Suaramuslim.net – Teror bertubi-tubi membombardir Surabaya, kedamaian Surabaya tercabik-cabik, ketenangan dan kenyamanan warga terusik. Pusaran teror bergerak cepat dari pusat kota bergerak ke bagian utara, bergeser ke timur dan selatan dan sampai hari ini menuju Surabaya barat. Sasaran teror pun berubah dari gereja, menuju markas polisi, rumah susun dan tempat-tempat publik lainnya. Surabaya benar-benar sedang diuji di usianya yang semakin senja.
Teror baru pun muncul atas nama pencegahan, rakyat tak berdosa mendapatkan akibatnya. Maklumat Walikota meliburkan sekolah atas nama pencegahan merupakan teror baru bagi masyarakat, seolah sedang terjadi suasana genting di Surabaya.
Drama pencegahan keamanan pun berlanjut, seorang santri pondok yang pulang karena menjelang pelaksanaan ibadahnya di bulan Ramadhan, harus dipecundangi oleh aparat yang terlalu berlebihan dan kalau boleh dikatakan tak terlalu cerdas mendeteksi persoalan. Yang ada kecurigaan dan stigma, santri, sarungan, berjenggot, bercadar adalah “teroris”.
Aksi pencegahan yang ditunjukkan aparat keamanan dengan cara-cara bias dan menggeneralisir semestinya tak boleh terjadi. Karena dengan cara-cara seperti itu justru akan melahirkan persoalan teror baru. Antar rakyat akan saling curiga, tentu juga akan melahirkan keterusikan pihak lain yang merasa menjadi korban atas stigma yang ditampilkan.
Apakah kejahatan korupsi yang dilakukan oleh orang “berpendidikan” dan berdasi juga akan distigmakan bahwa yang berdasi adalah koruptor? Karena yang rentan menjadi tersangka korupsi adalah pejabat, lalu apakah akan kita katakan bahwa pejabat itu koruptor? Tentu tidak.
Nah, cerdas dalam melokalisir masalah sehingga tidak menimbulkan kesan bias adalah sebuah keniscayaan yang dibutuhkan, namun sayangnya keniscayaan ini sudah semakin redup di hati nurani kita semua, yang subur hanya kebencian dan sumpah serapah. Saatnya semua waspada dan bertanya dalam diri, beginikah kita membangun Indonesia dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila?
Benarkah Surabaya Mencekam?
Saya hanya ingin sampaikan bahwa Surabaya aman, rakyat beraktifitas seperti biasanya, tak ada rasa ketakutan, waspada tetap dijalankan. Nah apa yang diberitakan televisi seolah Surabaya mencekam, seperti terjadi perang kota adalah tidak selalu benar.
Sekolah-sekolah tetap beraktifitas, mall juga masih buka, masjid masih tetap ramai apalagi menjelang bulan Ramadhan ini. Tempat-tempat ziarah bahkan penuh sesak oleh manusia, lalu dimanakah mencekamnya? Jangan-jangan kemencekaman itu hanya terjadi pada pimpinan daerah saja, lalu merepresentasikan kemencekamannya lahirlah maklumat-maklumat atas nama pencegahan.
Teror apapun yang menyebabkan kehidupan masyarakat terusik, harus dilawan. Tapi melawan teror tidak harus kemudian menciptakan teror baru. Teroris merupakan kejahatan luar biasa sebagaimana korupsi. Sehingga penanganannya tidak bisa hanya biasa-biasa saja, mengandalkan stigma kebanyakan, tanpa disertai kecerdasan.
Melawan terorisme juga tidak cukup dengan mengatakan tidak takut, namun juga perlu dilakukan upaya luar biasa dalam melawannya. Terorisme, korupsi dan narkoba adalah kejahatan luar biasa, dibutuhkan upaya luar biasa dalam mencegah dan melawannya.
Setidaknya rasa aman warga Surabaya, janganlah dikait-kaitkan dengan perasaan mencekam para pemimpinnya. Di tengah berita teror ada hal yang menggembirakan, Gubernur Jawa Timur memberikan pernyataan “Terima kasih kepada rakyat Jawa Timur dan stok ketersediaan kebutuhan pokok menjelang Ramadhan dipastikan aman”.
Melawan Teror dengan “Extra-ordinary Action”
Cara-cara luar biasa dan cerdas dalam melawan kejahatan luar biasa seperti terorisme perlu disuburkan. Melawan teror dengan memahami tujuan teror akan membawa kita pada ketepatan aksi dan cara dalam melawan terorisme. Bukankah teror itu bertujuan kepanikan, kalau jawabannya ya, maka melawan teror dengan memberikan kenyamanan warga merupakan cara luar biasa dan cerdas.
Nah sudah saatnya, aparat, pemerintah dan rakyat bersatu bersama melawan kejahatan terorisme dengan berbagi peran dan dengan upaya-upaya yang luar biasa cerdas meski aksinya sederhana. Mengubur kebencian, membenam ungkapan serapah dan menyuburkan aksi kasih sayang dan tentram kepada rakyat bangsa.
Melawan tujuan teror yang membuat panik warga, dengan jawaban yang menenangkan warga “stok ketersediaan barang aman”, bisa menjadi inspirasi kita semua melawan teror yang tak berbuah teror. “Suroboyo wani, aku tetep budal sekolah”, “Suroboyo wani, aku tetep main bal-balan”, dan lain lain adalah hal lain perang melawan kepanikan yang diciptakan teroris. Janganlah kita menjadi penebar teror baru dalam menghadapi aksi-aksi teror yang diciptakan oleh teroris.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya, “Amalan Islam apa yang paling baik?” Rasulullah menjawab, “Memberi makan (kepada orang yang butuh) dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenali dan kepada orang yang tidak engkau kenali”. (HR Bukhari)
Salam, bermakna menebarkan kedamaian dan kenyamanan karena arti salam adalah keselamatan.
*Ditulis di Surabaya, 16 Mei 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net