Suaramuslim.net – Saat ini kita sedang mendengar banyak informasi tentang hasil bermacam-macam survei yang dilakukan oleh berbagai surveyor. Antara lain; quick count, exit poll dan real count. Untuk memahami lebih detail kita definisikan masing-masing istilah tersebut sebagai beriku:
1). Quick Count
Survei perhitungan cepat dengan mengambil sampel data secara random atau proporsional dari hasil C1 yang ada di beberapa TPS. Bersifat prediktif dan mempunyai margin of error.
2). Exit Poll
Survei wawancara langsung dengan pemilih di waktu hari pemungutan suara dengan wawancara kepada pemilih yang sudah nyoblos. Bersifat prediktif dan margin of error lebih kecil dibanding quick count.
3). Real Count
Perhitungan suara dilakukan berdasarkan semua sampel C1 TPS yang sudah masuk (sensus). Bersifat non prediktif dan margin of error lebih kecil dibanding dua metode sebelumnya. Atau tingkat kepercayaannya jauh lebih besar.
Analisis
Quick Count sudah umum dipakai untuk survei hasil pemilu. Data yang terkumpul validitasnya rendah. Kejujuran surveyor sangat penting. Sampel yang diambil harus benar-benar proporsional dari beberapa TPS (ini sangat sulit). Biasanya surveyor akan mengambil TPS yang mayoritas partai (pemilih) sesuai kehendak pemesan. Apalagi jika survei dilakukan oleh pihak pemesan tertentu yang berniat memenangkan hasil pilpres.
Bias hasil survei menjadi sangat besar jika, surveyornya sudah dibayar dan hasilnya diatur pemesan. Artinya akan ada kebohongan hasil (kemunafikan hasil survei) berlipat yaitu; munafik surveyor dan munafis sistemic model survey.
Selama ini Lembaga Surveyor Independen (6 lembaga pelaksana quick count) yang katanya sudah terakreditasi tidak ada yang mengaku siapa yang membayar mereka. Wawancara di TV Komisioner KPU pucat tidak bisa menjawab siapa yang membayar para lembaga tersebut.
Kesimpulan
1). Akurasi hasil quick count sangat tergantung moral (akhlak) surveyor dalam memilih sampel dan metode sampling yang dilaksanakan di lapangan. Jika bekerja hanya demi fulus, maka dia termasuk golongan munafik sistemik yang menipu semua rakyat Indonesia. Jika yang terjadi di Indonesia saat ini demikian, maka kita umat Islam sedang dipaksa mendukung kemunafikan sistemik yang dilakukan oleh penguasa zalim hanya karena rakus kekuasaan.
2). Islam sangat menghargai science, termasuk ilmu statistika yang sudah umum dipakai survei. Akan tetapi umat Islam harus sadar bahwa berilmu saja belum cukup tanpa mempunyai iman yang kuat. Jika Indonesia dipimpin orang-orang berilmu yang tidak beriman maka akan semakin nampak jelas kerusakan, kebohongan dan kezaliman. Untuk apa Anda lulus S2 dan S3 kalau ilmu Anda dikalahkan oleh kemunafikan yang dibangun secara sistemik. Na’udzu billahi min daalik.
Allah berfirman dalam QS An Nisa’ ayat 88:
فَمَا لَـكُمْ فِيْ الْمُنٰفِقِيْنَ فِئَـتَيْنِ وَاللّٰهُ اَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوْا ۗ اَ تُرِيْدُوْنَ اَنْ تَهْدُوْا مَنْ اَضَلَّ اللّٰهُ ۗ وَمَنْ يُّضْلِلِ اللّٰهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ سَبِيْلًا
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah mengembalikan mereka (kepada kekafiran) disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang yang telah dibiarkan sesat oleh Allah? Barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah, kamu tidak akan mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.”*
Penulis: Dr Miftahul Huda
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net