Membaca Jejak Kelam Kekejaman PKI

Membaca Jejak Kelam Kekejaman PKI

Membaca Jejak Kelam Kekejaman PKI
(Foto: Google.com)

Suaramuslim.net – Dalam sebuah acara menolak lupa jejak pengkhianatan PKI disebuah tempat di Surabaya pusat, dihadirkan seorang saksi hidup korban kekejaman PKI. Sebut saja beliau Pak Haryoso. Beliau sampaikan betapa dia yang saat itu usia 25 tahun, pekerjaan petani, disebuah desa di Bojonegoro, hanya karena dia seorang muslim, maka dia dianggap sebagai musuh PKI. Dalam kesaksiannya dia juga sampai menunjukkan bekas luka bacok yang dialami di bagian punggungnya.

Jejak kelam itu sejatinya membekas sekali bagi mereka yang menjadi korban dan keluarga korban akibat kekejaman PKI. Sehingga menjadi sesuatu yang wajar kalau kemudian luka itu masih menganga. Apalagi kalau dilihat kelamnya sejarah itu, justru banyaknya terjadi pembantaian ulama yang dilakukan oleh PKI. Gerakan PKI tak punya belas kasihan kepada siapapun yang dianggap musuhnya. Yang ada pada pengemban gerakan ini adalah melakukan propaganda dan fitnah agar musuhnya punya alasan untuk dihabisi. Sejatinya ideologi ini tak layak hidup di negeri Pancasila.

Sebagai pelengkap betapa kejinya tindakan gerakan PKI, ada satu kisah yang tulis oleh Pojoksatu.id tentang perlakuan mereka terhadap Al Quran dan para santri putri. Sebelum G30S/PKI, pada Januari, tepatnya tanggal 13. Tanggal dimana banyak yang melinangkan air mata ketika mengenang peristiwa itu.

Teror PKI menjadi penyebabnya. Sebuah teror yang para saksi sejarah berharap agar tak lagi terulang di masa depan, dimana ketika itu kebengisan dan kekejaman PKI di Kanigoro terjadi.

Saksi hidup, Muawanah Ali (71), yang juga menjadi salah satu korban peristiwa kekejaman PKI di Kanigoro, selalu tak kuat menahan linangan air mata. Dia ingat jelas kejadian memilukan yang ia alami sendiri dalam acara mental training Pelajar Islam Indonesia (PII) di Kanigoro.

Selama ini, menurut Muawanah, masyarakat Indonesia hanya mengetahui kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui peristiwa Gerakan 30 September PKI (G-30S/PKI). Namun, jika hendak dirunut lagi, berdasar sejarahnya, sebelum terjadi (G-30S/PKI), sudah banyak kekejaman PKI terhadap rakyat Indonesia, terutama umat muslim. Salah satunya Peristiwa Kanigoro pada 13 Januari 1965.

Bersama 125 anggota Pemuda Islam Indonesia (PII) lainnya dari seluruh Jawa Timur, Muawanah dan kawan-kawannya diserang Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia (BTI), dua ormas binaan PKI. Ketika itu, Muawanah masih berada di asrama. Ia hendak berangkat ke masjid untuk mengikuti kuliah subuh.

Dengan sangat ganas dan tanpa aturan, beberapa Pemuda Rakyat masuk ke asrama dan menggedor-gedor pintu. Saat itu, Muawanah berada satu kamar dengan satu diantara temannya dari Kertosono yang memiliki paras cantik dan manis. Karena kecantikan temannya tersebut, membuat para Pemuda Rakyat melakukan pelecehan seksual dengan cara meraba-raba badan dari teman sekamarnya tersebut.

Setelah melakukan pelecehan seksual, massa PKI mengambil dan melempar Al Quran untuk diinjak-injak bersama-sama. “Kami masih usia Sekolah Menengah Atas (SMA). Ketika mendapat perlakuan seperti itu, pasti takut”, ungkapnya.

Dalam situasi genting, Muawanah mencoba membuka jendela, melihat di luar, terdapat empat orang penjaga dari PII (termasuk Ibrahim Rais yang sekarang menjadi suaminya). Ketika melihat di luar, sudah ada beberapa orang penjaga dari PII, ia merasa lega dan aman. Tapi, celakanya, setelah Muawanah melihat lagi dengan lebih saksama, penjaga-penjaga tersebut sudah diikat semua oleh para anggota PKI.

Bahkan, menurut Muawanah, anggota PKI juga memaki para penjaga dari PII dengan kata-kata, “Dasar antek Belanda, dasar antek Masyumi”. Selesai diikat, pemuda-pemuda tersebut digiring menuju masjid dan dikumpulkan.

Setelah berhasil mengobrak-abrik asrama putri, massa PKI keluar meninggalkan Muawanah dan temannya di dalam kamar. Situasi yang tak jauh berbeda juga terjadi di asrama putra. Disana, semua barang dan uang yang ada di asrama putra, juga dirampas. “Saya baru mengetahui terjadinya kekacauan di masjid setelah pukul 07.00 WIB”, kenangnya seperti dilansir cendananews.com.

Semua laki-laki PII diikat dan dibawa ke arah timur melalui jalan tengah sawah, sambil diancam akan dibunuh, jika ada yang melawan. Semua lelaki dibawa ke kantor polisi. Sedangkan para perempuan dilepaskan, setelah beberapa dilecehkan secara seksual.

Sejak peristiwa itu, Muawanah jadi tahu, sebelum peristiwa Kanigoro, PKI sudah melakukan teror-teror sejak ia masih duduk di bangku PGA di Malang dalam bentuk lemparan batu. Hanya saja, saat itu, dirinya masih belum sadar kalau lemparan batu tersebut merupakan salah satu teror dari PKI kepada umat Islam.

Agar peristiwa kekejaman PKI tersebut tidak terulang di masa yang akan datang, Muawanah berharap, kurikulum pelajaran anti komunis bisa diajarkan di sekolah-sekolah. “Kami punya harapan agar nantinya di sekolah, mulai dari tingkat Sekolah Dasar sudah di ajarkan mengenai bahaya komunis”, harapnya.

Acap kali, Muawanah mengadakan demonstrasi jika terdengar suara-suara yang menginginkan agar pemerintah minta maaf kepada PKI. Suara-suara seperti itu, dalam amatan Muawanah, bias terdengar menjelang hari kemerdekaan 17 Agustus. “Meskipun kita sekarang sudah tua, kami selalu mengadakan demonstrasi kepada pemerintah, jangan sampai mau untuk meminta maaf kepada PKI”, tegasnya.

Hal yang sama yang saya saksikan di Surabaya, adanya Sekber Benteng NKRI, meski dikomandani oleh tokoh sepuh Arukat Jaswadi dan anggotanya, juga sudah dibilang tak muda lagi, mereka berjibaku dalam penolakan ideologi komunis di Indonesia. Ideologi akan terus tumbuh dan tak akan pernah mati, maka ada baiknya tokoh-tokoh tua penolak ideologi komunis juga mulai berpikir melakukan regenerasi pemahaman. Sehingga ketika tokoh-tokoh tua itu tiada, masih ada pelanjutnya. Gerakan ideologis bukanlah persoalan gagah-gagahan dan aksi heroik. Gerakan ideologis merupakan persoalan bagaimana menyemai ideologi agar bisa diterima oleh semua pihak, tak terkcuali apa yang dilakukan oleh komunis.*

Semoga menjadi renungan kita semua!

*Ditulis di Surabaya, 1 Oktober 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment