiliki 10 kambing. Suatu ketika aku mampir ke rumahnya, kemudian tanpa berpikir panjang, anak itu langsung menyembelih qurbannya dan menyajikannya dengan sajian terbaik.”
Waktu itu, di antara yang disajikan kepada Hatim adalah otak kambing. Rupanya, Hatim sangat menikmatinya. “Wah enak sekali,” katanya.
Melihat Hatim suka otak kambing, tanpa sepengetahuan Hatim, anak yatim itu menyembelih seluruh kambingnya agar otaknya disajikan kepada Hatim.
Saat hendak pamit pulang, Hatim kaget, di belakang rumah anak yatim itu ada genangan darah. Ketika ditanya, rupanya itu adalah darah 10 kambingnya, yang disembelih untuk menghormati tamu.
Merasa heran, Hatim pun bertanya, “Kenapa kamu melakukan itu Nak?” “Subhanallah,” jawabnya, “Anda menikmati apa yang aku miliki, kalau saya bakhil, maka itu aib bagi orang Arab.”
Orang yang bertanya kepada Hatim, ketika mendengar kisah itu langsung bertanya, “Sebagai ganti atas yang dia berikan kepadamu, apa yang kau berikan kepadanya?” Jawab Hatim, “Aku beri dia 300 unta merah, 500 kepala kambing.”
“Jadi kamu lebih dermawan kalau begitu daripada anak itu,” timpal si penanya kepada Hatim. “Tidak. Anak yatim itu yang lebih dermawan daripadaku. Karena dia telah memberikan semua yang dimilikinya, sementara aku hanya memberikan sedikit dari semua yang aku miliki.” (Ibnu Maqshad Al-‘Abdaly, Naadirah Ma’aalim al-‘Ilm, 233)
Kisah tersebut, meski tidak terkait langsung dengan qurban pada hari raya Idul Adha, tapi spirit yang melatari anak yatim pada cerita itu bertemu dengan esensi ibadah qurban. Kalau ibadah qurban dilihat dari sudut pandang kedermawanan dan ketakwaan, maka orang yang berqurban sudah seyogianya mempersembahkan qurban terbaiknya.
Kisah Nabi Ibrahim, sebagai inspirasi ibadah qurban, adalah gambaran nyata bagaimana seorang hamba yang memberikan sesuatu yang terbaik kepada Allah Ta’ala. Sebaik-baik orang tua misalnya, siapa yang berani mengorbankan anaknya sebagaimana Ibrahim? Apa yang dilakukan Ibrahim, selain sebagai pengabdian berkelas tinggi, juga sebagai gambaran kedermawanan yang luar biasa.
Kalau pembaca menelaah kisah-kisah Ibrahim dalam al-Qur`an, memang sifat dermawan seakan sudah melekat pada kebribadiannya. Bayangkan, ketika ada tamu malaikat yang diutus Allah kepada Ibrahim dengan wujud manusia untuk menyampaikan pesan, yang dilakukan Ibrahim adalah segera menyembelih kambingnya dan memasaknya dengan sebaik-baiknya (QS. Hud [11]: 69).
Kisah lain yang berkaitan dengan qurban dalam al-Qur`an adalah persembahan qurban Qabil dan Habil (QS. Al-Ma`idah [5]: 27). Kedua-duanya sama-sama berqurban, namun yang diterima milik Habil karena ia mempersembahkan yang terbaik yang dimilikinya. Dalam tafsir Ibnu Katsir –berdasar riwayat Ibnu Abbas– disebutkan bahwa Habil mempersembahkan kambing terbaiknya, sementara Qabil mempersembahkan hasil ladangnya ala kadarnya.
Kisah tentang dua anak Adam tersebut dipungkasi dengan firman Allah:
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Sesuggunya Allah hanya akan menerima (qurban) dari orang-orang yang bertakwa.” Kalau ditarik garis merah antara kisah Ibrahim, kedua anak Adam dan syariat berqurban sendiri adalah bermuara pada kata taqwa.
Dari idiom ini, menuntut adanya pengurbanan terbaik dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sudah barang tentu prinsip kedermawanan, taqarrub, ketundukan, ketaatan sudah masuk dalam kata takwa.