Membaca Kemenangan

Membaca Kemenangan

Membaca Kemenangan

Suaramuslim.net – Musim bunga. Oktober 732 Masehi. Pada pertempuran Tours (literatur kalangan Islam menyebutnya: Balatu asy-Syuhada), pasukan Muslimin di bawah pimpinan Abdurrahman al-Ghafiky memperoleh kekalahan. Pasukan Franka di bawah pimpinan Karl Martell (Charles Martell) berhasil memukul mundur anak buah Abdurrahman. Bahkan, Abdurrahman menemui jalan syahid di medan pertempuran itu.

Bagi bangsa Eropa, sebagai representasi peradaban Barat, kemenangan leluhur mereka atas bangsa Moor merupakan capaian luar biasa. Kemenangan awal sebagai episode awal jauh sebelum pecah Perang Salib di Baitul Maqdis. Imbas kemenangan ini digambarkan Edward Gibbon, seorang sejarawan Barat, menghambat jatuhnya Eropa pada kurun berikutnya menjadi negeri Islam.

“Membebaskan nenek moyang kita Britania begitu juga tetangga-tetangga kita dari belenggu pemerintahan dan kepercayaan Quran yang melindungi kebesaran Roma dan memperlambat kejatuhan Konstantinopel.” Sejarawan lain di Barat pernah berujar, “Andaikata hari itu pasukan Martell kalah, hari ini kita dapati orang-orang di Oxford tengah mempelajari Quran.” Demikian dicatat oleh M.A. Enan (1983) dalam Decisive Moments in the History of Islam.

Gustave Le Bon, justru berpendapat lain. Ia begitu sedih atas kemenangan leluhurnya. Mengapa Muslimin kalah? Ya, ia tangisi kekalahan lawan leluhurnya. Di tengah kebesaran peradaban Muslimin, dalam pertempuran di selatan Prancis justru alami kekalahan. “Kemenangan Martell memperlambat majunya Eropa,” kata Le Bon.

Eropa di hari kemenangan memang masihlah bangsa yang biadab; jauh membentang capaiannya dari bangsa penakluk yang mereka cibir biadab. Peradaban dan kemajuan teknologi tidak berbanding. Kekalahan Muslimin menutup kesempatan daerah—yang hari ini kita kenali sebagai—Inggris, Prancis, dan Jerman semaju kawasan yang dikuasai Muslimin. Daerah-daerah ini seolah tertinggal beberapa abad dibanding capaian di Andalusia. Dan Eropa, benar seperti kepedihan Le Bon, mencapai kemajuan peradabannya secepatnya 8 abad kemudian.

Dalam kemegahan perayaan kemenangan, ada kejujuran dalam diri Le Bon. Satu sikap yang mesti jadi cermin bagi siapa saja. Bahwa di balik keriuhan gembira kita, kadang ada satu lara yang menggelap buat esok hari. Dalam kurun waktu lama pula. Menghadirkan sikap seperti Le Bon sungguh tidaklah mudah. Sebagaimana mengherankannya mencari hikmah di balik kebesaran capaian Muslimin justru bisa kalah di satu pertempuran dengan bangsa-bangsa yang peradabannya jauh di bawah itu.

Pergerakan dakwah kadang bergulir; ada di bawah, terseok, menaik, lantas mencapai puncak untuk selanjutnya—ketika gagal dijaga—terpuruk. Ada yang bangkit lagi lalu menaik dan ke puncak lagi. Ada yang gagal mengulang; sebagian lagi hilang ditelan zaman.  Di tengah kebesaran dan puncak kejayaan, harus diperhatikan pelajaran di Tours agar tidak alami kekalahan dengan mereka yang peradabannya di bawah kita. Gerakan dakwah harus berwibawa dan kuat dalam berjemaah. Kebesaran seperti apa pun akan mungkin keok di bawah kekuatan skuadron di bawah kita. Tetapi mereka solid membina persatuan dan militansi bertempur.

Pelajaran kedua, aktivis pergerakan dakwah haruslah tetap bening memandang. Dalam gempita pesta kemenangan dakwah, perlu ada pembacaan tajam ke depan. Jangan sampai kemenangan itu berita kekalahan di sisi lain. Di balik ketertindasan kita hari ini oleh peradaban asing sekuler, ambil etos kerja lawan agar kita tak terpuruk jauh. Bukan mensyukuri keberadaan kita di bawah mereka; bukan begitu Le Bon mensyukuri andaikata Muslimin menaklukkan Tours. Tapi ini tentang kelapangan dada dan keluasan ilmu dari orang-orang beradab yang  bisa dipetik. Seperti itu pula etos kita meraih apa yang dikuasai peradaban lain, dengan perilaku mereka yang jelas tak sama dengan Muslimin ketika berkuasa di muka bumi.

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment