Mengembalikan MPR Sebagai Lembaga Tertinggi Negara, Perlukah?

Mengembalikan MPR Sebagai Lembaga Tertinggi Negara, Perlukah?

Mengembalikan MPR Sebagai Lembaga Tertinggi Negara, Perlukah
Dewan Redaksi Suara Muslim, Fajar Arifianto, Direktur Rumah Pancasila Prihandoyo Kuswanto (tengah) dan Sila Basuki dalam program Ranah Publik di Suara Muslim Surabaya, Senin (19/8/19).

SURABAYA (Suaramuslim.net) – Anggota Bumi Putra Bangkit, Sila Basuki dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (19/8) menjelaskan, berubahnya status dan kedudukan Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR) yang semula sebagai Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara sejajar dengan DPR, Presiden dan Mahkamah Agung, telah menghilangkan fungsi MPR sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat.

MPR, imbuhnya, tidak lagi memilih dan menetapkan presiden. Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, MPR tidak lagi menetapkan GBHN, MPR nyaris tanpa kewenangan.

“Adanya politik rakyat yang disebut Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Jika presiden sudah tidak menjalankan GBHN yang menjadi frame tujuan negara, maka ibaratnya pemerintah ini tampa rambu, lalu siapa yang mengontrol? Jika konsep kebersamaan oleh pemerintah tidak dibuat, maka presiden akan semaunya sendiri membuat kebijakan politik sendiri maupun kelompok,” tuturnya.

Sementara itu, Basuki menyebut, selama ini kedaulatan rakyat dipelencengkan, seakan-akan yang namanya kedaulatan rakyat hanya berada di bilik pemilu, padahal tidak. Di sistem MPR, rakyat juga mengontrol, melalui inisiasi pemikiran dan keinginan rakyat serta dikoneksikan dengan GBHN. Oleh sebab itu, jika presiden melenceng dari GBHN harus di-impeach.

“Indonesia harus kembali kepada UUD 1945 yang murni, sebab jika filosofi Pancasila tidak dijalankan kemudian sistem dalam pemerintahan sudah banyak disimpangi oleh unsur Liberalis, Kapitalis dan Komunis. Pancasila tidak ada jauh di sana tetapi Pancasila harus mendarah daging daalam perilaku kehidupan sehari-hari termasuk berbangsa serta bernegara,” paparnya.

Basuki merujuk pasal 2 UUD 45, kedaulatan tertinggi berada di rakyat, dan itu sepenuhnya dijalankan oleh MPR. Oleh karenanya MPR menjadi perwakilan dari rakyat yang akan menentukan siapa yang layak menjadi presiden, sehingga presiden akan membawa pesan yang sudah dirumuskan.

John Austin seorang ahli hukum Inggris menyatakan, hukum kebanyakan berasal dari perintah penguasa, hukum yang ditaati tanpa syarat, sekalipun terang dirasakan tidak adil.

“Harusnya negara ini, apalagi Indonesia sudah sepakat menjadi negara hukum, namun dalam praktiknya yang dijalankan oleh oknum-oknum justru apa yang disebut Austin tadi. Berarti, presiden tidak menjalankan amanah yang mestinya dititipkan oleh MPR,” paparnya.

Syariah Bisa Dijalankan di Negeri Berdasarkan Pancasila

 Direktur Rumah Pancasila Prihandoyo Kuswanto dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (19/8) mengatakan, berbicara tentang Indonesia maka tidak terlepas dari Pancasila. Dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 disebutkan, Pancasila merupakan desain dari Indonesia merdeka, jika berbicara negara yang diurai dalam batang tubuh UUD 1945 yang asli.

Namun saat ini, ucapnya, negara berdasarkan Pancasila sudah diamandemen dan dimasukkan unsur-unsur yang bertentangan. Salah satunya, dalam pasal 28 a hingga d menyebutkan setiap orang, padahal konsep Pancasila tidak ada perseorangan, Pancasila adalah antitesis dari individualisme.

“Dalam pasal 28 menyebutkan setiap orang, hal ini kebodohan dari pengamandemen karena mengcopy paste deklarasi PBB tanpa dipikir, langsung dimasukkan, kalau PBB berbicara hal itu ya benar. Pendiri negeri saat merumuskan UUD 1945 selalu menghindari perseorangan,” paparnya.

Prihandoyo menjelaskan, amandeman UUD 1945 ini mengakibatkan Indonesia bukan negara yang diproklamasikan dari awal. Sadar atau tidak sadar amandemen UUD 1945 adalah membubarkan negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Mengapa? Sebab pendiri negeri ini sudah membentuk negara berdasarkan Pancasila sesuai dengan alinea keempat UUD 1945 mempunyai prinsip sendiri yang mengikat bangsa Indonesia.

“Amandemen UUD 1945 justru mengkhianati prinsip-prinsip yang sudah menjadi konsensus nasional yang diurai dalam UUD 1945 dan Pembukaannya,” tutur Prihandoyo.

“Padahal sistem negara berdasarkan Pancasila ada tiga ciri yang tidak dipunyai oleh sistem Presidensial, Parlementer atau kerajaan sekalipun. Pertama, adanya lembaga tertinggi negara yang disebut MPR. Kedua, adanya politik rakyat yang disebut GBHN, dan Presiden adalah Mandataris MPR. Sekarang ini Indonesia bukan negara yang berdasarkan Pancasila sebab ketiga ciri di atas sudah tidak ada,” jelasnya.

Prihandoyo menilai, UUD 1945 harus dikembalikan ulang, agar bangsa ini tidak menjadi munafik dengan menyebut dirinya negara yang berdasarkan Pancasila tetapi yang dijalankan justru Liberalisme dan Kapitalisme.

“Jika negara memakai landasan Pancasila maka otomatis syariah Islam terjalankan. Misalnya, syariat tentang pendidikan, pendidikan dari tingkat TPQ hingga perguruan tinggi agama boleh dijalankan dan diatur pemerintah di Indonesia,” jelasnya.

“Contoh kedua, soal muamalah, kehidupan muslim difasilitasi oleh negara. Seseorang akan menikah, cerai bahkan rujuk, hak-hak waris juga diatur sedemikian rupa, negara bahkan mendirikan Pengadilan Agama. Soal ibadah, pemerintah mengatur dan terlibat di dalamnya, ibadah haji dan umrah, pun tentang keuangan syariah yang saat ini sedang tumbuh, semua ini kan syariah. Jika ada yang menyatakan syariah dan Pancasila itu bertentangan, itu sangat keliru,” jelasnya.

Prihandoyo menyebut, GBHN berbeda dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Jika menggunakan GBHN maka presiden harus mempertanggungjawabkan kepada MPR, presiden tidak boleh menjalankan kepentingan kelompok politik dan pribadi.

Tetapi RPJMN, kemana presiden akan mempertanggungjawabkannya? Misalkan dengan membangun tol yang panjang tetapi dijual kepada asing. Apalagi presiden menjadi petugas partai, ini tidak boleh, karena presiden ini semua untuk Indonesia bukan satu partai.

“Setiap negara mempunyai sistem demokrasi sendiri-sendiri. Demokrasi tidak bisa terlepas dari budaya bangsa, bukan berarti bangsa Indonesia tidak mempunyai budaya demokrasi dengan mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara,” kata Pri.

Ibaratnya, kita berada di Indonesia dengan suhu yang panas disuruh memakai baju eskimo, kan justru kepanasan. Cara berdemokrasi Indonesia adalah mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Kita lihat realitas yang ada, hampir 700 orang KPPS meninggal saat pemilu serentak kemarin, belum lagi hasil dari pilkada banyak caleg tersangkut korupsi. Jadi mengembalikan sistem kepada UUD 1945 justru meyelamatkan dari generasi dan bangsa kita,” pungkasnya.

Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment