Membimbing Nafsu dengan Akal

Membimbing Nafsu dengan Akal

Ilustrasi akal pikiran manusia. Ils: artikula.id

Suaramuslim.net – Manusia sebagai makhluk yang sempurna dalam penciptaan bahkan dengan malaikat sekalipun karena diberi oleh Allah kelebihan potensi utama yang menjadi pembeda yaitu akalnya. Jika malaikat diberi sifat ketundukan penuh atas segala perintah sehingga tidak ada sedikitpun dari malaikat keinginan untuk melawan ataupun memilih. Di saat malaikat ditugasi hanya untuk bertasbih maka selamanya dia bertasbih. Namun berbeda dengan manusia, Allah memberikan dua potensi bagi manusia yaitu hawa nafsu dan akal. Dengan keduanya menjadikan diri manusia dapat hidup secara kreatif dan dinamis.

Manusia bebas memilih kehidupannya sendiri, apakah mau menjadi pribadi yang saleh atau pribadi yang salah. Jika dia memilih ketakwaan maka manusia akan melebihi derajatnya dibandingkan malaikat, sebaliknya jika memilih menjadi pribadi yang suka berbuat salah maka dia akan terjungkal melebihi perilaku setan.

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Ash-Syams: 8).

Pengelolaan kedua potensi ini menjadi hak bebas manusia untuk memilihnya. Jika hawa nafsu mengarahkan pada perbuatan jelek dan buruk.

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Yusuf: 53).

Maka berbeda dengan akal, selalu mengarahkan manusia pada kebaikan

اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Ketahuilah sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya.” (Al-Hadid: 17).

Akal mengarahkan manusia agar mampu mengoptimalkan potensi terbaik dirinya untuk mewujudkan berbagai kebaikan bagi diri dan lingkungannya. Akal berbeda dengan pikiran. Akal lebih pada kemampuan seorang dalam membedakan baik dan buruk, hak dan batil, benar dan salah. Kemampuan ini lebih pada kemampuan menilai secara subtantif sesuatu secara bijak.

Akal lebih dekat pada hati. Bahkan dalam kamus bahasa arab Mu’jamul Wasith karya Dr. Ibrahim Anis dkk memberikan pengertian akal sama dengan hati yaitu kemampuan memilah dan memilih berdasarkan nilai (value). Sehingga di saat seseorang melakukan sesuatu secara bijak dan benar kita sebut sebagai seseorang yang berakal sehat. Jadi manusia yang berakal adalah seseorang yang mampu memadukan dan mengawinkan potensi kecerdasan intelektualnya dengan kesadaran hatinya.

Sementara pikiran adalah kemampuan seseorang atau makhluk dalam memecahkan dan menyelesaikan masalah. Di saat seseorang sedang dihadapkan pada suatu persoalan dan kemudian mampu menyelesaikannya maka dia disebut memiliki pikiran. Hal ini dapat pula dimiliki oleh hewan. Sehingga manusia disebut juga dengan istilah hayawan an nathiq, makhluk yang berpikir. Dan yang membedakan manusia dengan hewan adalah kemampuan akalnya, bukan pikirannya.

Di saat seseorang mampu memilih mana yang baik dan benar serta menjauh dari yang buruk dan salah, maka manusia itu disebut makhluk yang berakal dan di sinilah letak perbedaan dengan hewan.

Sementara di saat seseorang melakukan suatu tindakan tanpa mempertimbangkan baik dan buruk, manfaat dan mudharat, benar dan salah, maka seseorang itu tidak beda dengan binatang.

Hal ini diisyaratkan dalam Firman Allah:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179).

Ayat tersebut memberikan gambaran bahwa saat seseorang tidak mampu mengoptimalkan potensi inderanya untuk memilih mana yang baik dan buruk, benar dan salah, manfaat dan mudharat, maka sebenarnya manusia tersebut telah menempati posisi seperti hal layaknya binatang bahkan lebih keji dari binatang, karena dia harusnya menggunakan akalnya, namun berperilaku rendah melebihi binatang.

Seorang yang bertakwa adalah yang mampu menundukkan hawa nafsunya yang selalu mengarah kepada keburukan menjadi tunduk patuh pada pilihan akal untuk melakukan sesuatu melalui pertimbangan kebaikan dan kebenaran.

Di kalangan ahli sufi dan thariqat kemudian membuat berbagai metode dan cara untuk dapat menundukkan hawa nafsu yang selalu menggelora pada kejelekan dengan memenjarakannya dan melemahkannya, misal dengan banyak berpuasa, menundukkan pandangan, bertindak zuhud atas dunia dan sebagainya. Bahkan sebagian menyarankan agar selepas dzikir tidak langsung minum, namun menunggu beberapa waktu agar hawa nafsu menjadi lemah dan terlatih untuk tunduk pada perintah akal. Dengan nafsu yang melemah akan mudah bagi akal untuk memerintahnya dan menguasainya.

Sementara orang yang sakit jiwa maka dia telah kehilangan akalnya, yaitu kehilangan kemampuannya untuk memilih mana yang baik dan buruk, benar dan salah, walaupun mereka masih memiliki pikiran, yaitu kemampuan menyelesaikan masalah. Walaupun penyelesaian masalah yang diambilnya bisa jadi jauh dari kebaikan dan kebenaran. Sehingga dalam hukum orang yang tidak berakal tidaklah terbebani oleh hukum, tidak mukallaf, dan tidak terkena beban dosa. Sebagaimana sabda nabi:

قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang yang tidur hingga terbangun, orang gila hingga ia waras, dan anak kecil hingga ia balig.” (Abu daud, No. 3822).

Sehingga orang yang disebut kehilangan akal disebabkan dia tidak mampu memilih mana yang baik dan buruk, benar dan salah, manfaat atau mudharat. Dan kemudian orang menyebutnya pula apabila melakukan hal yang demikian dengan orang yang tidak berakal sehat.

Orang yang bertakwa adalah seseorang yang mampu berakal sehat dengan menjadikan pilihan kebenaran, kebaikan dan kemanfaatan sebagai pilihan utamanya serta meninggalkan segala tindakan perbuatan yang tidak benar, salah dan tidak memberikan kemanfaatan bagi dirinya dan sekitarnya. Dan inilah yang menjadi tanda kebaikan keislaman seseorang, yaitu meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana sabda nabi:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda: “Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.” (At-Tirmidzi, No. 2239).

Seorang yang bertakwa akan menjadikan akalnya sebagai komandan dan penentu segala tindakan dan hawa nafsunya sehingga semuanya tunduk atas perintah akalnya dan terbimbing untuk melakukan kebaikan.

22 Agustus 2020
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment