Memaknai Potret Pendidikan di Sekitar Kita

Memaknai Potret Pendidikan di Sekitar Kita

Memaknai Potret Pendidikan di Sekitar Kita
Ilustrasi wajah pendidikan di Indonesia. (Foto: Hipwee.com)

Suaramuslim.net – Sekolah merupakan institusi yang diyakini banyak orang dapat menjamin masa depan kehidupan suatu bangsa atau masyarakat yang memanfaatkannya. Jika dulu sekolah di setiap daerah hanya terdapat satu atau dua, sehingga masyarakat mengeluh karena kesulitan akses saat hendak menyekolahkan putra-putrinya, Kini di setiap daerah, menjamur begitu banyak sekolah dari tingkat TK hingga perguruan tinggi yang tak terhitung jumlahnya.

Dengan beragam janji kualitas demi mencapai kuantitas agar mudah meraih uang yang “pantas”, kini masyarakat dihadapkan dengan kesulitan baru; memilah sekolah yang berkualitas di tengah produksi sekolah yang hanya mengenal laba-rugi. Dari tahun ke tahun, pemerintah terus berupaya merevisi kurikulum (terakhir rencana pemberlakukan kurikulum 2013) demi perbaikan mutu pendidikan, dan menyelenggarakan berbagai pelatihan sertifikasi guru agar lebih profesional.

Namun yang muncul ke permukaan belakangan ini, lagi-lagi pemberitaan yang tidak mengenakkan. Pemalsuan ijazah yang dilakukan oknum guru demi meraih uang sertifikasi, bullying terhadap sesama siswa, pergaulan bebas yang dirayakan para pelajar dan mahasiswa, serta seabreg masalah yang berlatar pendidikan lainnya.

Kesejahteraan yang diterima guru melalui sertifikasi ternyata belum berbanding lurus dengan kualitas praktik mendidik yang dilakukannya di sekolah. Apalagi waktu atau jam belajar sekolah, hanya dalam hitungan jam. Sementara kondisi guru, selain sibuk mempersiapkan materi ajar, ia mesti membuat RPP dan hal-hal yang menyita waktunya. Hal ini yang menyebabkan guru kerap beralasan tidak punya waktu untuk sekadar membaca buku demi memperkaya materi ajar yang akan disampaikannya kepada siswa.

Akibatnya, kualitas pendidikan tidak pernah beranjak menjadi lebih baik. Sehingga berbagai kurikulum yang berkali-kali dibongkar-pasang seolah tidak berdampak apa-apa, ibarat handphone tua yang berganti-ganti cashing. Problem mendasar pendidikan adalah godaan uang dan keengganan tenaga pengajar untuk meningkatkan kualitas keilmuan dan keterampilannya.

Uang sertifikasi serta segenap tunjangan guru tidak pernah benar-benar dimanfaatkan untuk memfasilitasi perbaikan pola pengajaran. Akibatnya guru dan murid dalam proses pembelajaran hanya berkutat mengakrabi buku paket dan lembar kerja siswa (LKS) yang sangat terbatas. Sehingga sikap kritis murid sebagai potensi yang begitu berharga tidak pernah muncul kepermukaan.

Ironis memang, sekolah yang semestinya menjadi tempat persemaian geliat budaya literasi seakan berkebalikan. Kita bisa mengatakan bahwa perbedaan orang yang bersekolah dengan yang tidak sekolah hanya soal seragam, masuk ruang kelas dan melakukan bayaran. Sementara dalam kehidupan keseharian mental dan kepribadian orang yang bersekolah dengan orang yang tidak sekolah hampir tidak bisa dibedakan.

Sehingga beredar penyataan di masyarakat yang mengatakan “Buat apa sekolah, toh pada akhirnya sama-sama berjibaku mencari uang”. Sekolah pun secara terang-terangan memosisikan dirinya sebagai mesin pencetak uang. Tidak sedikit sekolah-sekolah swasta yang memiliki pengelolaan setiap jenjang, kerap dengan culas sengaja menahan atau menyita ijazah yang dikeluarkannya dan memaksa murid agar bersekolah atau meneruskan jenjang pendidikannya di yayasan yang mereka kelola. Praktik-praktik seperti ini jelas-jelas penjajahan atas nama uang. Murid dan wali murid menjadi sapi perah yang diperas habis susunya.

Memang kenyataan sekarang ini kita sulit membedakan perbedaan orang yang bersekolah dengan yang tidak sekolah secara tingkah laku. Jika orang yang tidak punya kesempatan mengenyam dunia pendidikan dengan berbagai latar belakang berbondong-bondong menjadi pekerja yang mengandalkan otot, maka orang yang bersekolah atau terpelajar semestinya mengandalkan kerja otak untuk bekerja.

Fenomena di lapangan yang kita temukan entah di sekolah, di gedung dewan, perkantoran, banyak orang-orang yang bersandang gelar pendidikan bergelar ini itu masih juga mengandalkan otot dalam menyelesaikan masalah yang semestinya diselesaikan dengan kepala dingin, tidak jauh beda dengan orang ndeso di sudut-sudut pelosok desa.*

*Opini yang terkandung dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment