Suaramuslim.net – Menarik untuk membincangkan pandangan politik dari pada akademisi dari luar negeri yang melihat pemerintah Jokowi. Umumnya mereka menilai Jokowi mengalami perubahan ke arah negatif dalam kebijakan politiknya. Jokowi yang digambarkan sebagai sosok pengawal gerbong demokrasi untuk mendongkrak demokrasi yang lebih berkualitas, tetapi justru menjadi musuh demokrasi itu sendiri.
Perubahan kebijakan politik Jokowi dari demokratis menjadi otoriter inilah yang menjadi keprihatinan sosial pada tingkat internasional. Mengemukanya kepemimpinan otoriter dalam memperlakukan oposisi, merupakan sebuah contoh yang jelas. Menabrak aturan hukum dan memperalat birokrasi, tentara, dan kepolisian untuk memenangkan pertarungan jelas sebagai ancaman nilai-nilai demokrasi.
Jokowi dan Ancaman Demokrasi
Sejumlah pengamat politik asing menulis pandangannya terhadap Jokowi dan kepemimpinannya yang mengarah pada pembusukan nilai-nilai demokrasi. Secara umum mereka berpandangan bahwa Jokowi telah mengalami perubahan dalam kebijakan politiknya, sehingga merusak nilai-nilai demokrasi dan beralih menjadi otoritarian.
Eve Warbuton dan Edward Aspinall membuat tulisan “Indonesian Democracy from Stagnation to Regression.” Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa Jokowi terbukti menjadi pemimpin yang tidak sabar dan reaktif. Jokowi begitu mudah tersentak oleh ancaman politik untuk mempertahankan posisi politiknya.
Sementara Matthew Busch menulis “Jokowi’s Panicky Politics” yang menyatakan bahwa tekanan politik untuk mempertahankan kekuasaan membuat Jokowi berubah menjadi seorang pemimpin yang menggunakan berbagai instrumen negara untuk menghabisi lawan politiknya.
Bahkan Tom Power, kandidat Doktor dari Australian National University (ANU) menyatakan bahwa Jokowi bertindak dengan cara yang tidak liberal atau anti-demokrasi. Ini sebagai hasil dari kepekaan politik yang sempit, pemikiran jangka pendek dan pengambilan keputusan secara ad hoc.
Dari pandangan pengamat asing itu menunjukkan bahwa Jokowi telah berubah dari pemimpin yang dipandang kalem-merakyat kemudian berubah menjadi tidak sabar dan reaktif. Hal ini tidak lepas dari adanya ancaman politik yang membahayakan kekuasaannya. Sehingga kebijakannya terlihat sangat keras dan terkesan memusuhi rakyatnya.
Jokowi kurang memperhitungkan resiko buruk ketika menggunakan berbagai instrumen negara untuk menghabisi kelompok oposisi. Kebijakan seperti ini dinilai telah bertindak otoriter karena melanggar nilai-nilai demokrasi. Kepemimpinan otoriter inilah yang menghilangkan kepekaan politik dan melahirkan kebijakan-kebijakan yang kontra-produktif sehingga mengubur harapan masyarakat kepadanya.
Perubahan pola kepemimpinan sungguh di luar harapan, di mana publik demikian kagum dan punya harapan besar terhadap Jokowi saat tampil dalam Capres 2014. Jokowi terlihat kalem -merakyat, dan hal ini diblow up sebagai figur yang populis. Pribadi yang digambarkan sering blusukan benar-benar menjadi tumpuhan rakyat Indonesia. Namun dalam perjalanannya, justru berubah dan menjadi ancaman bagi rakyatnya sendiri. Naik dan melambungnya bahan pangan dan harga dasar listrik jelas menjadi jeritan masyarakat.
Ketakutan terhadap kehilangan kekuasaan membuatnya memberangus oposisi. Di sinilah menimbulkan sejumlah kepanikan dan melahirkan kebijakan-kebijakan yang justru mendiskreditkan dirinya. Pembubaran HTI tanpa melalui pengadilan, juga menjadi salah satu indikator kebijakan yang dianggap sebagai permusuhan terhadap oposisi sekaligus sebagai ancaman kebebasan berpendapat.
Jokowi dan Instrumentalisasi Politik
Yang lebih memprihatinkan adalah langkah otoriter yang melanggar norma demokrasi. Jokowi mengambil langkah otoriter untuk memperoleh manfaat partisan dengan melakukan instrumentalisasi politik atas lembaga-lembaga utama negara. Bahkan tanpa segan, dia mempolitisasi hukum. Artinya, hukum dipolitisasi terhadap mereka yang memiliki kasus. Ujungnya, mereka yang dibidik akan bungkam dan merapat ke Jokowi. Dengan melakukan ancaman politik terhadap mereka yang memiliki kasus-kasus hukum, maka dukungan politiknya secara kuantitas menjadi lebih besar.
Meletakkan politikus Nasdem, Muhammad Prasetyo sebagai jaksa agung begitu efektif dalam melancarkan politisasi hukum. Institusi kejaksaan agung yang seharusnya tidak partisan tiba-tiba berubah dan melakukan politik tebang pilih. Kejaksaan agung dipergunakan sebagai alat untuk merusak kekuatan kubu oposisi dengan menangkap kubu oposisi yang dianggap memiliki kasus hukum, dan di sisi lain ketajaman kekuasaan kejaksaan agung ini tidak untuk mereka yang dekat dengan rezim.
Bahkan pelemahan terhadap kubu oposisi juga dilakukan ketika Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM yang berhasil memaksa partai untuk terbelah, dan akhirnya merapat ke kubu penguasa. Golkar dan PPP merupakan contoh kasus yang berhasil dibelah dan salah satu kubunya berhasil masuk koalisi rezim.
Hary Tanoe, pemilik partai Perindo yang berseberangan dengan penguasa, memiliki kekuatan dan modal politik yang kuat tiba-tiba mengubah haluan politik dan tak berani melawan Jokowi. Ternyata ada kasus yang menimpa Hary Tanoe sehingga membuatnya tak berdaya dan lumpuh di hadapan rezim ini.
Demikian pula, politik sandera terhadap pemimpin daerah yang berafiliasi pada oposisi juga diterapkan. Pemerintah memiliki data-data para penguasa di daerah yang memiliki kasus, dan kemudian dimainkan agar merapat ke pemerintahannya.
Tuan Guru Bajang (TGB) merupakan sosok yang berhasil memimpin kampanye tim Prabowo tahun 2014 sehingga menang di daerahnya. Karena sejumlah prestasinya dia menjadi salah satu nominator calon presiden. Namun kasus yang melibatkan dirinya dalam korupsi penjualan saham di pertambangan raksasa operasi Nusa Tenggara Newmont, sehingga menjadi titik balik dan membuatnya harus menyeberang ke kubu Jokowi.
Perubahan sikap politik Jokowi jelas-jelas mengagetkan dunia. Sosok yang dikampanyekan sebagai pribadi yang kalem-merakyat tiba-tiba berubah menjadi otoriter, kebijakan melakukan instrumentalisasi politik atas lembaga-lembaga negara ternyata untuk memarginalkan kubu oposisi. Hal ini jelas-jelas sebagai ancaman bagi nilai-nilai demokrasi.
Perubahan sikap politik itu jelas sebagai sebuah kebohongan publik, di mana rakyat dan masyarakat dunia menginginkan terealisasinya nilai-nilai demokrasi tetapi rezim ini justru menyiapkan galian untuk mengubur nilai-nilai demokrasi.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net