Suaramuslim.net – Peristiwa bombardir bom oleh “teroris” menyisakan duka yang dalam terutama bagi korban. Sedih dan luka mewarnai perasaan para keluarga yang ditinggalkan. Apa yang diharapkan oleh mereka yang menjadi keluarga korban, tentu simpati dan dukungan, agar mereka bisa bangkit dan percaya kembali bahwa mereka bisa melanjutkan “survive” menapaki aktifitasnya.
Sebagai relawan sosial, saya bisa merasakan bagaimana perasaan korban dan keluarga korban ketika harus menghadapi kenyataan, simpati yang bertubi datang silih berganti. Sesaat mereka bisa menepis perih, tapi esok dan selanjutnya harus bagaimana?
Saya mungkin tak kenal Evan dan keluarganya, begitu juga mas Bayu yang meninggal karena menghadang teror, tapi simpati dan duka yang dalam mewarnai perasaan saya sebagaimana saya pernah menangani dan melayani anak-anak korban kekerasan seksual. Tapi cukupkah dengan simpati dan rasa duka yang kita berikan? Tentu tidak, dibutuhkan simpati yang berkepanjangan. Kalau para keluarga itu meninggalkan anak dan istri, pernahkah kita pikirkan bagaimana mereka bisa melanjutkan kehidupannya tanpa seorang kepala keluarga, begitu juga anak-anak yang masih sekolah, pernahkah kita berpikir bagaimana mereka itu bisa sekolah, tanpa dukungan dari orang tuanya yang telah menjadi korban.
Begitu juga saya tak mengenal mereka yang disebut sebagai keluarga terduga teroris. Pernahkah ada dalam benak kita bahwa anak-anak mempunyai pikiran mereka akan melakukan bom bunuh diri dan melukai orang lain?
Bukankah kita juga telah bersepakat sebagaimana UU mengatakan bahwa tidak ada anak sebagai pelaku, yang ada anak menjadi korban kejahatan orang dewasa untuk melakukan kejahatan.
Nah kalau itu yang terjadi, lalu dimanakah peran negara dan masyarakat sekitarnya hadir dalam menyelamatkan anak-anak dari pengaruh kejahatan orang dewasa? Lalu tak ada ruang simpatikah dari hati kita untuk anak-anak itu, tak cukupkah sumpah serapah yang kita sematkan pada anak-anak dan keluarganya, bahkan juga tak ada rasa bersalah ketika kita mengumbar foto-foto mereka.
Bukankah anak-anak itu punya teman, ada keluarganya, apakah kemudian kita juga layak mengukum keluarga mereka? Kalau itu yang terjadi, dimanakah rasa keadilan dan kemanusiaan kita, kita simpan? Sementara kita dengan bangga mengatakan “saya Indonesia, saya Pancasila”.
Menari di Atas Penderitaan Korban
Sudah menjadi watak dasar manusia bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan untuk dikenal dan diapresiasi atas apa yang dilakukan. Tapi sayangnya tidak banyak yang memahami bagaimana melakukan aktualisasi dengan berpegang pada etika dan norma. Mereka hanya berbicara melalui “id” nya. Tak peduli terhadap perasaan korban, yang ada adalah menolong itu perbuatan baik, dan perbuatan baik itu perlu dipublikasikan agar bisa menginspirasi pihak lain.
Saya setuju sekali bahwa setiap perbuatan harus terpublikasi dan bisa menginspirasi pihak lain. Tapi apakah kemudian harus disertai atribut kebesaran kelompok? Yang sangat miris, di tengah rasa duka yang dalam keluarga korban, tiba muncul “iklan-iklan simpati” berbentuk baner dan karangan bunga yang jumlahnya banyak dan besar. Bahkan ucapan simpatinya terlihat kecil dibanding “iklan” kepentingan kelompoknya.
Apa yang mereka rasakan ketika mengibarkan bendera kepentingannya? Tentu yang ada kepuasan diri dan kelompok, tak penting dengan “nasib” korban dan keluarga korban. Dalam sebuah transaksi komunikasi bisnis, perilaku seperti ini, bisa dikategorikan sebagai “biaya iklan”. Tentu saja karena ini biaya, maka pertimbangan untung ruginya sangat detail sekali. Sehingga kalkulasi untung rugi sangatlah mengedepan.
Kecerdasan memanfaatkan momentum, tentulah menjadi bagian penting mengapa mereka melakukan aksi. Berne menyebutnya dalam transaksi analisis sebagai komunikasi “I am ok, You are not ok”. Sebuah komunikasi yang mengedepankan kepentingan diri, tak peduli dengan apa yang dirasakan oleh orang lain, terlebih lagi mereka yang menjadi korban.
Memperadabkan Diri dan Kelompok
Adakah yang bisa dilakukan menghadapi situasi orang memanfaatkan momentum untuk kepentingan diri dan kelompok? Tentu saja ada. Kembali berpulang pada diri masing-masing. Sejauh mana “ego dan superego” mampu berbicara dalam diri?
Ego dan superego adalah dua kemampuan yang saling terangkai dan bersebab akibat. Insting pemuasan bergerak, lalu ego sebagai akal budi menjalankan perintahnya. Dalam menjalankan perintah super ego mengingatkan dengan norma dan etika. Sehingga yang dimaksud dengan memperadabkan diri itu adalah kemampuan mengendalikan pemuasan diri dengan menggunakan akal dan hati nurani.
Memperadabkan diri tidaklah semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan kawah candradimuka yang panjang untuk melatihnya, sehingga kepekaan melayani dan peduli menjadi “ruh” dalam aktifitas pelayanan organisasi maupun kelompok. Melatih menjadi relawan adalah sebuah keniscayaan menghindarkan diri dari memanfaatkan kedukaan orang lain.
Memperadabkan diri tentu bukanlah sesuatu yang bersifat artifisial dan sekadar gagahan dan seolah peduli. Memperadabkan diri itu kesanggupan kita menepis hasrat pemuasan diri dan menggantikan menjadi aktifitas melayani keberlanjutan hidup korban dan keluarga korban. Sehingga memperadabkan diri dalam melayani korban juga termasuk di dalamnya merencanakan keberlanjutan kehidupan korban dan keluarganya.
Di sinilah seharusnya negara hadir. Tapi membangkitkan semangat kerelawanan rakyat jauh lebih penting terwujud sebagai sinyal pertama membangun harapan masa depan korban dan keluarganya.
Gotong royong menjadi sebuah keniscayaan membangkitkan semangat kepedulian. Di dalam gotong royong tak ada pamrih, gotong royong akan menempatkan diri pada posisi tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Gotong royong menempatkan kita pada posisi yang saling melengkapi. Lalu apakah menolong dengan mempublikasikan kepentingan kelompok adalah kepedulian? Siapa yang mengambil untung banyak?
Nah… Memperadabkan diri adalah kemampuan kita memahami perasaan orang lain, sehingga kita tak akan melakukan apa saja yang akan merugikan orang lain. Oleh karenanya berhentilah kalian yang bersimpati dengan cara berdagang, mengambil keuntungan banyak di atas penderitaan para korban tragedi bom Surabaya dengan cara yang tak elok dan cenderung tak beradab. Tragedi bom bukanlah ruang iklan bagi kepentingan kelompok kalian yang ingin mengiklankan syahwat kelompokmu.
Dari Jabir bin Muth’im, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak kepada ashabiyah, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah”. (HR. Abu Dawud No.4456, Ashabiyah adalah fanatik kelompok)
*Ditulis di Surabaya, 17 Mei 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net