Mengapa Hukum-Hukum dari Agama-Agama Itu Berbeda?

Mengapa Hukum-Hukum dari Agama-Agama Itu Berbeda?

Mengapa Agama-Agama Itu Berbeda
Ilustrasi anak-laki-laki muslim.

Suaramuslim.net – Itulah yang sebenarnya menjadi pertanyaan! Apabila nabi-nabi itu semuanya dari satu Tuhan, mengapa ajaran-ajaran mereka itu berbeda-beda satu sama lainnya? Apakah Tuhan mengajarkan soal-soal yang berbeda-beda pula? Orang biasa saja pun akan berusaha untuk tetap pada apa yang diajarkannya dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda.

Jawaban pertanyaan ini ialah bahwa bila keadaan itu tetap sebagaimana biasa, maka tidak perlu dikeluarkan petunjuk yang berbeda-beda. Tetapi saat keadaan itu sudah berubah, adalah suatu kebijaksanaan bahwa ajaran itu harus berbeda-beda.

Pada masa Adam, umat manusia hidup dalam satu tempat, oleh karena itu maka ajaran yang coraknya satu itu telah mencukupinya. Hingga zaman Nabi Nuh, umat manusia hidup dalam tempat-tempat yang terpencil. Setelah Nuh, umat manusia itu merata di pelbagai dunia ini. Tetapi pengaruh ajaran Nabi Nuh ini mulai berkurang. Maka datanglah rasul-rasul yang lain, dan pengaruh mereka berangsur-angsur berkurang pula dan tiap-tiap Rasul itu diutus untuk kaumnya masing-masing dan untuk masa tertentu.

Inilah yang menyebabkan adanya perbedaan hukum antara satu agama dengan yang lainnya, terutama lagi karena akal manusia belum benar-benar berkembang.

Tetapi sewaktu umat manusia itu sudah maju, dan makin banyak negeri yang ditempati, dan jarak antara satu negeri dengan lainnya menjadi tidak berarti lagi dan alat-alat komunikasi menjadi lebih baik, maka pikiran orang mulai menghargai akan perlunya ajaran yang universal yang mencukupi  untuk mengurus perikehidupan seluruh umat manusia ini.

Dengan perantaraan saling berhubungan antara satu kelompok umat manusia dengan lainnya, maka orang mulai memahami tentang kesatuan umat manusia dan hanya Pencipta dan Zat Yang Maha Esa yang mengatur mereka.

Di Jazirah Arab, Tuhan membangkitkan utusan-Nya yang terakhir untuk umat manusia, dan itulah Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu tidak mengherankan jika risalahnya dimulai dengan menyeru manusia kepada keesaan Tuhan, yang menguasai alam semesta. Ajarannya itu menyatakan tentang Tuhan yang berhak disembah, yang memberikan petunjuk kepada semua golongan umat manusia di semua negeri dan tidak ditujukan kepada suatu negeri tertentu atau golongan umat manusia tertentu saja.

Nabi Muhammad diutus untuk seluruh umat manusia dan ajarannya universal. Nabi yang membawa risalah itu dapat dikatakan Adam kedua. Sebagaimana pada Adam yang pertama hanya satu macam risalah dan satu macam golongan umat manusia, maka di waktu Adam yang kedua, dunia menjadi satu lagi, dengan satu macam risalah dan satu macam umat manusia.

Jika dunia ini diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, dan di waktu itu Tuhan juga memelihara semua umat manusia di negeri mana saja dan di waktu kapan saja, maka merupakan suatu keharusan, bagi kelompok-kelompok manusia yang berbeda-beda itu dengan tradisi yang berbeda-beda pula, bersatu dalam satu ikatan kepercayaan dan pandangan hidup. Andaikata Al-Quran tidak diturunkan, maka tujuan kerohanian tentang penciptaan manusia itu akan lenyap.

Kenyataannya umat manusia dewasa ini terbagi atas pelbagai agama. Dari keadaan ini dapat diibaratkan bagai sebuah sungai yang mempunyai beberapa anak sungai, tetapi akhirnya menjadi satu sungai yang besar dan mengalir ke laut dan di situlah kebagusan dan kemegahannya kelihatan.

Risalah yang dibawa oleh Musa, Isa, dan nabi lainnya, ajaran-ajaran yang dibawa oleh Khrisna, Zoroaster dan Budha ke pelbagai dunia ini adalah laksana anak-anak sungai mengalir menuju ke satu aliran sungai besar dan menuju ke samudera raya.

Satu tujuan, samudera raya, dan membuktikan tentang keesaan Tuhan dan mengajarkan satu tujuan agung yang penghabisan yaitu agama Islam. Untuk tujuan itu manusia diciptakan.

Apabila Al-Quran tidak membawa ajaran ini, maka ajaran dari Nabi manakah yang akan menerangkannya? Sudah barang tentu bukan kitab Injil, karena Injil hanya membicarakan soal Tuhan dari anak cucu Israil.

Apa yang diajarkan oleh Musa dan nabi-nabi yang dulu itu sudah jelas. Memang penyiar-penyiar agama Kristen pergi ke seluruh dunia untuk menyiarkan ajaran Isa, tetapi Isa sendiri tidak mempunyai maksud yang demikian itu. Persoalannya adalah bukan apa yang dicoba untuk dikerjakan oleh penyiar-penyiar Kristen. Tetapi persoalannya adalah apa yang dimaksud oleh Isa sendiri.

Apa yang sebenarnya dimaksud oleh Tuhan dalam mengutus Isa ini?! Tentang hal ini rasanya tidak ada orang yang lebih patut memberi keterangan selain Isa sendiri dan dengan jelas ia menyatakan:

Maka jawab Yesus, katanya: tiadalah aku disuruhkan kepada yang lain, hanya kepada segala domba yang sesat dari antara Bani Israil. (Matius 15: 24).

Karena itu lah, jelas ajaran Isa itu hanya untuk Bani Israil dan bukan untuk lainnya. Para Rasul pun menganggap tidak betul mengajarkan Injil kepada orang-orang yang bukan Bani Israil.

Maka sekalian orang yang berpecah belah oleh sebab aniaya yang berbangkit karena Stevanus itu pun mengembara sampai ke Feniki dan Kiperun dan Antiochia, tetapi tiada memberitakan firman itu kepada seorang pun kecuali kepada orang Yahudi. (Kisah Rasul-Rasul 11:19).

Demikian juga sewaktu para rasul Isa mendengar Petrus di suatu tempat mengajarkan Injil kepada orang-orang bukan Bani Israil, mereka marah:

Setelah Petrus tiba di Yerusalem, maka orang yang menurut adat bersunat itu pun berbantah-bantahan dengan dia. Sambil berkata: Engkau sudah pergi kepada orang yang tiada bersunat, serta makan bersama-sama dengan mereka itu. (Kisah Rasul-rasul 11: 2, 3).

Juga bukan kitab yang dibawa oleh Zoroaster, karena kitab itu mengajarkan bahwa petunjuk Tuhan hanya diberikan kepada bangsa Irak belaka. Juga bukan oleh Kitab Weda, karena para Reshi mengajarkan keharusan adanya hukuman menuangkan timah yang mendidih ke dalam telinga orang Sudra, penduduk India asli yang berani mendengarkan bacaan Kitab Weda. Juga bukan Budha, karena sekalipun kepercayaan tentang Budha itu tersiar ke negeri Tiongkok setelah Budha meninggal, tetapi ajaran Budha itu sendiri tidak pernah melintasi daerah perbatasan India.

Memang sebelum datangnya Nabi Muhammad, tidak ada seorang Nabi pun yang diutus kepada seluruh umat manusia, dan sebelum Al-Quran tidak ada sebuah kitab suci pun yang ditujukan kepada seluruh umat manusia. Hanya Nabi Muhammad saw yang menerangkan:

Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, tidak ada Tuhan selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan. Karena itu berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (Al-A’raf ayat 158).

Dengan ini jelaslah tujuan penurunan Al-Quran itu adalah untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut dan untuk menghapuskan perbedaan antara satu agama dengan agama lainnya dan antara sekelompok umat manusia dengan kelompok umat manusia lainnya.

Perbedaan itu tidak bisa dicegah karena terbatasnya ajaran-ajaran para nabi terdahulu. Jika Al-Quran tidak diturunkan, maka perbedaan itu akan berlangsung terus menerus. Dunia tidak akan mengenal Sang Pencipta Yang Esa dan juga tidak dapat memahami bahwa penciptaannya itu mempunyai tujuan yang agung. Perbedaan antara agama-agama sebelum kedatangan Islam itu malahan merupakan suatu keharusan dan bukan penghalang akan kedatangan seorang Nabi yang akan menyatukan mereka semua. Itulah Nabi Muhammad saw.

Artikel ini disadur dari Al Quran dan Terjemah Departemen Agama RI tahun 1992 cetakan Semarang.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment