Memaknai Surabaya Sebagai Laboratorium Kebudayaan

Memaknai Surabaya Sebagai Laboratorium Kebudayaan

Memaknai Surabaya Sebagai Laboratorium Kebudayaan
Parade Budaya dan Pawai Bunga Surabaya 2014 (foto: suryahardhiyana.com)

Suaramuslim.net – Beberapa waktu yang lalu ada pernyataan dari Kepala Bappeko Surabaya, Erry Cahyadi berkaitan dengan keinginan menjadikan Surabaya sebagai laboratorium kebudayaan. Bagi saya pernyataan itu merupakan pernyataan yang berani dan tentu akan membutuhkan energi yang cukup besar, tapi saya meyakini hasilnya akan jauh lebih besar manfaatnya bagi Surabaya dan warganya.

Bagi Surabaya merupakan tanah air ibu, karena sejak kecil sampai saat ini, waktu saya banyak dihabiskan untuk beraktifitas di Surabaya. Agak terasa susah kalau saya harus meninggalkan Surabaya terlalu lama. Cukup banyak ajakan untuk tinggal di luar Surabaya dan menjalankan aktifitas, tapi sekali lagi, saya lebih merasa nyaman berada di Surabaya. Ini bukan hanya persoalan keluarga berada di Surabaya, tetapi lebih pada Surabaya yang semakin menggeliat dan beranjak menjadi sebuah kota megapolitan. Nah tentu sebagai warga, saya berharap bisa menjadi bagian mengarungi kehidupan dengan perilaku berbudaya di sebuah kota yang merangkak menjadi kota megapolitan.

Kota megapolitan merupakan sebuah gambaran keadaan kota yang tumbuh menjadi kota yang serba modern dan deras arus peradaban. Tentu Surabaya menjadi pusaran kolaborasi pertemuan antar berbagai orang serta budaya dan suku bangsa. Sebagai kota yang megapolit dan merangkak menjadi kota modern, tentu budaya modern akan sangat kental memberi warna kebudayaan Surabaya. Hal ini akan menyebabkan karakter budaya Surabaya bisa jadi akan tergerus.

Kolaborasi budaya lokal, budaya Surabaya dengan budaya kosmopolit, akan melahirkan sebuah perilaku, fisiknya adalah warga Surabaya, tapi bisa jadi perilakunya, cara berpikirnya bukan lagi model Surabaya. Nah situasi yang seperti, sejatinya sangat mengkhawatirkan. Surabaya akan kehilangan karakter Surabayanya, sebagaimana Bali yang sudah kehilangan Balinya. Bali hanya ada di desa dan di kampung-kampung. Kalau sudah memasuki wilayah wilayah infrastruktur baru, Bali sudah terpinggirkan.

Tentu Surabaya tak ingin kehilangan Surabayanya. Tak boleh Surabaya hanya berada di kampung kampung, tapi Surabaya harus berada di semua area hamparan pelataran Surabaya.

Gagasan Surabaya sebagai laboratorium kebudayaan, saya maknai sebagai upaya menjadikan Surabaya sebagai kota yang berdaya dan bermartabat, serta kota yang berkarakter. Surabaya sebagai laboratorium kebudayaan saya pahami sebagai sebuah bentuk bahwa semua wilayah bisa model belajar tentang berperilaku berbudaya dan beradab.

Ada niatan baik di balik pernyataan tersebut, dimana pemerintah akan melegalkan bahwa semua ruang terbuka di Surabaya merupakan tempat kita mengelaborasi perilaku kebudayaan. Perilaku kebudayaan itu berupa aktifitas seni atau sebagai miniatur peradaban kota Surabaya. Sebagai contoh, karakter Suroboyo itu terbuka, egaliter dan berani karena benar. Nah diharapkan masyarakat Surabaya menjadi partisipan dalam mempraktekkan hidup yang berbudaya Surabaya.

Bagi saya, gagasan ini merupakan gagasan yang sublim, mengapa? Di tengah geliat pembangunan di Surabaya, bercokolnya bangunan pencakar langit, dan dibangunnya beberapa ruang hijau dan terbuka, tidak cukup kalau hanya dijadikan untuk pemuas mata. Geliat pembangunan itu bisa diberi nilai tambah dalam pemanfaatannya. Masyarakat tidak hanya sekedar bermain, tapi juga bisa memanfaatkannya sebagai ruang ekspresi.

Surabaya sebagai laboratorium kebudayaan tidak hanya akan menjanjikan Surabaya tetap ada, tapi juga akan merekatkan kembali warga Surabaya menjadi bagian besar sebagai Keluarga Besar Rakyat Surabaya yang sebenarnya. Jangan mengaku Surabaya kalau Anda sukanya menjadi pecundang. Surabaya itu berkarakter egaliter dan jujur serta terbuka, bukan mereka yang suka lempar batu sembunyi tangan.

Surabaya sebagai laboratorium kebudayaan merupakan usaha besar dan cerdas mengikatkan kembali kita sebagai Keluarga Besar Rakyat Surabaya yang sebenarnya.

*Ditulis di Surabaya, 12 September 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment