Mengapa di Sekolah Harus Dipasang CCTV ?

Mengapa di Sekolah Harus Dipasang CCTV ?

Mengapa di Sekolah Harus Dipasang CCTV

Suaramuslim.net – Maraknya kasus kekerasan di dunia pendidikan menjadi catatan saya selama satu bulan ini. Kasus kekerasan yang kalau boleh disebut sebagai sebuah tragedi terjadi bertubi-tubi, ibarat sebuah bencana banjir, tidak hanya air yang menerjang, tapi lumpur juga bercampur. Lakon murid melawan guru yang berakibat meninggal, tawuran pelajar dan pengeroyokan, murid di bully, murid dicabuli, menjadi menu sehari-hari informasi koran dan televisi.

Dalam catatan saya, selama sampai bulan Februari 2018, terjadi 12 kali kasus kekerasan, mulai dari kekerasan fisik sampai dengan kekerasan seksual. Dari 12 kali kekerasan itu, pelakunya teridentifikasi 5 orang dewasa dan 7 adalah anak-anak. Sedangkan korbannya berjumlah kurang lebih 98. Korbannya terdiri 1 orang dewasa meninggal dunia dan 97 anak-anak. Dari 97 itu, 7 korban kekerasan fisik dan 90 adalah korban kekerasan seksual. Dari pelaku yang dewasa teridentifikasi 3 dari 5 pelaku melakukan kekerasan seksual berupa pelecehan. Itu artinya 60% kekerasan yang terjadi di sekolah didominasi kekerasan yang berbentuk berbentuk kekerasan seksual. Bila dirata-rata dalam 2 bulan terakhir ini, maka dalam sehari hampir terjadi 2 sampai 3 kali kekerasan. Sedangkan dalam kekerasan seksual korbannya dalam sehari bisa 1 sampai 2 anak.

Data-data yang terpapar sebagai sebuah catatan pendidikan di Jawa Timur ini menegaskan kembali pernyataan Dewan Pendidikan Jawa Timur yang dalam rilisnya satu minggu yang lalu mengatakan bahwa Jawa Timur mengalami epidemi darurat kekerasan anak.

Reaksi yang Muncul?

Ketika terjadi kekerasan terhadap guru, semua seolah terhentak dan serentak menghujat, mulai dari kementerian pendidikan sampai dengan organisasi profesi guru, guru dan sejawatnya menghentakkan orkestra kecaman, murid durhaka, murid tak tahu malu, air susu dibalas air tuba dan sederet sumpah serapah. Bunga duka berjajar di rumah sang pahlawan tanpa tanda jasa. Air mata tertumpah, kilas duka seakan menjadi panggung sang pemburu citra.

Mediapun tak ketinggalan cerita, mulai dari media sosial memunculkan sang guru memainkan biola, sang guru digambarkan sebagai mahluk yang tak pernah salah, lalu dibuatlah cerita sebagai legenda.

Samakah reaksi yang ada ketika guru ternyata sebagai pelaku kekerasan terhadap anak dan 60% nya pelaku kekerasan seksual? Sang oknum masih bisa merasa lega, karena soliditas itu masih ada, tak ada orkestra bernada sumpah serapah , yang menjadi terdakwa adalah sistem dan lingkungan. Lingkungan itulah penyebab terjadinya kekerasan. Sang oknum guru adalah manusia, yang tak lepas dari salah dan dosa. Maka dimulailah pengadilan terhadap sistem dan lingkungan.

Mulailah sang kepala pendidikan mengurai fakta bahwa lingkungan dan sistem sekolah lah yang salah, sehingga menyebabkan terjadinya kekerasan. Oleh karenanya maka lingkungan sekolah harus diawasi. Sebagai bentuk kesungguhan pengawasan sistem, maka akan kami pasang alat pantau berupa CCTV.

CCTV dalam pandangan saya akan berfungsi sebagai mesin pemantau, seperti tugas malaikat Rokib dan Atid. CCTV akan mengawasi dan mencatat dalam bentuk rekaman selama 24 jam penuh tanpa henti. Diharapkan melalui rekaman CCTV inilah, maka kekerasan terhadap anak bisa dicegah.

Sekilas upaya pengawasan melalui CCTV merupakan upaya bagus dalam melakukan pencegahan kekerasan di sekolah. Tapi apakah memang harus begitu? Menurut saya tidak harus selalu begitu?

Lalu Apa yang Harus Dilakukan?

Sebagai seorang pendidik dan tugas pendidikan, biasanya saya memaknai sekolah adalah tempat yang berfungsi sebagai lahan persemaian karakter baik. Sehingga sejatinya sekolah adalah tempat memproduksi kebaikan dan orang-orang baik. Karakter baik apa yang termasuk kebaikan yang harus dibangun oleh tenaga pendidik di sekolah? Lyckona menyebutkannya ada dua yaitu “respect” dan “responsibilty”. Kedua karakter itu menjadi penanda bahwa di sekolah itu berkembang budaya menghormati, menghargai dan bertanggung jawab.

Sebagai penanda budaya bertanggung jawab, tentu saja akan terbayangkan sebuah sikap yang saling memiliki dan menjaga. Tidak ada keinginan untuk merusak apa yang menjadi tanggung jawabnya. Secara sadar mereka akan saling menjaga dan merawat. Kesadaran merawat dan menjaga itulah yang akan menumbuh kembangkan sesuatu yang dijaga akan tumbuh dengan baik. Sekolah sejatinya harus menjadi tempat tumbuh kembang jiwa anak dengan baik.

Mengapa Sekolah Kita Tidak Nyaman?

Lingkungan terasa menjadi tidak nyaman dikarenakan tidak tumbuhnya budaya bertanggung jawab, saling menjaga dan merawat, yang ada saya adalah saya dan Anda adalah Anda. Sistem sekolah yang dibangun dengan cara berkompetisi akan melahirkan sikap saling mengalahkan dan menjatuhkan. Nah bisa jadi ketidak nyamanan sekolah sebagai tempat belajar dikarenakan budaya berkompetisi yang dikembangkan. Guru menjadi tertekan akibat desakan untuk menciptakan manusia pemenang l, sementara siswa dibentuk untuk saling mengalahkan bila ingin jadi pemenang.

Pengawasan perilaku anak dan pelaku pendidikan di sekolah dengan CCTV sebagai upaya pencegahan terjadinya tindak kekerasan, adalah upaya yang baik, tetapi sejatinya ini juga menegaskan bahwa pembentukan karakter bertanggung jawab di sekolah tersebut gagal. Karena ini menjadi bukti bahwa budaya bertanggung jawab di sekolah itu tidak ada dan butuh untuk selalu diawasi.

Apa yang Seharusnya Dilakukan?

Kembali kepada makna pendidikan dan sekolahan. Pendidikan adalah upaya sadar dan sistematis yang dilakukan agar bisa membentuk manusia yang cerdas dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ada upaya sadar untuk membangun kesadaran berbuat baik dan berguna bagi masyarakatnya. Kesadaran berbuat baik dan bagi masyarakat itulah yang disebut dengan manusia berbudaya dan berkebudayaan. Sehingga ketika semua berbudaya maka pengawasan menjadi hal yang tidak perlu dilakukan. Sementara sekolah dimaknai sebagai sebuah tempat untuk membangun kesadaran itu. Guru dan siswa harus saling melengkapi dalam membangun tanggung jawab tersebut.

Bekerja sama dan bersinergi adalah kunci membangun tanggung jawab, karena di dalam kerjasama itu selalu ada saling menjaga, saling mengawasi, saling melengkapi, saling memiliki dan saling menghormati. Akan sangat susah timbul saling menjatuhkan.

Bagi saya lebih penting membangun kesadaran bertanggung jawab dan itulah sebagai indikator keberhasilan sekolah dalam membangun budaya “respect” dan “responsibility”.

Memasang CCTV dengan tujuan pengawasan adalah bukti kegagalan pendidikan membangun karakter anak-anak yang bertanggung jawab.

Dalam surat al-Isra’ ayat 36: “Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya .”

Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan hamba-Nya yang bertanggung jawab. Aamiin. (Ditulis di Surabaya, 5 Maret 2018)

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment